Monday, April 30, 2012

Julie di Bulan April


Berlin, den 30. 4.
Liebe Julie...
Engkau satu dari sekian banyak wanita menawan yang kutemui, tetapi hanya satu-satunya yang mampu menyapa hatiku yang sepi. Parasmu cantik, pun hatimu. Aku sedang tidak nyepik seperti yang dilakukan lelaki-lelaki di linimasa-mu. Iya, aku menjadi stalker-mu. Kini kau tak perlu pakai aplikasi virus hanya untuk mengetahui siapa yang mengecek timeline-mu setiap hari. Pasti banyak, tetapi selalu aku...
Hatiku berkata engkau sedang baik-baik saja, kuharap hatiku benar. Selalu benar, sih. Seperti saat memilih wanita dan hatiku jatuh padamu. Terjegal lesung di kedua pipimu dan sikap manismu saat bertemu denganku di lobby Rumah Sakit Santa Borromeus, Bandung.
Bagaimana April-mu? Setampan wajah April-mu yang dulu kah? Maksudku aku. Ah, aku hanya bergurau. Tak pernah kau panggil aku tampan, dulu. Selalu kau panggil 'jelek.' Tak apa, asal kau ucapkan hanya padaku. Lebih baik daripada panggilan 'sayang' yang di-broadcast ke entah siapa aku enggan melanjutkannya...
Sudah kah kau hampiri pusara ayahmu, Julie? Sudah kah kau taruh se-bucket bunga mawar putih kesukaannya? Jika kau pergi ke sana lagi, sampaikan salamku padanya. Maaf aku belum sempat mengunjungi beliau. Suatu saat, pasti. Terakhir tentang ayah...sudah ikhlas kan, Julie? Ini sudah tahun ketiga. Aku harap sudah...
Bagaimana kabar Kayla? Sekolah di mana si manis itu sekarang? Aku harap kejadian tiga tahun lalu tak menghalangi si manis untuk bersekolah. Tak pula menghalangi bakat yang dimiliki untuk dikembangkan. Tanamkan pada diri Kayla untuk tak mendengarkan cemooh orang lain, Julie. Aku tau itu pasti berat untuk Kayla, tapi aku yakin Kayla bisa menghadapi hidupnya yang tak lagi sempurna--dalam arti sesungguhnya--seperti tiga tahun yang lalu...
Kabarku? Tak inginkah kau tau? Tak perlu kau jawab, kau pasti tau aku akan tetap bercerita meski jawabanmu adalah tidak. Aku sudah akan menyelesaikan S2-ku di Berlin, Julie. Secepatnya akan kembali ke Indonesia, hanya sebentar. Maukah kau menemuiku yang telah meninggalkanmu tiga tahun yang lalu?
Aku hanya ingin memastikan kau tak membenci bulan April-mu lagi, Julie. Sudah tiga tahun, tak maukah kau memaafkan bulan April-mu? Aku harap selalu ada hal yang membuat April-mu indah dan mengikis kebencianmu kepadanya. Mungkin aku, alasannya. April-mu yang dulu...
Maafkanlah April di hari terakhirnya, Julie. Wir sehen Sie uns in Indonesien!
mit Liebe aus Berlin,
Aditya Aprilio

Thursday, April 26, 2012

3,5 Tahun yang Lalu...

