Friday, August 17, 2012

(Mungkin) Ini Cinta



Hari ini, ada rasa yang tumbuh. Pertemuan rutin sebagai pupuk, senda-gurau sebagai air, dan tawa yang renyah sebagai matahari. Aku mulai bertanya pada diri sendiri. Benarkah ini cinta atau hanya perasaan jenuh terhadap hampa? Aku memastikan lagi. Bertanya pada hati berulang-ulang kali. Mungkin jika hati bisa berbicara, ia akan berteriak di hadapanku “Banyak bacot lo!”
***
Senin, 16 April yang lalu, tepatnya saat prime time malam, ada sebuah tweet dari salah satu following-ku. Memberitahukan info open recruitment volunteer suatu acara besar salah satu koran ternama ibu kota. Tanpa pikir panjang, aku mengklik link yang ada pada tweet tersebut. Membaca dengan detil persyaratan untuk menjadi volunteer. Membuka Ms. Word dan segera membuat sebuah tulisan. Iya, salah satu syarat untuk menjadi volunteer adalah dengan mengirimkan sebuah tulisan yang sesuai dengan beberapa tema yang telah ditentukan.
Tiga jam berlalu, tulisan tersebut telah siap kukirim. Kubaca sekali-dua kali, memastikan tak ada pemilihan kata yang salah ataupun typo. Segera kukirimkan tulisanku tersebut lewat e-mail dan kemudian duduk manis menunggu pengumuman sebulan kemudian.
***
Sebulan berlalu, aku mendapatkan e-mail dan SMS yang menyatakan bahwa aku diterima menjadi volunteer. Ah, senangnya! Selanjutnya, aku diminta datang ke tempat yang telah ditentukan, di daerah Pal Merah, untuk berkumpul bersama volunteer terpilih lainnya. Yeay! Dapat teman-teman baru. Girangku dalam hati sambil tersenyum menatap layar smartphone-ku.
Saat matahari sedang terik-teriknya, aku memasuki salah satu gedung di kawasan Pal Merah dengan sedikit berlari. Aku terlambat. Macetnya Jakarta bangsat banget! Padahal aku telah berangkat dari kostanku satu jam sebelum waktu yang telah ditentukan. Aku memencet tombol naik lift berulang-ulang kali. Ya, aku tau itu sia-sia, karena layar di atas lift menunjukkan lift masih berada di lantai 8. Mataku gesit mencari di mana tangga berada. Setelah menemukan titik tersebut, aku berlari.
BRRRRAK!!!
Aku menabrak seseorang. Lelaki dengan tubuh tinggi semampai dan badan yang proposional. “Duh, maaf...” Senyum yang manis, diiringi gigi dengan bracket berwarna abu-abu. “Kamu gak kenapa-kenapa?” Badannya yang tinggi, membuatku mendongak untuk sekedar melihatnya. Padahal posisiku saat itu tidak benar-benar tersungkur.
“Hei! Kamu gak kenapa-kenapa?” aku terlalu terkesima dengan kecelakaan kecil itu, sehingga ia harus mengulangi pertanyaannya.
“Eh. Ng...gak apa kok,” jawabku gugup.
“Baguslah kalau begitu,” ia tersenyum sekali lagi. Membuat aku lupa bahwa aku sedang terlambat.
“Eh, aku duluan ya. Aku telat, nih,” kemudian aku lari tergopoh-gopoh menaiki entah berapa anak tangga, menuju lantai 4. Sementara itu, ia berjalan menuju lift. Shit! Lift itu kini terbuka. Dan bodohnya, aku tetap saja naik tangga.
Sesampainya di ruangan itu, aku kaget bukan main. Ada dia, lelaki yang kutabrak tadi. Ternyata dia adalah salah satu volunteer terpilih juga. Ah! Tuhan Maha Baik. Hanya itu yang terlintas di otakku. Entah mengapa, selalu Tuhan selipkan kebahagiaan di sela ketergesa-gesaaanku.
Beruntung aku bukan satu-satunya orang yang telat. Jumlah kepala dalam ruangan itu belum banyak. Mungkin bukan hanya aku yang terjebak macet. Syukurlah! Setelah mengatur napas karena kecapekan menaiki tangga, ia menghampiri tempat di mana aku duduk.
“Heh! Ternyata kamu volunteer juga?” tanyanya basa-basi.
“Iya. Hehehe,” aku bingung harus bertanya apalagi untuk membuat percakapan itu menjadi dua arah. Ia mengubah posisi duduknya, menjadi lebih dekat, memangkukan kedua kepal tangannya pada dagunya, dan kini menatapku dengan lekat. 
