Thursday, March 8, 2012

It's Too Late...


Perkenalkan, aku orang yang selalu menyakiti hati gadis yang kusayang. Aku membuatnya berpura-pura nyaman berada di sampingku. Postur tubuhku cukup tinggi, tetapi lebih tinggi lagi egoku. Aku pintar, tetapi tidak dalam menjaga dan mencintai gadis yang kusayang. Sekali lagi, perkenalkan...aku adalah Haykal Al-Aziz. Namun, aku lebih akrab disapa dengan Alzi.


Alzi melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Pertemuannya dengan Arinda, gadis yang disayanginya, mampu membuatnya menjadi pembalap profesional secara otodidak. Arinda baru saja membuatnya terhenyak dengan berbagai macam fakta yang dilontarkan yang sebagian besar diterimanya dengan anggukan lemas. Kata demi kata yang keluar dari bibir mungil Arinda dibenarkan oleh Alzi dengan penyesalan yang mendalam.
Seketika decit mobil terdengar sangat memekakan telinga. Alzi hampir saja menabrak seorang nenek tua yang berjalan bersama cucunya dengan membawa tas yang cukup besar, sepertinya mereka dari kampung halaman karena kejadian tersebut terjadi di depan terminal bus antar-kota. Tanpa pikir panjang Alzi langsung menghampiri sang nenek dan cucunya tersebut. Tak dinyana sikap tanggung jawab Alzi justru disambut tidak baik oleh cucu dari si nenek.
“Lo lulus SIM A gak sih? Kira-kira dong kalau mau ngebut. Ini jalanan ramai. Sok-sokan jadi pembalap!” seperti sudah dihapal beratus-ratus kali, kalimat demi kalimat tersebut terlontar dengan sangat lancar tanpa jeda dari lelaki yang merupakan cucu sang nenek. Lelaki tersebut sudah akan berdiri dari sikap bungkuk menolong sang nenek dan siap menghajar Alzi tanpa ampun. Alzi menghindar.
“Maaf banget, Mas. Bagaimana kalau saya antarkan Mas dan nenek Mas ke rumah sakit terdekat?” Alzi membungkuk menghampiri sang nenek. “Nenek gak kenapa-kenapa kan? Ada yang luka? Maafin saya ya, Nek.”
“Gak usah sok jadi pahlawan kesiangan! Pergi lo dari sini! Jangan sentuh nenek gue!”
“Hus! Aa gak boleh gitu ah. Nin1 teu nanaon da, A. Sok bantuan Nin. Nin mau bangun.” (Hus! Kakak gak boleh begitu. Nenek gak kenapa-kenapa kok, Kak. Tolong bantuin nenek. Nenek mau bangun.)
“Gue bilang pergi!”
Alzi pun meninggalkan tempat tersebut. Perasaannya semakin kacau. Semakin balau. Semakin galau.
***
“Bim, aku mau putus.” ucap seorang wanita memecah keheningan di dalam mobil, mereka sedang menuju sebuah café di kawasan Kemang.
“Hah? Kita kan gak jadian, Rin. Kok tiba-tiba putus?” ucap Bimo polos kepada wanita di sampingnya yang memiliki nama lengkap Arinda Kezia Handoyo. Ia mendelik, kemudian mencubit lengan Bimo gemas. “Hahaha. Becanda, Rin. Ah! Masa udah mau putus aja? Gue aja belum lo kenalin ke pacar baru lo. Janji lo kan abis gue balik dari Bandung bakal lo kenalin ke gue. Gimana sih?”
“Lagian kamu kelamaan di sana. Betah beneur. Udah nemu mojang Bandung nu geulis2 binti beuning ya? Haha”
“Gak usah mengalihkan pembicaraan...”
“…”
“Cerita, Arin. I'll be a good listener,” senyum itu sedikit menenangkan Arin. Arin pun bercerita...
...