Hai, insan yang tak pernah tak kurindukan.
Tak perlu kuawali dengan bertanya tentang kabar. Aku tau kau baik-baik saja di sampingnya. Perlukah kuberi tau tentang kabarku? Hm...aku selalu merasa tak baik jika tak bersama kau, meski sebenarnya aku baik-baik saja, tetapi selalu ada yang kurang. Kehadiranmu gula bagi kopi hitam yang buatku terjaga, roti bagi susuku di pagi hari, garpu bagi pisau saat aku makan steak kesukaan kita, kau pelengkap bagi diriku...sayang.
Mungkin ini lebih penting bagi kau--kabar tentang Arya. Arya sudah semakin besar. Mungkin kau lupa, tiga hari yang lalu Arya berulang tahun yang ke-4. Wajahnya datar, tetapi kuyakin dalam hatinya bergejolak riang. Mengapa kau tak datang ke ulang tahun Arya? Aku mengirimimu undangan ulang tahunnya, bukan? Aku tau Bi Uci pasti menyampaikannya kepadamu. Kurasa dibalik wajah datar Arya, ia menyimpan harap akan kedatanganmu. Aku, Arya, akan masih menerimamu di rumah. Tangan kami terbuka untuk kau. Bagiku, yang lalu adanya di masa lalu. The past stays in the past…kecuali jika kau mau kembali menjadi masa kini-ku. Haha. Aku hanya bergurau.
Mengapa kau terus bersikap dingin? Seolah tak kenal. Selalu menghindar. Kuakui kau memang salah pada hari itu. Namun, Arya telah memaafkanmu. Percayalah! Mungkinkah ini caramu untuk melupakan? Atau karena kau teramat merasa bersalah? Aku memang takkan pernah lupa akan hari itu, tiga setengah tahun yang lalu...
“Tolong jaga Arya sebentar. Ibu mau ke rooftop angkat baju, sepertinya akan hujan.”
Aku pun masih ingat kata demi kata yang terlontar dari bibir Ibu saat itu. Kita pun menjaga Arya dengan tawa. Seperti mempersiapkan atas angan-angan kita berdua. Menimang Arya penuh kasih sayang, aku seperti yakin kau lelaki yang tepat untuk malaikat-malaikat kecilku kelak.
“Arya lucu banget sih kayak kakaknya. Uuu...”
Godaanmu itu menggodaku. Aku tersipu, tetapi tak lama. Seketika semua berubah 180 derajat. Kepanikan menyelimuti. Aku berteriak memanggil Ibu. Ibu berlari dari atas rooftop melewati anak tangga. Langkah kaki yang beradu dengan tangga kayu itu menampakkan ketergesa-gesaan, kekhawatiran, dan kecemasan Ibu atas sang anak. Sementara kau terus memeluk Arya, mengguncangkan tubuhnya supaya ia terbangun, serta mengusap darah yang ada di dahi Arya.
BRAK!!!
Aku kembali ke saat di mana Arya kau lepaskan dengan bodohnya. Ia hanya anak bayi lima bulan yang tak mengerti caranya buang air kecil, Sayang. Maafkan aku dan Ibu karena membiasakan Arya memakai diapers dan lupa memakaikannya pagi itu. Untuk pertama kali aku melihat kau menangis, aku tau tetes itu gambaran sesalmu. Untuk pertama kali pula aku melihat Ibu menamparmu. Hatiku hancur lebur. Kacau. Balau. Galau…
Ibu tak mengusirmu, tetapi mengacuhkanmu. Saat kau mengantarkan kami ke rumah sakit, saat kau meminta maaf, saat kau ingin bertanggung jawab atas semua biaya perawatan dan pengobatan Arya. Ibu seperti tak akan memaafkanmu seumur hidup. Namun, percayalah. Kau masih punya aku dan Arya, yang memaafkanmu meski kau sakiti aku dan Arya--dengan cara berbeda.
Ini surat ke-3 yang aku kirim--dan (selalu) berharap kau akan membalasnya. Selalu selepas ulang tahun Arya. Aku hanya ingin memastikan alasanmu tak hadir dan meyakinkanmu bahwa aku dan Arya sudah memaafkanmu. Ibu? Mungkin sudah, pelan-pelan... Ibu hanya sangat terpuruk mendapati Arya menjadi seperti sekarang, tak berdaya. Arya di rumah seperti pengganti Ayah. Kau pasti tau kehadiran lelaki dibutuhkan di rumah dan ibu berharap pada Arya, tetapi kau merusaknya. Ibu hanya belum sembuh dari sakit yang kau buat. Suatu saat pasti sembuh. Percaya padaku.
Kau pergi tinggalkan aku dengan alasan kesalahan fatalmu. Padahal berlari dari masalah bukan berarti akan dimaafkan. Tetaplah disampingku, bantu aku sembuhkan sakitku, bantu Arya bangkit dari keterpurukan, bantu Ibu menerima kenyataan…
Aku telah mengejarmu, tetapi kau terus berlari, bahkan telah menemukan pengganti untuk terus mengejar mimpi yang sebelumnya kau rajut bersamaku. Aku telah berteriak untukmu, tetapi kau tak juga menoleh. Aku seperti sudah kehabisan suara. Ini terakhir kali aku berteriak untukmu. Waktumu masih ada, sedikit lagi...sebelum aku tak menghiraukan teriakanmu, tak menoleh padamu.
Dariku yang selalu memaafkanmu dan (masih) mengharapkan kehadiranmu...

