Hari ini, ada rasa yang tumbuh. Pertemuan rutin sebagai pupuk, senda-gurau
sebagai air, dan tawa yang renyah sebagai matahari. Aku mulai bertanya pada
diri sendiri. Benarkah ini cinta atau hanya perasaan jenuh terhadap hampa? Aku
memastikan lagi. Bertanya pada hati berulang-ulang kali. Mungkin jika hati bisa
berbicara, ia akan berteriak di hadapanku “Banyak bacot lo!”
***
Senin, 16 April yang lalu, tepatnya saat prime time malam, ada sebuah tweet
dari salah satu following-ku.
Memberitahukan info open recruitment volunteer
suatu acara besar salah satu koran ternama ibu kota. Tanpa pikir panjang, aku
mengklik link yang ada pada tweet tersebut. Membaca dengan detil
persyaratan untuk menjadi volunteer.
Membuka Ms. Word dan segera membuat sebuah tulisan. Iya, salah satu syarat
untuk menjadi volunteer adalah dengan
mengirimkan sebuah tulisan yang sesuai dengan beberapa tema yang telah
ditentukan.
Tiga jam berlalu, tulisan tersebut telah siap kukirim. Kubaca sekali-dua
kali, memastikan tak ada pemilihan kata yang salah ataupun typo. Segera kukirimkan tulisanku tersebut lewat e-mail dan kemudian duduk manis menunggu
pengumuman sebulan kemudian.
***
Sebulan berlalu, aku mendapatkan e-mail
dan SMS yang menyatakan bahwa aku diterima menjadi volunteer. Ah, senangnya!
Selanjutnya, aku diminta datang ke tempat yang telah ditentukan, di daerah Pal
Merah, untuk berkumpul bersama volunteer
terpilih lainnya. Yeay! Dapat teman-teman
baru. Girangku dalam hati sambil tersenyum menatap layar smartphone-ku.
Saat matahari sedang terik-teriknya, aku memasuki salah satu gedung di
kawasan Pal Merah dengan sedikit berlari. Aku terlambat. Macetnya Jakarta
bangsat banget! Padahal aku telah berangkat dari kostanku satu jam sebelum
waktu yang telah ditentukan. Aku memencet tombol naik lift berulang-ulang kali. Ya, aku tau itu sia-sia, karena layar di
atas lift menunjukkan lift masih berada di lantai 8. Mataku
gesit mencari di mana tangga berada. Setelah menemukan titik tersebut, aku
berlari.
BRRRRAK!!!
Aku menabrak seseorang. Lelaki dengan tubuh tinggi semampai dan badan yang
proposional. “Duh, maaf...” Senyum yang manis, diiringi gigi dengan bracket berwarna abu-abu. “Kamu gak
kenapa-kenapa?” Badannya yang tinggi, membuatku mendongak untuk sekedar
melihatnya. Padahal posisiku saat itu tidak benar-benar tersungkur.
“Hei! Kamu gak kenapa-kenapa?” aku terlalu terkesima dengan kecelakaan
kecil itu, sehingga ia harus mengulangi pertanyaannya.
“Eh. Ng...gak apa kok,” jawabku gugup.
“Baguslah kalau begitu,” ia tersenyum sekali lagi. Membuat aku lupa bahwa
aku sedang terlambat.
“Eh, aku duluan ya. Aku telat, nih,” kemudian aku lari tergopoh-gopoh
menaiki entah berapa anak tangga, menuju lantai 4. Sementara itu, ia berjalan
menuju lift. Shit! Lift itu kini
terbuka. Dan bodohnya, aku tetap saja naik tangga.
Sesampainya di ruangan itu, aku kaget bukan main. Ada dia, lelaki yang
kutabrak tadi. Ternyata dia adalah salah satu volunteer terpilih juga. Ah!
Tuhan Maha Baik. Hanya itu yang terlintas di otakku. Entah mengapa, selalu
Tuhan selipkan kebahagiaan di sela ketergesa-gesaaanku.
Beruntung aku bukan satu-satunya orang yang telat. Jumlah kepala dalam
ruangan itu belum banyak. Mungkin bukan hanya aku yang terjebak macet. Syukurlah! Setelah mengatur napas karena
kecapekan menaiki tangga, ia menghampiri tempat di mana aku duduk.
“Heh! Ternyata kamu volunteer
juga?” tanyanya basa-basi.
“Iya. Hehehe,” aku bingung harus bertanya apalagi untuk membuat percakapan
itu menjadi dua arah. Ia mengubah posisi duduknya, menjadi lebih dekat, memangkukan
kedua kepal tangannya pada dagunya, dan kini menatapku dengan lekat.
“Lah terus ngapain tadi kamu lewat tangga? Hahaha,” tawanya renyah. Duh!
