Sunday, December 4, 2011

Second Chance


Aku kangen kamu…banget.
Maaf karena aku udah lancang ganggu kamu lg.
Gak usah dibales gak apa2 kok, aku cm mau kamu tau…

Sejak setengah jam yang lalu, Ditri tak henti beradu pandang dengan layar ponselnya. Dengan waktu 30 menit itu pula, ia hanya mendapatkan 118 karakter. Ditri bukannya baru memiliki ponsel  atau baru tau caranya mengetik SMS, sehingga dalam waktu 30 menit baru mendapatkan 118 karakter. Bukan, bukan itu. Ia telah berulang kali menghapus draft pesan yang telah dibuatnya, kemudian mengetiknya lagi, seterusnya seperti itu. Kalau kata hestek Twitter sih… #rauwisuwis. :))
Aku tuh sakit kalau inget kamu. Aku berusaha sekuat tenaga untuk gak inget kamu dan itu gak mudah. Tolong…jangan ganggu aku dulu.
Kata demi kata dari pesan singkat yang dikirimkan Alzi waktu itu membuatnya ragu untuk menekan tombol send di ponselnya. “Kalau gue kirim ini, gue nyakitin dia. Kan dia lagi berusaha untuk tidak mengingat gue…” Ditri kembali menghapus kata demi kata dalam draft yang telah dibuatnya, kemudian mulai merangkai lagi kata-kata yang tadi telah dihapusnya.
Aku gak akan tanggapin kamu lagi. Ini tanggapan terakhir aku. Ini demi kebaikanmu, kebaikanku, dan kita. Gak selamanya, hanya untuk sementara, yang entah sampai kapan. Maaf, Dit…
Lanjutan pesan singkat Alzi kembali menghantui pikirannya. Memunculkan rasa bersalah, menurunkan hasrat untuk mengungkapkan rasa rindunya. “You sure, Al?” seketika semangatnya kembali penuh. Dengan segala keberanian, ia pun menekan tombol send. Message SENT!
Jangan ditanya apa yang Ditri rasakan setelah ibu jarinya menekan tombol send. Sudah pasti berkecamuk. Antara lega, tapi takut mengganggu Alzi, terlebih sedih jika ternyata Alzi benar tidak akan menanggapinya. Sebentar-sebentar Ditri melihat layar ponselnya, hanya untuk memastikan apakah ada pesan masuk atau tidak. Tidak jarang ia merasa bahwa ponselnya bergetar, padahal tidak. Sebegitu kesepiannya kah seorang Vanditri Yamile Handoyo?!

Bunda
+628121718XXXX

Dek, kamu sehat?
Kacamata kamu kemana toh?

“ASTAGHFIRULLAH!!! Ditri bodoh. Bisa-bisanya salah kirim! Malu demi apapun. Demi penguasa bumi dan surga malu banget. Ditri bodoh! Bodoh! Bodoh!” tak habis-habisnya Ditri memaki dirinya sendiri sambil melakukan gerakan mengetuk meja-mengetuk kening-mengetuk meja-mengetuk kening.