Monday, April 16, 2012

Sampaikan pada Kekasihmu, Dulu Kau Bertepuk Sebelah Tangan...

Hai, kamu yang terlalu percaya bahwa aku (pernah) mencintaimu.
Apa kabar? Baik? Bagaimana kehidupanmu sekarang? Lebih baik bukan setelah lama memutuskan hubungan denganku? Ah, dengan orang-orang di sekitar kita kau dan aku juga, bukan? Apa kabar wanita yang kau banggakan? Baik? Bagaimana hubunganmu dengannya? Baik kan? Kuharap begitu, supaya tak ada lagi daftar nama wanita yang mencemburui aku tanpa sebab.
Kuingat beberapa tahun lalu kita aku dan kau pernah dekat, saat itu aku masih mempunyai kekasih. Yang sangat kusayang tanpa kusadari bahwa aku tak bisa hidup tanpanya. Perlu kuingatkan namanya? Iya, Reza Husein Alattas. Berperawakan tinggi, blesteran Arab-Spanyol-Sunda, yang selalu menatapmu dengan tatapan dingin. Bukan, dia bukan cemburu tanpa sebab seperti wanita yang kau puja. Sebab, dia tau kau punya rasa padaku.
Kau datang di saat yang tepat. Berterima kasih pada waktu karena sempat mendekatkan kau dan aku. Bukan mauku, kau jangan tinggi hati. Sebab kubilang, aku mencintai lelakiku. Camkan itu! Kau mencintaiku saat aku merasa lelakiku tak mencintaiku secakap kau mencintaiku. Berterimakasihlah pada pikiran negatifku karenanya kau jadi tinggi hati menganggapku juga mencintaimu. Tidak. Tidak pernah. Dan atas izin Tuhan, tidak akan.
Apa yang aku dan kau lakukan murni karena khilaf. Tanpa dasar saling mencinta sebab hanya kau yang merasakannya. Aku menciummu yang kubayangkan lelakiku. Aku bersandar pada bahumu yang kupikirkan lelakiku. Aku rela dipelukmu yang kurasakan hangat tubuh lelakiku. Kau bilang aku murahan? Beri tahu saja pada dunia! Memang mereka peduli? Kau hanya akan mendapat cemooh sebab kau terlalu bodoh!
Tak perlu kau siksa aku dengan caci makimu tentangku. Tak akan mempan. Ditinggalkan oleh lelakiku sudah cukup menjadi cambuk. Iya, aku dan Reza sudah tak bersama. Jangan tinggi hati dulu. Bukan kau alasannya. Tak ada kau terselip dalam tiap alasan aku dengannya berpisah. Kusebut ini karma karena telah menyia-nyiakannya. Tiga kali aku punya pendamping lain belum ada yang bisa menggantikan posisinya. Dia terlalu sempurna dan sangat jauh denganmu; bagai langit dan bumi. Jadi, jangan tinggi hati bahwa kau bisa menggantikan posisinya. Tidak sama sekali.
Sudah jelas kah semua penjelasan dariku tentang kita aku dan kau dulu? Sampaikan pada kekasihmu, dulu kau bertepuk sebelah tangan. Jangan lagi merasa aku berharap pada dirimu atau kau yang kuingat tiap aku bicara tentang masa laluku. Masa laluku bukan cuma satu, tetapi tentu bukan kamu.
Semoga kau dan dia diberkati Tuhan atas aku yang selalu dipaksa masuk dalam permasalahan kalian. Sekian...
Dariku, yang terlalu lelah dicemburui tanpa sebab.