Aku salah fokus. Fokus! Fokus!
“Oh, itu. Hehe. Aku kira aku udah telat. Abis tadi macet banget. Aku mau
naik lift tapi tadi pas aku dateng lift-nya masih ada di lantai 8. Gitu…,”
kata terakhir aku ucapkan dengan bibir manyun yang kulakukan dengan tanpa sadar.
“Hahaha. Aku baru tau ada cewek yang meskipun lagi ngambek tetep aja
cantik,” aku tersipu malu. Satu yang terlintas saat itu. Ini anak muridnya
Genna ya? Jago banget nyepik, padahal baru ketemu. Eh?! :))
“Di sepik-live dong. Hahaha. By the way, namanya siapa?” aku menjulurkan
tanganku.
“Bimo. Kamu?” tanyanya balik sambil menjulurkan tangannya.
“Aku Anggi.” jawabku singkat. Bukan karena ingin bersikap dingin. Lebih
karena aku dibuat beku di hadapannya.
Hari itu kami bertukar pin BB. Hari-hari berikutnya kami bertukar nomer handphone. Dan hari-hari berikutnya kami
bertukar cerita. Cerita ini, cerita itu, cerita apa saja. Hari ini, ada rasa
yang tumbuh. Pertemuan rutin sebagai pupuk, senda-gurau sebagai air, dan tawa
yang renyah sebagai matahari. Aku mulai bertanya pada diri sendiri. Benarkah
ini cinta atau hanya perasaan jenuh terhadap hampa? Aku memastikan lagi.
Bertanya pada hati berulang-ulang kali. Mungkin jika hati bisa berbicara, ia
akan teriak di hadapanku “Banyak bacot lo!"
***
“Nggi, makasih ya udah selalu nyemangatin aku,” ucapnya tiba-tiba. Dini
hari itu aku dan Bimo sedang menelusuri jalan di atas trotoar. Sepi sekali.
Hanya ada beberapa mobil dan motor berknalpot super annoying yang meramaikan suasana saat itu. Ada juga suara wajan
yang beradu dengan sodet milik tukang nasi
goreng pinggir jalan.
“Eh? Kok?” aku sudah tau ke mana arah pembicaraan ini. Makanya, hanya itu
yang bisa kulontarkan. Aku tak tau harus menjawab apa.
“Aku nyaman sama kamu, tapi aku mau keluar dari zona nyaman,” sikap yang
bagus, yang tak selalu dilakukan cowok zaman sekarang yang akhirnya terjebak friendzone.
“Iya...,” aku mengangguk dan membiarkan ia melanjutkannya.
“Hm... Gini loh, Nggi...,” ucapannya terputus. Ia membiarkanku membuka
pintu gerbang kostanku terlebih dulu. Kemudian kami berdua masuk dan duduk di
teras yang remang-remang. “Aku sayang
kamu.” Aku tau ia akan mengucapkan hal itu, sedang aku tak tau harus
membalasnya bagaimana. Aku mengalihkan pandangan ke mana saja sambil entah
berpikir tentang apa.
“Bukannya cewek butuh kejelasan ya?” ia melanjutkannya lagi, mengetahui aku tak membalas pernyataannya.
Kami berdua terdiam. Keadaan pun menjadi hening. Sesekali motor berknalpot annoying yang sama dengan tadi menjadi backsound keheningan antara aku dan Bimo.
Kali ini suaranya lebih jauh. Tidak terlalu memekakakan telinga. Lama-lama suara
knalpot itupun hilang. Namun, kami masih tetap terdiam.
Tak lama kemudian, ia berdiri. Mungkin merasa sia-sia berada di hadapanku.
Aku pun tak lantas diam. Aku menarik tangannya. Menarik pula badannya agar
berhadapan denganku.
“Bim, aku juga sayang kamu, kok...,” aku memeluknya, erat sekali. Merasakan
hangat tubuhnya. Mendengarkan detak jantungnya yang berubah menjadi cepat
secara perlahan. “...tapi...,” ia melepas pelukanku begitu aku mengucap satu
kata itu; tapi.
“Bimo, aku masih nyaman sendiri. Aku masih menyiapkan hati jika suatu saat
disakiti lagi. Jika suatu saat ternyata aku memilih orang yang salah. Aku masih
menyiapkan diri untuk merasa kebal ketika ada yang mencoba mematahkan ini.” aku
menunjuk dadaku dengan telunjuk kananku, kemudian tangan kiriku mengenggam
tangannya. Erat.
“Iya, aku ngerti, kok.” tangan kanannya menarik kepalaku dalam peluknya,
mengusapnya, kemudian menciumnya. Tulus. Aku tau, ia tak sepenuhnya mengerti...