“…jadi gitu loh, Bim. Dengan atau bersama dia gak ada bedanya. Terlalu banyak dari diri dia yang perlu dia ubah. Dia belum siap milikin aku…”
“Gak ada kesempatan lagi buat dia?”
“Apa gak terlalu jahat kalau aku jadikan dia manekinku?”
“Lo rela dia gak jadi bagian dari hidup lo lagi?”
“Mau sampai kapan aku nunggu dan maksain cocok sama dia?”
“Bisa gak pertanyaan gue gak dibalas dengan pertanyaan, Arinda Kezia Han…”
“Hehehe,” lesung di kedua pipi Arin muncul seiring tersungginya senyum manisnya itu.
“…doyo?” ucap Bimo lirih melanjutkan nama lengkap Arin. “Udah berapa lama sih sama dia?”
“Hm…tiga hari lagi genap tiga puluh hari.”
“Kok lo jadi kaya Aurel sih?!”
“HEH! Sial! Gak gitu. Sekarang kalau emang gak nyaman, apa aku mesti pura-pura nyaman? Pertanyaannya, mau sampai kapan? Dia terlalu sibuk dengan dunianya dia. Dia bisa have fun dengan dirinya, tapi gak bersamaku. Dia bisa membahagiakan dirinya, tapi gak dengan membahagiakan aku. Banyak hal tentang suatu hubungan yang gak perlu diucapkan secara lisan, atau dituliskan seperti terms of use suatu aplikasi, tapi anehnya dia gak pernah ngerti. Dia terlalu angkuh dan tak acuh dengan perasaan wanita, khususnya aku,” Arin menghela napas cukup panjang. Keadaan tetap hening. Bimo tau Arin masih akan melanjutkan ceritanya. “Aku sayang dia, Bim, tapi aku gak mau menyiksa diriku sendiri. Aku pikir kali ini gak akan gagal, ternyata...,” bulir air dari mata indah Arin pun berjatuhan ke pipinya. Mulai membasahi, lalu menetes jatuh ke layar ponsel Arin.
“Iya gue ngerti kok. Setelah disakitin sama Aldri lo pasti berharap Alzi akan lebih baik, bahkan jadi yang terakhir. Memecahkan rekor pacaran lo yang hampir 5 tahun. Gue ngerti itu, tapi pengharapan gak melulu berdampingan dengan kenyataan. Don't hope too much, don't expect too much, don't love too much, cause that too much will hurt you so much,” Bimo berhenti sejenak, membiarkan Arin menyerap kuliah singkatnya barusan. “Hm...kita mau masuk ke café atau putar balik?” Arin terdiam, air matanya masih mengalir, tetapi napasnya lebih teratur. “Arin...,” Bimo mencoba menyapanya lembut diiringi belaian manis di ujung kepala Arin.
“Yuk, masuk ke café! Aku gak kenapa-kenapa, kok,” ucap Arin berbohong.
There's always a little kenapa-kenapa behind every aku gak kenapa-kenapa.”
“Ah, Bimooo…!” kemudian mereka berdua pun memasuki café di kawasan Kemang itu sambil tertawa.
***
“Nda, di mana? Lagi apa? Ada waktu?” pertanyaan bertubi-tubi tersebut dilontarkan oleh seorang bersuara bass. Nanda sontak menjauhkan ponsel, melihat nama si pemanggil. Private Number.
“Alzi?” tetapi Nanda mengenalinya.
“Bisa?” dari suaranya sangat bisa ditebak bahwa Alzi tergesa-gesa. Tiga pertanyaan di awal pembicaraan saja belum dijawab oleh Nanda, ia sudah lagi memberikan pertanyaan yang bermakna ia-sangat-butuh-Nanda-saat-ini.
Free, kok. Ada apa sih?”