Karma?!

“Tanda lahir kamu di sebelah mana yang gak aku tau, Ne?”
PLAK!!! Telapak tangan halus Anne mendarat mulus di pipi Redzi. Menyisakan rona merah jambu tipis di sana.
“Kalau ngomong dijaga...,” keadaan hening sesaat. “Ini juga!” tegas Anne sambil menunjuk dada Redzi.
“Bukan aku yang gak jaga hati, tapi kamu yang gak jaga aku.”
DHEG!!! Dada Anne serasa ditikam bambu runcing.
“Maumu apa, Redzi Arya Pramitra? Gak cukup kamu menyakitiku? Masih belum puas?”
“Iya, Ne. Gak puas. Terakhir cuma nyentuh bibir, gak nyentuh yang lain.”
“Brengsek!” Satu tamparan mendarat kembali dan setelahnya Anne pergi.
“Ne, bentar. Aku becanda.” Redzi mencoba menahan Anne dengan menarik pergelangan tangannya. Anne pun berhenti, tetapi badannya tetap tidak berbalik ke arah Redzi. “Jangan serius-serius banget, nanti mati.” Anne melanjutkan langkahnya, merasa dipermainkan. “Ne, sekarang aku serius! ANNE...!” Anne tak menggubris dan tetap berjalan.
***

Anne duduk berpangku lutut di rooftop apartment tempatnya tinggal di Jakarta. Sesekali ia mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya beserta beban-beban yang dikandungnya. Jakarta keras bagi Anne. Banyak perubahan yang terjadi pada diri Anne, pun dengan kehidupannya, semenjak ia hijrah dari Surabaya. Mungkin ibu bakal kecewa sama gue yang sekarang. Batinnya lemas.
“HOY!” sapa Rai menyadarkan Anne dari lamunan.
“Kok lo tau gue di rooftop?”
“Tadi satpam lantai lo yang bilang. Katanya liat lo menuju rooftop begitu beliau turun.”
“Oh...,” jawab Anne tak antusias.
“Ne, Beach Party, yuk! Malam ini di tempatnya Dita.”
“Ngapain?”
“Ya menurut ngana?”
“Oh...,” Anne menjawab sekenanya dan Rai pun tak peduli, ia tetap mengajak Anne untuk ikut.
“Ada Redzi juga kok, Ne.”
“HAH?!” kali ini ekspresi Anne berubah 180 derajat.
“Ya? Ada yang salah gitu?”
“Dia bawa siapa?”
“Hah? Kok bawa siapa?” Rai mengerutkan dahinya tak mengerti dengan ucapan yang melayang dari bibir mungil Anne.
Memang tak pernah ada kata putus yang melayang dari bibir Redzi maupun Anne, tetapi sikap Redzi-Anne menunjukkan bahwa mereka bukan sedang baik-baik saja. Sikap Anne belakangan jadi lebih cuek, bukan terhadap Redzi, lebih terhadap dirinya sendiri. Anne lebih sering berkutat dengan pekerjaannya di kantor, bahkan rela membawa pekerjaan tersebut ke apartment-nya. Badan Anne mengurus, pipinya pun mulai tirus. Redzi telah menyiksanya dan dirinya pun turut membantu.
“Ne… Anne… ANNE. ANNEKE DWI PUTRI!!!”
“Apaan sih nyet!”
“Ya elo bengong! Ikut ya?”
“Gue nyusul deh. Kalau mood. Lagian pakaian gue masih di laundry semua belum gue ambil.”
Beach party gitu, Ne. Lo pake bra sama outer juga jadi. Bawahan pake hot pants juga oke. Ayo lah!”
“Apa yang bisa bikin lo ninggalin gue di sini sendiri?”
“Dateng ya, Hunny! Lo butuh refreshing. Mwah!”
***
Raihanuun (+6281899xxxxxx)
Ne, di mana? Kalau lo gak mau, jangan dipaksa.
Sorry, ya masalah tadi siang. Take care, Ne. :)