Anakku Vanditri
+628121965XXXX

Bun, maaf aku lg gak konsen.
:*

Dari lantai 17, tempat ibunda Ditri bekerja, ia hanya bisa tersenyum mendapati balasan SMS dari sang anak. Ia mengetahui bahwa putrinya sedang berbohong kepadanya. Tanpa Ditri bercerita, ia pun mengetahui bahwa putrinya sedang mengalami masalah cinta dengan anak lelaki yang ia beri kepercayaan untuk menjaga putrinya, lelaki itu tak lain adalah Alzi. Ya begitulah naluri seorang ibu. Di sisi lain, Ditri masih kalang kabut mendapati dirinya salah kirim SMS, kepada ibunya pula. Ia pun langsung mem-forward SMS tadi dan dikirimkannya kepada Alzi. Berulang kali ia memastikan bahwa di kolom penerima adalah kontak dengan nama Maulana Herditya Al-Aziz. Message SENT!
Ditri pun merasakan kembali cita rasa lega, takut, dan sedih yang bercampur menjadi satu. Empatpuluh lima menit berlalu ponselnya tak menandakan ada pesan yang masuk. Perasaan sedih pun mulai menggerogotinya. Ia pun melihat laporan pesan yang dikirimkan.
“Terkirim…” gumamnya. “Seharusnya gak selama ini deh Alzi bales SMS. Apa dia lagi sibuk? Atau udah tidur ya? Ah! Bodo deh! Di SMS kan gue juga bilang gak minta tanggapan dari dia, kenapa gue malah jadi ngarepin banget ditanggepin?”  putus asa pesannya tak kunjung mendapat tanggapan, Ditri pun membuka laptopnya dan mulai mengerjakan tugas. Namun, tetap saja tergoda untuk membuka segala social network. Baginya membuka social network itu ritual yang harus dilakukan sebelum mem-browsing materi tugas. Katanya sih, bisa menambah semangat untuk mengerjakan tugas. Ya jelas lah itu cuma teori kusutnya seorang Ditri, hanya #halahsan. :))
“Hm…online Twitter bisa, bales SMS gue gak bisa.” antara marah dan sedih ketika didapatinya Alzi berkeliaran di timeline Twitter.

Nabila Adinda Yakub
+628561003XXXX

Kak!! Td kak Alzi curhat sm ak.
Dia blg dia kangen bgt sm kakak.
Cm dia galau mau bls sms kakak.
Kalian balikan dong! :’(
Ak kangen kak Diciii. :*

Al… Bila udah 17 tahun dan terhitung dewasa. Dia udah bisa dipengaruhi dan diajak kompromi. Tapi sifat polos dan gak pernah bohong layaknya anak umur 7 tahun itu juga masih melekat pada diri Bila kan? Bila serius kan? Al… kenapa gengsi kamu gak bisa diturunin dikit sih?! Baju di butik aja bisa diskon, masa gengsi kamu enggak?!

To: Nabila Adinda Yakub
Oh ya? Hahaha lucunya kakakmu itu.
Anyway, miss you too Bila! :’)

***
Ruang Baca, 20:15
“Bil, bantuin kak Alzi bikin surprise buat kak Ditri mau gak?”
“Emang kak Ditri lagi ulang tahun? Mau-mau aja. Kak Al berani bayar aku berapa?”