“Lah terus ngapain tadi kamu lewat tangga? Hahaha,” tawanya renyah. Duh! Aku salah fokus. Fokus! Fokus!
“Oh, itu. Hehe. Aku kira aku udah telat. Abis tadi macet banget. Aku mau naik lift tapi tadi pas aku dateng lift-nya masih ada di lantai 8. Gitu…,” kata terakhir aku ucapkan dengan bibir manyun yang kulakukan dengan tanpa sadar.
“Hahaha. Aku baru tau ada cewek yang meskipun lagi ngambek tetep aja cantik,” aku tersipu malu. Satu yang terlintas saat itu. Ini anak muridnya Genna ya? Jago banget nyepik, padahal baru ketemu. Eh?! :))
“Di sepik-live dong. Hahaha. By the way, namanya siapa?” aku menjulurkan tanganku.
“Bimo. Kamu?” tanyanya balik sambil menjulurkan tangannya.
“Aku Anggi.” jawabku singkat. Bukan karena ingin bersikap dingin. Lebih karena aku dibuat beku di hadapannya.
Hari itu kami bertukar pin BB. Hari-hari berikutnya kami bertukar nomer handphone. Dan hari-hari berikutnya kami bertukar cerita. Cerita ini, cerita itu, cerita apa saja. Hari ini, ada rasa yang tumbuh. Pertemuan rutin sebagai pupuk, senda-gurau sebagai air, dan tawa yang renyah sebagai matahari. Aku mulai bertanya pada diri sendiri. Benarkah ini cinta atau hanya perasaan jenuh terhadap hampa? Aku memastikan lagi. Bertanya pada hati berulang-ulang kali. Mungkin jika hati bisa berbicara, ia akan teriak di hadapanku “Banyak bacot lo!"
***
“Nggi, makasih ya udah selalu nyemangatin aku,” ucapnya tiba-tiba. Dini hari itu aku dan Bimo sedang menelusuri jalan di atas trotoar. Sepi sekali. Hanya ada beberapa mobil dan motor berknalpot super annoying yang meramaikan suasana saat itu. Ada juga suara wajan yang beradu dengan sodet milik tukang nasi goreng pinggir jalan.
“Eh? Kok?” aku sudah tau ke mana arah pembicaraan ini. Makanya, hanya itu yang bisa kulontarkan. Aku tak tau harus menjawab apa.
“Aku nyaman sama kamu, tapi aku mau keluar dari zona nyaman,” sikap yang bagus, yang tak selalu dilakukan cowok zaman sekarang yang akhirnya terjebak friendzone.
“Iya...,” aku mengangguk dan membiarkan ia melanjutkannya.
“Hm... Gini loh, Nggi...,” ucapannya terputus. Ia membiarkanku membuka pintu gerbang kostanku terlebih dulu. Kemudian kami berdua masuk dan duduk di teras yang remang-remang.  “Aku sayang kamu.” Aku tau ia akan mengucapkan hal itu, sedang aku tak tau harus membalasnya bagaimana. Aku mengalihkan pandangan ke mana saja sambil entah berpikir tentang apa.
“Bukannya cewek butuh kejelasan ya?” ia melanjutkannya lagi, mengetahui aku tak membalas pernyataannya. Kami berdua terdiam. Keadaan pun menjadi hening. Sesekali motor berknalpot annoying yang sama dengan tadi menjadi backsound keheningan antara aku dan Bimo. Kali ini suaranya lebih jauh. Tidak terlalu memekakakan telinga. Lama-lama suara knalpot itupun hilang. Namun, kami masih tetap terdiam.
Tak lama kemudian, ia berdiri. Mungkin merasa sia-sia berada di hadapanku. Aku pun tak lantas diam. Aku menarik tangannya. Menarik pula badannya agar berhadapan denganku.
“Bim, aku juga sayang kamu, kok...,” aku memeluknya, erat sekali. Merasakan hangat tubuhnya. Mendengarkan detak jantungnya yang berubah menjadi cepat secara perlahan. “...tapi...,” ia melepas pelukanku begitu aku mengucap satu kata itu; tapi.
“Bimo, aku masih nyaman sendiri. Aku masih menyiapkan hati jika suatu saat disakiti lagi. Jika suatu saat ternyata aku memilih orang yang salah. Aku masih menyiapkan diri untuk merasa kebal ketika ada yang mencoba mematahkan ini.” aku menunjuk dadaku dengan telunjuk kananku, kemudian tangan kiriku mengenggam tangannya. Erat.
“Iya, aku ngerti, kok.” tangan kanannya menarik kepalaku dalam peluknya, mengusapnya, kemudian menciumnya. Tulus. Aku tau, ia tak sepenuhnya mengerti...