“Ini Rai apaan sih gak jelas banget jadi manusia. Gue udah siap-siap malah SMS kaya begini,” gerutu Anne kesal.
***
“Gilang! Siniii…,” panggil Rai lirih.
“Kenapa, Rai?”
“Itu Redzi sama…?”
“Anne dateng gak?”
“Tadi siang gue maksa dia dateng, tapi barusan udah gue SMS sih suruh dia gak usah dateng. Duh! Gawat dong…”
“Gue juga kaget. Ya you know Redzi kaya apa kan…” keduanya pun saling pandang dan mengangkat bahu, menyerah pada keadaan. Sesaat kemudian…
“HAI!” senyum dengan lesung di pipi sebelah kanan Anne menyapa Rai dan Gilang.
“H…h…hai, Ne. Jadi dateng?” balas Rai gugup. Gilang pun terdiam.
“Jadi lah. Elo gak jelas nyet tadi siang maksa, barusan SMS gue begitu. Eh, Lang gak sama Tita?”
“Tita lagi di jalan, Ne.” Gilang tak membuat percakapan lebih jauh, takut terlihat kegugupannya.
“Redzi mana, Rai? Dia pasti datang dong. Kan lo sendiri yang bilang ke gue tadi siang,” mata Anne liar mencari keberadaan Redzi.
“Ngg… Gil. Help!” ucap Rai lirih. Namun, sesaat kemudian…
 “BANGSAT! Tanda lahir Dita di sebelah mana yang gak lo tau, Redzi?” Anne pun segera berlari keluar rumah Dita dan melesat cepat dengan Jazz merahnya. Sementara itu, Beach Party yang diadakan di kediaman Dita bubar tanpa perintah komandan. Rai, Gilang, dan Tita segera menyusul Anne. Bimo, Oddy, Andri, Rezky, dan Sheila memilih menghindar dari tempat tersebut menuju pub terdekat dari kediaman Dita. Sedangkan, Dita dan Redzi diselimuti keheningan, bibir mereka kelu, dan hanya dapat berbicara melalui tatapan.
***
Dua hari berlalu, Anne semakin terpuruk. Mogok bekerja, mogok berbicara, dan mogok makan. Alhasil, ia pun jatuh sakit. Pada hari itu pun, Rai berusaha membuat usaha mogok-mogokan Anne berhenti. Paling tidak Rai mau ada makanan yang masuk ke perut Anne.
“Ne, makan ya. Please, sesuap-dua suap deh. If you don’t love yourself, who’s wanna love you, Ne?”
“Gue positif.”
“HAH?!”
***
“Kita sama, Ne. Belum tentu itu aku, kan? Kamu udah mencampakkan aku beberapa hari yang lalu. Boleh kan kalau aku pilih karma datang ke kamu kapan? Dan aku mau sekarang, Anne.” Redzi pun meninggalkan Anne yang terkulai lemas di depan pintu kostan Redzi.

*** END ***

Saturday, April 14, 2012

Y U NO HAVE A GOOD RELATIONSHIP WITH YOUR EX?!

Jujur, aku masih berharap.
Bisa gak ya gue sama dia lagi?
I'm not moving. I just don’t want to. Still you in my heart...