“Yeee! Wanita bayaran dasar! Gampang lah itu. Kalau nanti berhasil aku traktir nonton sama makan deh. Hm…bukan ulang tahun, tapi aku mau ngajak kak Ditri balikan.”
“Yakin kakak mau balikan? Emang sebenarnya kalian itu putus kenapa sih?”
“KEPO!!!”, Alzi pun melempar adiknya dengan bantal sofa yang ada di sampingnya, kemudian ia pergi meninggalkan ruang baca.
“KAK AL!!! SAKIT! GAK AKU BANTUIN NIHHH…!” teriak Bila dari dalam ruang baca yang didengar Alzi sayup-sayup dari kamarnya yang terletak di seberang ruang baca.
Di kamar, Alzi merenung memikirkan sang mantan kekasih, Ditri. Potret dirinya dan Ditri dalam khayalnya mengembalikan kenangan masa lalunya. Sudut-sudut Jakarta yang penuh kenangan, tingkah laku Ditri yang menggemaskan, rangkaian mimpi bersama Ditri tentang masa depan, segalanya tentang Ditri dan dirinya dihadirkan ke hadapan. Ia rindu kepada Ditri. Namun, ia terlanjur mengucapkan kata-kata seperti tak-akan-menghubungi-Ditri-lagi. Alzi pun terlelap bersama pikirannya tentang Ditri.
***
“Dit, temenin aku nyari buku, yuk! Kakakku ulang tahun bentar lagi. Seleramu kan sama dengan dia. I need your advice, Sweetie pie!” suara bass dari balik telepon itu tak asing bagi Ditri. Jelas, pemilik suara itu selalu menemani Ditri saat ia kesepian. Mengembalikan gelak tawa pada bibir Ditri saat bibirnya mulai maju 5 cm mengalahkan boneka Tweety kesayangannya, bahkan hanya untuk mendengarkan isak tangis Ditri selama berjam-jam pun sang pemilik suara rela-rela saja.
“Hei, Ben! Apa kabar kamu? Pucuk di cinta ulam pun tiba banget nih.”
“Kenapa? Ada air mata yang terbuang sia-sia lagi? Yuk ketemu makanya. I’ll be your listener, Dit.”
“Hari ini? Emmm...”
“Boleh. Aku jemput kamu jam 3 sore. Gak usah dandan ya, Dit. Tanpa dandan kamu udah cantik. Hahaha...”
“Sempet aja ngegombal. Hahaha. Oke, bos! See you, ya!”
Percakapan lewat udara pun terputus. Ditri pun menyiapkan dirinya untuk bertemu dengan Ben. Namun, ditengah kesibukannya bersiap-siap seketika ia tersadar akan sesuatu. Kemudian, ia pun terduduk di kursi samping meja belajarnya.
Tuhan, kenapa Ben selalu datang di saat yang tepat, padahal menurutku dia bukan orang yang tepat? Kita berbeda, Tuhan… Namun, mengapa selalu dia yang menghibur, selalu dia yang ada, selalu dia yang menjadi penawar atas rasa sakit yang dibuat oleh orang lain?
TIN…TIN!!!
“Non, den Mario sudah menjemput tuh.” teriak Bi Sumi dari bawah.
“Iya, Bi. Bentaaaaar…” balas Ditri. “Mampus lah gue. Ngelamunin ini orang tiba-tiba udah di depan rumah aja. Jin rupanya si Ben ini.”