“Gue meluncur ke rumah lo sekarang. Bye.” sambungan terputus. Nanda memandangi ponselnya bingung, tetapi segera bergegas berganti pakaian. Sesaat kemudian, bunyi klakson seperti memerintah Nanda untuk segera turun ke bawah, menghampiri Alzi yang termenung di balik kemudi. Wajahnya pucat, matanya mengisyaratkan kekosongan.
“Zi? Are you okay?
“Hm…I'm okay not to be okay,” balas Alzi sekenanya kemudian melesat cepat dengan Mazda 2 Hitam-nya.
***
Di sisi lain, Bimo sukses menghasilkan dua lesung pipi di wajah Arin. Hebatnya, Bimo sukses membuat tawa Arin pecah. Sudah lama mereka berdua tidak menghabiskan waktu seperti ini. Bimo merindukan tawa Arin, tawa yang lepas. Bukan yang dipaksakan hanya untuk meyakinkan yang lain bahwa dia baik-baik saja.
Belakangan, Bimo memang lebih sering melihat linimasa Arin dipenuhi #puisingkat, 140 karakter yang dirangkai menjadi indah, tetapi sarat akan kegalauan. Bimo tau ada apa-apa dengan sahabat yang sangat disayanginya itu. Makanya, di hari pertama ia kembali ke ibu kota langsung disediakan waktu penuh untuk sahabatnya, Arin.
Shit!” gerutu Bimo lirih, tidak mau mengganggu Arin yang sedang asyik dengan pemandangan rintik hujan di luar. Seketika emosi Bimo tersulut melihat dua orang yang datang dari arah pintu masuk. Salah seorang dikenalnya, meski tidak baik, tetapi cukup alasan bagi Bimo untuk terus mengutukinya setiap kali bertemu. Mata tajam Bimo terus mengikuti orang tersebut, sampai akhirnya mereka melewati meja Bimo dan Arin.
“Kenapa, Bim?” Arin menyadari sahabatnya menggerutu, meskipun lirih. Arin pun mengikuti ke mana mata Bimo melangkah. “Dan itu alasan awal kenapa rasaku hilang banyak…banyak sekali kepada Alzi. Kita pulang, Bim.”
“Hah?!” Bimo tercengang mendapati Arin membicarakan Alzi tiba-tiba, lebih tercengang lagi ia mengajaknya pulang tiba-tiba.
***
Di dalam perjalanan yang entah ke mana itu Arin dan Bimo terjerat dalam keheningan. Bimo lebih ingin membiarkan Arin yang membuka percakapan.
“Kamu pengen dikenalin sama Alzi, Bim?”
If you want me to, Rin.”
“Liat gak tadi ada lelaki tinggi pakai red polo shirt yang jalan sama cewek pakai fringe tee?”
“Itu Alzi? Sama siapa? Gue boleh ngomong kasar, Rin?”
“Aku boleh cerita, Bim?”
Kapan sih, Rin pertanyaan gue gak dibalas dengan pertanyaan. Untung lo sahabat gue. “Silahkan, Rin.”
“Iya, itu Alzi. Cocok ya sama cewek itu?”
“Cantikan sahabat gue. Tinggian sahabat gue. Langsingan sahabat gue. Udah bak model aja lah sahabat gue. Cuma kurang satu…”
“Apa?” tukas Arin cepat.
“Gak ada yang rekrut,” tawa mereka pun pecah. Seketika. Hanya seketika dan kemudian kembali hening.
“Menurutmu, mereka pacaran atau cuma sahabatan?”
“Dari tawa yang terpancar sih seperti sepasang kekasih, Rin. Tapi, gesture-nya nunjukin mereka cuma sahabat. Kenapa sih?”
“Eh tadi kenapa mau ngomong kasar sama Alzi?”
“Bisa gak sih pertanyaan gue gak dibalas dengan pertanyaan, Arinda?”
“…” Arin termenung. Entah apa yang berputar di kepalanya. Sang calon mantan kekasih yang berjalan dengan wanita lain dan gertakan Bimo silih berganti menghiasi pikiran Arin.