Perasaan dan pikiran-pikiran yang seperti itu yang perlu dikubur dalam-dalam kalau masih tetap ingin memiliki hubungan baik dengan mantan. Kenapa? Hal-hal tersebut bisa melahirkan ego untuk memilikinya (lagi), bahkan memaksa. Pemaksaan itulah yang nantinya akan menghancurkan segalanya; hubungan pascaputus.
Begini, setiap pasangan yang baru pisah butuh jangka waktu untuk menetralkan perasaan masing-masing. Waktunya tergantung dari seberapa dalam perasaan mereka dan seberapa ahli mereka dalam mengendalikan perasaan mereka sendiri. Tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang memiliki perasaan sangat dalam akan lebih cepat netral daripada yang tidak, dan sebaliknya.
Cara menetralkannya? Beragam! Mulai dari menghapus contact BBM, nge-block Twitter, unfriend hubungan pertemanan di Facebook, menghapus nomer handphone, dan lain sebagainya. Gak selamanya, hanya untuk sementara, yang entah sampai kapan.1 Ya ada juga yang masih tetap berhubungan, tapi kecil kemungkinan untuk cepat menetralkan perasaan dan justru mereka terjebak ke dalam gak-tau-kapan-bisa-move-on-zone™.
Ketika kalian sadar betul bahwa kalian sudah bisa mengendalikan perasaan, meski belum sepenuhnya hilang, baru lah boleh kembali menjalin komunikasi. Terkadang diperlukan untuk menghilangkan rutinitas yang biasa dilakukan saat pacaran dulu, bukan begitu?
Wanti-wanti diri sendiri untuk gak berharap lebih dari sekedar hubungan permantanan. Kasih juga batasan ke dia bahwa ini hanya sekedar menjalin hubungan baik dengan mantan. Ya ini sih kasusnya kalau kalian gak mau balikan ya. Kalau gak yakin buat balikan, mending jangan deh. Cukup BBB yang putus-nyambung, kalian jangan!

Kenapa seringkali jadi seperti orang gak kenal dengan mantan? 
Ya itu tadi. Semua orang butuh waktu untuk menetralkan perasaan. Namun, biasanya ada satu pihak yang tetap kekeuh mau balikan, tapi secara halus mengemasinya dengan frasa 'ingin berhubungan baik.' Tidak jarang pihak lainnya, dalam hal ini yang gak mau balikan, merasa muak. Karena cara berhubungan baik tersebut terkesan annoying, bagi si anti-balikan tentunya.
Pernah kan kalian merasa bahwa apa yang dilakukan si dia selalu salah di mata kalian kalau kalian sudah ilfeel? Nah itu! Tidak se-annoying seperti menurut si pihak anti-balikan, tapi karena si anti-balikan ini sudah ilfeel timbulah anggapan seperti itu. Lagi-lagi saya katakan, bahwa semua orang butuh waktu netral. Netral dari perasaan sayang dan juga netral dari perasaan kesal, muak, benci, dsb. Jadi, kalau gak mau punya hubungan hancur pascaputus, lebih baik kasih waktu. “Time heals” is bullshit, but don’t ever deny that everyone needs time. :)

Gimana sih caranya bisa akur sama mantan?
Kembali lah di waktu yang tepat, hubungi lagi saat kalian yakin bahwa perasaan kalian sudah bisa dikendalikan, pun dengan perasaan si dia yang juga sudah netral. Akur tidak melulu harus balikan. Jangan sekali-kali menyimpan harap akan balikan dengan si dia. Itu akan merusak usaha kalian untuk memperbaiki hubungan. Perasaan yang dulu bisa kembali, kenangan indah bisa menghantui, sakit hati bisa menggelayuti, dan ego untuk balikan pun tak tertandingi. Ya kalau si dia juga mau balikan, nah kalau gak? Gak jadi akur deh.
Saling support dalam hal apapun. Termasuk saat si dia dekat lagi dengan orang lain. Jadikan diri kalian berguna untuknya, begitu pun sebaliknya. Namun, ingat. Berguna bukan berarti memanfaatkan. Know your limits! :)

A good relationship with ex ini tentu harus atas kemauan dari kedua belah pihak. Tidak jarang orang yang benar-benar ingin lose contact meski mantannya tidak mengganggu. Biasanya yang menjauh itu dikarenakan dia cukup merasa bersalah, tetapi terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan dan mencoba bersahabat.
Intinya kalau ingin memiliki hubungan baik dengan mantan, berikan waktu pada kalian untuk menetralkan perasaan, mencoba memaafkan, mencoba menerima keadaan, kembali di saat yang tepat, jangan berharap lebih dari hubungan permantanan, saling mengisi dan mendukung, yang terakhirKNOW YOUR LIMITS! :)

Tulisan ini disponsori oleh hubungan baik saya dengan mantan saya, yakni…if you know who I mean. :))

1 SAP’s quotes in our conversation pascaputus