Benjamin Mario Soeriaatmadja
+628121817XXXX
Calling…

“Halo, Dit! Aku udah di bawah nih. Turun cepet.”
“Hehehe. Bentar ya tadi aku ketiduran.”
“Ya Tuhan kebo!!! Buru!”
“Kamu masuk dulu deh. Gak enak aku jadinya.”
“Gak usah aku di mobil aja. Cepat ya, cantik.”
***
Gramedia GI, 16.45.
“Nah! Ini aja! Aku belum baca soalnya. Kali-kali bisa minjem sama kak Sandra kan ntar. Hehehe…” seperti berhasil menemukan harta karun saat Ditri menemukan buku yang dicarinya tersebut. Tigapuluh menit sudah mereka mengelilingi toko buku itu, menyanggahi rak demi rak, sudut demi sudut, dan akhirnya terpana pada satu buku.
“Gak novel ringan aja gitu? Yakin kak Sandra suka? Aku jarang liat dia koleksi buku ini.” kening Ben mengerut.
“Hmmm… Suka deh pasti. Kan satu selera sama aku. Lagian buat hadiah ulang tahun kok ngasih novel ringan. Itu sih dia bisa beli sendiri. Aku waktu itu sempet ngobrol sama dia gitu dan kita sama-sama belum baca buku-buku ini.”
“Baik, Nona Vanditri Yamile Handoyo. Saya nurut.” mereka pun berjalan menuju kasir dengan membawa Boxset Chicken Soup For The Soul yang menjadi pilihan Ditri dan Ben untuk sang kakak.
***
“Sore. Dengan keluarga Handoyo disini. Ada yang bisa saya bantu?”
“Bi Sumi? Ini Alzi, Bi. Ditri ada gak?”
“Oh den Alzi. Kirain siapa. Gak ada, Den. Non Ditri tadi jam tigaan dijemput sama den Mario.”
DHEG!!! Seketika dada Alzi seperti ditikam.
“Oh…”
“Ada apa Den Alzi? Apa ada pesan buat Non Ditri?”
“Eh nggak, Bi. Jangan bilang kalau saya nelpon ya, Bi. Saya mau ke rumah sore ini. Makanya saya mau memastikan Ditri di rumah apa gak dan kira-kira jam berapa pulangnya kalau memang lagi pergi.”
“Kebetulan lagi gak di rumah, Den. Tapi, bibi gak tau tuh bakal pulang jam berapa. Memangnya ada apa, Den?”
“Nanti aja dijelasin di sana ya, Bi. Saya sekarang menuju ke sana ya, Bi.”
“Baik, den.”
Saat Alzi menelpon kediaaman Ditri, Alzi sudah berada di jalan menuju ke rumah Ditri. Sehingga waktu yang ditempuh pun tidak begitu lama.
“Gimana, kak? Aman?” tanya Bila begitu sang kakak selesai bicara dengan bi Sumi.
“Aman. Kita kerja cepet, ya! Gak tau nih Ditri balik jam berapa.”
“Memang kak Ditri kemana?”
“Jalan sama Ben.”
“APA?!”
***
Magnum Café GI, 17:20.
“Coba cerita sama aku, kamu kenapa, Dit?” Ben mencoba membuka percakapan.
“Aku kangen sama Alzi, Ben...”
Sudah aku duga, Dit. Masih dia yang ada di hati kamu ya? Hmmm... Kalaupun bukan aku yang ada di hati kamu, aku cuma mau liat kamu tersenyum, sama siapapun itu. Aku rela…
“Ben...” Ditri mencoba menyadarkan Ben dari lamunannya. “Ben...” Ditri masih mencoba menyadarkan dengan mengarahkan tangannya ke arah wajah Ben. “BEN!!!” Ditri habis kesabaran dan agak berteriak sehingga orang-orang di sana memperhatikan mereka sejenak kemudian berbisik-bisik.
“Hah? Kenapa, Dit?”
“Ha! Hi! Hu! Bengong aja ih! Cabut, yuk!”
“Kamu udah tenangan?”
I’m fine, Ben.” Ditri tersenyum, kemudian mereka pun pergi meninggalkan café itu.
Malam itu jalanan di tengah Jakarta sangat tidak bisa diajak kompromi. Hm...sepertinya hampir setiap hari, sih tidak bisa diajak kompromi. Namun, kali ini benar-benar tidak bisa ditoleransi lagi.
“Ini namanya parkir gratis, Dit! Bisa ke Bandung nih kita dari tadi. Dua setengah jam belum sampai rumah kamu juga. Ergh...” keluh Ben kepada co-supir-nya, Ditri.
“Sabar, Ben. Kan gak baru sehari tinggal di Jakarta. Mau aku gantiin nyetir?” Ditri mencoba menenangkan.
“Gak perlu, sayang. Kamu duduk aja di situ.” Ben pun kembali fokus menyetir, kemudian membelokan setirnya ke arah kiri.
“Loh? Kok kita lewat sini?”
“Lewat jalan tikus, Dit.” Ben tersenyum, Ditri pun percaya.
“Aku baru tau ada jalan tikus loh...” keadaan hening sejenak, tetapi kemudian...
“Eh, kita mau ngapain? Kok berhenti di sini?” tanya Ditri setengah panik.
“Udah ikut aku aja, yuk.” Ben pun membukakan pintu mobil dan menuntun Ditri jalan. Ditri pun mengikuti Ben dengan perasaan was-was.