Sunday, August 5, 2012

Selamanya Takkan Berhenti



Saat surat ini dibaca, sudah pasti aku tak lagi ada di tempat di mana surat ini ditemukan. Beberapa kalimat ini mungkin bisa menjadi penjelas mengapa aku tak lagi ada di situ, sekarang.
Aku tak pernah meminta gaun cantik, pun handphone canggih keluaran terbaru. Aku tidak setiap minggu pergi ke salon, pun tak pernah menghabiskan uang hanya karena diskon. Aku tak pernah meminta untuk dimanja, diperhatikan lebih, dispesialkan, dijadikan emas. Aku hanya meminta kebebasan untuk memilih. Apa yang aku yakini benar.
Maaf jika aku pergi tanpa pamit.
Alin
***
Saat Jakarta diguyur air-air dari sumur-Nya, aku baru saja turun dari bus yang mengantarkanku ke halte untuk melanjutkan tujuan yang entah ke mana aku pun tak tau. Aku yang tergesa-gesa turun dengan menggunakan kaki kanan. Bodohnya! Kernet bus pun memberi perhatiannya padaku. Ah! Lebih ke arah mengomeliku, sih.
“Lain kali yang kiri dulu, Neng! Hati-hati ngapa kalau turun!”
Suara kernet itu beradu dengan suara gemuruh di langit Jakarta sore itu. Aku tak begitu memedulikannya dan segera berlari kecil menuju halte sambil menggamit tas dan melakukan usaha yang sia-sia, menutupi kepala dengan punggung tanganku agar tidak kebasahan. Setelah mengusap-usap sekenanya bagian blazerku yang basah karena hujan, ponselku berbunyi. Yang kutau dari kamu. Lekas kurogoh kantung bagian dalam tasku itu.
“Halo! Kamu di mana? I...,” suaramu yang tergesa-gesa itu kupotong secara kasar dengan suara diktatorku.
“Cepetan ke halte bus samping Semanggi, deh! Aku gak tau mesti ke mana sekarang…,” aku memelankan suaraku pada kalimat akhir. Karena mata-mata liar ingin tau sedang mengarah kepadaku.

Aku takkan pernah berhenti akan terus memahami
Pasti terus berpikir bila harus memaksa
Atau berdarah untukmu
Apapun itu asalkan mencoba menerimaku

Sebelum lagu itu mengalun, Whopper BK ini lahap sekali kumakan. Hingga saat entah roti, daging, atau bahkan sayurannya menyumbat tenggorokanku, membuatku susah menelannya, dan lekas saja aku menyeruput Cola di sampingku. Kamu tau aku kenapa-kenapa, tetapi kamu lebih memilih menenangkanku dengan tidak menanyakannya.
“Lahap bener makannya, Al. Laper apa doyan?” tanyamu sambil menyuapkan sesendok ice cream Sundae ke mulutmu dan tak sengaja menyisakannya di atas garis bibirmu.
“Hahaha. Pake nyisain ice cream di bibir segala. Genit kamu!” usapan tisu dan jawaban yang kuberi memang tak menjawab pertanyaanmu. Namun, cukup untuk menyembunyikan apa yang kurasakan sebenarnya.

Inginkan rasakan
Rindu ini menjadi satu
Biar waktu yang memisahkan

Aku membiarkan lagu itu mengisi keheningan aku dan dirinya. Aku bingung. Entah harus kumulai dari mana. Atau haruskah menunggu dia yang bertanya. Sampai pada akhirnya…
“Kita cari kostan, yuk! Daerah Pancoran, kek, Setiabudhi, kek. Mana aja, deh! Yah?” untuk kesekian kalinya aku memulai di saat-saat hening antara aku dan dia. Kevin, lelaki yang kucinta, selalu membiarkan aku memulai segalanya. Membiarkannya agar tak ada yang seharusnya tak ingin kubagi, keluar dari hati.

***

SEBULAN KEMUDIAN…

Sore itu hujan baru saja selesai mengguyur Jakarta. Bak tenggorokan yang kering karena aktivitas di tengah panasnya Kota Polusi, dahaga meluap, yang diakhiri dengan 600 ml air mineral dingin. Namun, yang kuhadapi kini adalah mobil-mobil yang tak kunjung berjalan di depanku. Sekalinya berjalan, hanya beberapa meter saja. Masih di tempat yang itu-itu juga. Seketika, suara tape di mobilku seolah-olah membesar. Mengalunkan nada gloomy

Dan kamu hanya perlu terima
Dan tak harus memahami dan tak harus berpikir

Alin. Gadis manis dengan tinggi semampai, rambut lurus terurai. Dengan lesung pipi yang muncul seiring senyum menawannya. Yang mungkin karenaku.

Hanya perlu mengerti aku bernapas untukmu
Jadi tetaplah di sini dan mulai menerimaku

Gadis yang kucinta. Yang rela melakukan apa saja untukku. Haruskah aku meminta lebih lagi kepada Tuhan? Pantaskah?

