“Tanda lahir kamu di sebelah mana
yang gak aku tau, Ne?”
PLAK!!! Telapak tangan halus Anne
mendarat mulus di pipi Redzi. Menyisakan rona merah jambu tipis di sana.
“Kalau ngomong dijaga...,”
keadaan hening sesaat. “Ini juga!” tegas Anne sambil menunjuk dada Redzi.
“Bukan aku yang gak jaga hati,
tapi kamu yang gak jaga aku.”
DHEG!!! Dada Anne serasa ditikam bambu
runcing.
“Maumu apa, Redzi Arya Pramitra?
Gak cukup kamu menyakitiku? Masih belum puas?”
“Iya, Ne. Gak puas. Terakhir cuma
nyentuh bibir, gak nyentuh yang lain.”
“Brengsek!” Satu tamparan
mendarat kembali dan setelahnya Anne pergi.
“Ne, bentar. Aku becanda.” Redzi
mencoba menahan Anne dengan menarik pergelangan tangannya. Anne pun berhenti,
tetapi badannya tetap tidak berbalik ke arah Redzi. “Jangan serius-serius
banget, nanti mati.” Anne melanjutkan langkahnya, merasa dipermainkan. “Ne,
sekarang aku serius! ANNE...!” Anne tak menggubris dan tetap berjalan.
***
Anne duduk berpangku lutut di rooftop apartment tempatnya tinggal di
Jakarta. Sesekali ia mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya beserta
beban-beban yang dikandungnya. Jakarta keras bagi Anne. Banyak perubahan yang
terjadi pada diri Anne, pun dengan kehidupannya, semenjak ia hijrah dari
Surabaya. Mungkin ibu bakal kecewa sama
gue yang sekarang. Batinnya lemas.
“HOY!” sapa Rai menyadarkan Anne
dari lamunan.
“Kok lo tau gue di rooftop?”
“Tadi satpam lantai lo yang
bilang. Katanya liat lo menuju rooftop begitu
beliau turun.”
“Oh...,” jawab Anne tak antusias.
“Ne, Beach Party, yuk! Malam ini di tempatnya Dita.”
“Ngapain?”
“Ya menurut ngana?”
“Oh...,” Anne menjawab sekenanya
dan Rai pun tak peduli, ia tetap mengajak Anne untuk ikut.
“Ada Redzi juga kok, Ne.”
“HAH?!” kali ini ekspresi Anne
berubah 180 derajat.
“Ya? Ada yang salah gitu?”
“Dia bawa siapa?”
“Hah? Kok bawa siapa?” Rai
mengerutkan dahinya tak mengerti dengan ucapan yang melayang dari bibir mungil
Anne.
Memang tak pernah ada kata putus yang
melayang dari bibir Redzi maupun Anne, tetapi sikap Redzi-Anne menunjukkan
bahwa mereka bukan sedang baik-baik saja. Sikap Anne belakangan jadi lebih
cuek, bukan terhadap Redzi, lebih terhadap dirinya sendiri. Anne lebih sering
berkutat dengan pekerjaannya di kantor, bahkan rela membawa pekerjaan tersebut ke
apartment-nya. Badan Anne mengurus,
pipinya pun mulai tirus. Redzi telah menyiksanya dan dirinya pun turut
membantu.
“Ne… Anne… ANNE. ANNEKE DWI
PUTRI!!!”
“Apaan sih nyet!”
“Ya elo bengong! Ikut ya?”
“Gue nyusul deh. Kalau mood. Lagian pakaian gue masih di laundry semua belum gue ambil.”
“Beach party gitu, Ne. Lo pake bra
sama outer juga jadi. Bawahan
pake hot pants juga oke. Ayo lah!”
“Apa yang bisa bikin lo ninggalin
gue di sini sendiri?”
“Dateng ya, Hunny! Lo butuh refreshing. Mwah!”
***
Raihanuun
(+6281899xxxxxx)
Ne, di mana?
Kalau lo gak mau, jangan dipaksa.
Sorry, ya masalah tadi siang. Take care, Ne. :)
“Ini Rai apaan sih gak jelas
banget jadi manusia. Gue udah siap-siap malah SMS kaya begini,” gerutu Anne
kesal.
***
“Gilang! Siniii…,” panggil Rai
lirih.
“Kenapa, Rai?”
“Itu Redzi sama…?”
“Anne dateng gak?”
“Tadi siang gue maksa dia dateng,
tapi barusan udah gue SMS sih suruh dia gak usah dateng. Duh! Gawat dong…”
“Gue juga kaget. Ya you know Redzi kaya apa kan…” keduanya
pun saling pandang dan mengangkat bahu, menyerah pada keadaan. Sesaat kemudian…
“HAI!” senyum dengan lesung di
pipi sebelah kanan Anne menyapa Rai dan Gilang.
“H…h…hai, Ne. Jadi dateng?” balas
Rai gugup. Gilang pun terdiam.
“Jadi lah. Elo gak jelas nyet
tadi siang maksa, barusan SMS gue begitu. Eh, Lang gak sama Tita?”
“Tita lagi di jalan, Ne.” Gilang
tak membuat percakapan lebih jauh, takut terlihat kegugupannya.
“Redzi mana, Rai? Dia pasti
datang dong. Kan lo sendiri yang bilang ke gue tadi siang,” mata Anne liar
mencari keberadaan Redzi.
“Ngg… Gil. Help!” ucap Rai lirih. Namun, sesaat kemudian…
“BANGSAT! Tanda lahir Dita di sebelah mana
yang gak lo tau, Redzi?” Anne pun segera berlari keluar rumah Dita dan melesat
cepat dengan Jazz merahnya. Sementara itu, Beach
Party yang diadakan di kediaman Dita bubar tanpa perintah komandan. Rai,
Gilang, dan Tita segera menyusul Anne. Bimo, Oddy, Andri, Rezky, dan Sheila
memilih menghindar dari tempat tersebut menuju pub terdekat dari kediaman Dita. Sedangkan, Dita dan Redzi
diselimuti keheningan, bibir mereka kelu, dan hanya dapat berbicara melalui
tatapan.
***
Dua hari berlalu, Anne semakin
terpuruk. Mogok bekerja, mogok berbicara, dan mogok makan. Alhasil, ia pun
jatuh sakit. Pada hari itu pun, Rai berusaha membuat usaha mogok-mogokan Anne
berhenti. Paling tidak Rai mau ada makanan yang masuk ke perut Anne.
“Ne, makan ya. Please, sesuap-dua suap deh. If you don’t love yourself, who’s wanna love
you, Ne?”
“Gue positif.”
“HAH?!”
***
“Kita sama, Ne. Belum tentu itu aku,
kan? Kamu udah mencampakkan aku beberapa hari yang lalu. Boleh kan kalau aku
pilih karma datang ke kamu kapan? Dan aku mau sekarang, Anne.” Redzi pun
meninggalkan Anne yang terkulai lemas di depan pintu kostan Redzi.
*** END ***