“Mau ngapain...?” tanya Ditri lirih, jantungnya berdebar, tangannya mulai dingin.
“Hahaha... Gak usah takut, sayang. Aku cuma mau berdoa. Mau nemenin kan?” jawab Ben lembut berusaha menenangkan Ditri yang ketakutan. Mereka berdua pun masuk ke dalam gereja. Saat Ben berdoa, Ditri duduk tiga meja ke belakang dari tempat Ben berdoa. Ditri memandangi Ben yang khusyuk berdoa, dirinya tersentuh. Ben, andai kamu seagama denganku, kamu pasti akan menjadi imamku yang taat...
“Yuk, pulang!” seketika Ben menghamburkan lamunan Ditri.
“Eh? Udah doanya? Itu apa yang kamu genggam?”
“Udah kok. Ini namanya rosario. Aku selalu bawa ini kemana-mana. Rosario ini juga pemberian dari almarhum papaku.” Ditri pun mengangguk tanda mengerti. “Ini gerejaku, Dit. Aku biasa ke sini setiap Minggu sore. Sering juga kalau lagi gak ada kerjaan dan punya masalah, aku curhat sama Tuhan.”
“Tadi kamu doa apa?”
“Mau tau aja apa mau tau banget apa mau tau banget banget?” Ben bertanya balik sambil bercanda yang hanya ditanggapi Ditri dengan renyah tawanya.
Aku berdoa supaya kita bisa bersatu, Dit...
***
Waktu telah menunjukkan pukul 23:40. Ben langsung pulang tanpa mampir dahulu ke rumah Ditri karena waktu yang tidak memungkinkan. Setelah itu, Ben memberi kecupan di kening sebagai tanda perpisahan dan menitipkan salam untuk papa dan mama Ditri. Rumah Ditri pun sudah sangat sepi. Hanya lampu taman serta lampu ruang keluarga yang menyala. Seluruh kamar sudah gelap, menandakan bahwa seisi rumah ini sudah tidur. Ditri masuk dengan mengucapkan salam, walaupun ia tau bahwa tak akan ada yang menjawab.
Untuk mencapai kamarnya ia harus menaiki anak tangga yang berjumlah 13. Setelah mencapai bordes, ia terdiam sejenak, merasakan kelelahannya hari ini. Ia pun melanjutkan menaiki sisa anak tangga itu. Sesampainya di depan kamar ia dikejutkan oleh serpihan foto dirinya bersama Alzi yang telah ditata agar kembali ke bentuk semula. Meski tidak sempurna, gambar dirinya dan Alzi cukup jelas terlihat. Ia bingung mendapati hal tersebut, tetapi ia tak pikir panjang dan kemudian masuk ke kamar.
“Aku tau aku bukan matahari yang selalu menyambutmu setiap pagi. Aku juga bukan bulan ataupun bintang yang selalu menemani gelap malammu…” dua kalimat itu kembali membuat Ditri terkejut. Suara yang tak asing bagi dirinya. “Aku pun tau, aku bukan pelangi yang menghiasi indahnya langit kala tetesan air dari Tuhan telah usai. Aku bukan karang yang tegar kala ombak menghadang. Aku lemah, aku rapuh, aku jauh dari sempurna, aku tau itu, aku sadar. Namun, satu hal yang aku tau. Kau lah matahariku, kau lah bulan dan bintangku, kau lah pelangiku, dan kau lah yang menguatkan aku…1” keadaan hening sejenak. Ruangan Ditri pun terang dengan nyalanya lampu-lampu kecil yang membentuk tulisan “Te amo mi princesa!” Ditri terkejut, tak menyangka akan mendapatkan kejutan seromantis ini. Memang bukan bunga, coklat, ataupun boneka. Namun, semua hal ini membuatnya terenyuh.
“Alzi…” ucapnya lirih.
“Selalu ada kesempatan kedua kan, Dit? Aku janji bakal memperbaiki semua yang kurang sebelumnya di hubungan kita. If you want me to, Hun. So… Mau kan kamu balikan sama aku?”
***
Burger & Grill Tebet, 20:30.
Gelak tawa itu, gelak tawa yang dirindukan orang-orang terdekat Ditri, kembali hadir di bibirnya. Lesung di kedua pipinya menambah kemanisan di wajah Ditri. Tak henti-hentinya ia tertawa sejak tadi. Tiga orang di hadapannya telah menghiburnya, membuatnya lupa sejenak akan beban tugas dan masalah hidup yang dipikulnya.
“Ok! Jadi, kakak gak usah traktir makan dan nonton kan, Bil? Kalian dong yang traktir kita. kan kalian baru jadian.”
“Gak bisa gitu, kak Alzi! Kalian kan juga baru balikan! Wo!!!”

SELESAI

1 Sebuah puisi berjudul Untitled karya Diar Luthfi Khairina (Jakarta, 2009)