***

Suasana di dalam ruangan itu hening, hanya ada sedikit kicauan burung. Mungkin saja kicau bahagia. Lalu, muncul suara lantang bertanya pada dua insan di hadapannya. Orang-orang di sekitar duduk memerhatikan apa yang terjadi di depannya. Kedua insan tersebut saling melirik, tersenyum.
“… Apa yang telah dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh apapun, kecuali oleh maut. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”
Keadaan khidmat itu pun seolah berubah ramai. Bukan dengan teriak atau sorak-sorai, tetapi senyum sumringah, wajah-wajah bahagia Alin-Kevin, juga para sahabat-sahabat mereka, serta keluarga yang datang. Keluarga Kevin.

Cobalah mengerti
Semua ini mencari arti
Selamanya takkan berhenti…

Alin mengalihkan pandangan ke luar gereja. Ada raut yang disembunyikan dibalik senyumnya. Atas sesuatu yang ia tinggalkan, di rumah.

(set full volume to Cobalah Mengerti Momo Geisha ft. Perterpan)

Inginkan rasakan
Rindu ini menjadi satu
Biar waktu yang memisahkan

***
Jakarta, 29 Juli 2012
Inspired by Cobalah Mengerti - Momo Geisha ft. Peterpan
dalam tagar #cerpenpeterpan
(Tanggal 29 Juli cerpen ini numpang mejeng di blog-nya @monstreza karena saya lagi gak bisa posting) 


Semoga Tidak Lagi


Ketika saya menulis ini saya sedang dalam keadaan baru pulang dari rumah sakit, dan ketika Anda membacanya semoga kita dalam keadaan sehat. Amen.


Ini adalah kali kedua saya sakit yang cukup parah, pertama kali adalah enam belas tahun yang lalu. Namun, ini adalah kali pertama saya merasakan cairan masuk melalui nadi-nadi saya. Begitu riweuh melakukan apa-apa hanya dengan satu tangan. Begitu sakit beberapa waktu harus disuntik. Begitu nyeri beberapa waktu selang dipelintir agar cairan lancar berjalan. Begitu tersiksa infus harus dipindah dua kali karena cairan tidak berjalan baik di nadi saya.
Ditambah saya hanya sendiri di rumah sakit, sesekali dijenguk ayah-bunda hanya untuk mengetahui perkembangan saya. Mereka tak bisa siaga karena harus mengurus adik saya yang masih kecil. Dua malam saya ditemani kembaran saya. Cukup membantu, tetapi selebihnya saya sendirian. Nangis? Ingin sekali. Tapi untuk apa?
Malam itu, Kamis dini hari, malam di mana saya harus dipindah infus karena infus di pergelangan tangan kiri saya tak berfungsi sehingga menyebabkan bengkak. Saya membangunkan kembaran saya dan memanggil suster. Aura suster tersebut...kejam. Ya itulah first impression saya terhadapnya. Benar saja. Everything she did made me hurt. Cara ia mencari nadi, cara ia menyuntikkan saluran infus, cara ia menguatkan infus tersebut dengan plester agar menempel baik di pergelangan tangan kanan saya. Semua cara yang ia lakukan kasar. Malam itu saya menangis. Merintih sakit. Bayangkan saja, untuk menggerakan tangan sedikit saja, saya kesakitan. Bukankah ada yang salah dengan infus saya? Kembaran saya pun menenangkan saya. Menyarankan untuk mengganti infus besok pagi jika sakit masih dirasa. Keesokannya pun saya memanggil suster lain untuk mengganti infus saya karena sakit tak kunjung hilang.
Banyak pelajaran yang saya dapat ketika saya berada dalam ruang perawatan itu selama 5 hari. Untuk makan teratur, untuk tidur teratur, untuk menghargai kesehatan, dan untuk sadar bahwa ada orang-orang yang selama ini saya tak indahkan adalah mereka yang benar-benar peduli. Yang pertama kali bertanya 'Kamu sakit apa?' Yang kemudian mengirimkan doa klasik 'Semoga cepat sembuh.' Yang kemudian bertanya 'Dirawat di mana?' Yang kemudian membuat saya sadar, bahu mereka yang seharusnya saya cari ketika saya butuh tempat untuk bersandar. Benar kata kak @tlvi, bahwa sakit adalah kesempatan terbaik untuk tau siapa yang paling pengertian.
Terima kasih buat kamu yang sudah setia menjenguk setiap hari, memberi support, atau setidaknya untuk menemani. Terima kasih buat teman-teman yang sudah menyempatkan waktu menjenguk, sekedar berbagi cerita lucu untuk menghibur. Terima kasih untuk saudara dan juga terima kasih buat mention-mention di Twitter yang mendoakan saya agar cepat sembuh. Saya di sini, bisa menulis ini, bisa sembuh, apa lagi kalau bukan karena doa dari kalian? Wish Allah always be with you, all. Amen. :)

Jakarta, 27 Juli 2012.