“Hm...sorry, Rin. Gue boleh cerita?” Arin hanya mengangguk. “Tadi pas gue di terminal, gue dan Nin hampir ditabrak,” Arin langsung mengubah posisi duduk dan memperhatikan Bimo dengan seksama. “Nin jatuh, tapi untung gak kenapa-kenapa. Itu orang yang nyetir ngebut banget, Rin. Gak kira-kira ngebutnya. Nyetir di jalanan ramai udah berasa nyetir di tol dan di racing track Sentul. Gue udah hampir menghajar si Brengsek yang hampir ngehilangin nyawa gue dan Nin, tapi Nin ngelarang.”
“Terus?”
“Terus tadi gue ketemu orang itu lagi, di café tempat kita makan tadi.”
“Kok kamu gak kasih tau aku, Bim?”
“Tadi tiba-tiba lo langsung ajak gue pulang begitu gue lagi memerhatikan si Brengsek itu.”
“Emang orangnya yang mana?”
“Lelaki tinggi pakai red polo shirt yang lagi jalan sama cewek pakai fringe tee,” Bimo mengulang pendeskripsian Arin sebelumnya. Arin terhenyak, tercengang, dan bibirnya kelu. “Mobilnya Alzi Mazda 2 hitam bukan, Rin?”
“Iya...,” Arin kembali ke posisi asal, pandangannya lurus ke depan, menatapi jalanan ramai, tetapi tatapannya kosong. Arin menyadari kekacauan yang dilakukan Alzi juga bermula dari dirinya, dari pernyataannya untuk berpisah sementara atau selamanya dengan Alzi. Ia tak menyangka Alzi akan sekacau itu. Namun, seketika wajahnya memerah, dari matanya terpancar amarah. “Kalau dia bisa sekacau itu karena keputusanku, sampai hampir menghilangkan nyawa sahabatku dan neneknya, kenapa sesaat kemudian dia bisa mesra-mesraan sama cewek lain sih? AH!!!” tangis Arin pecah. Bimo mencoba menenangkannya dengan mengusap lembut ujung kepala Arin dan menepuk bahunya halus.
***
“Arin mau putus sama gue,” Alzi membuka percakapan.
“Kok bisa? Lo ngapain Arin, Zi?” tanya wanita mungil di hadapan Alzi.
“Entahlah, Nan,” ucap Alzi lemas. “Menurutnya, gue belum masuk dalam kategori siap memiliki seorang pacar, apalagi untuk jadi pacarnya Arin. Gue sadar gue yang salah. Selama ini energi gue udah habis sama wanita-wanita yang datang dan pergi dengan mudahnya di hidup gue, tanpa mereka jadi pacar gue. Gue tau itu gak bisa dijadikan sebagai alasan atas sikap gue yang udah menyia-nyiakan Arin. Gue sudah berkomitmen untuk menjalani hubungan dengan Arin, seharusnya pula gue sudah mengerti bagaimana harus memperlakukan seorang pacar dengan baik. Gue gak peka, gue terlalu sibuk, gue…gue pikir cinta saja sudah cukup. Ternyata enggak…”
Setelah penjelasan super panjang dari Alzi, keduanya terdiam. Keheningan itu menyelimuti mereka. Nanda, wanita yang berada di hadapan Alzi, tak langsung menanggapi Alzi yang tertunduk meratapi nasib hubungannya. Nanda tau Alzi begitu sayang kepada Arin, tetapi sikap yang ia tunjukkan kepada Arin tak seperti yang dilihatnya sekarang, setelah hampir kehilangan Arin.
“Zi…,” Nanda meraih tangan kiri Alzi, mengusapnya lembut. “Lo sayang sama Arin?”
“Gue perlu pasang tampang gimana lagi yang nunjukkin kalau gue cukup stress ditinggal Arin? Gue perlu nangis, Nan?” Alzi tampak gusar dengan pertanyan retoris dari Nanda. Nanda pun kaget dengan ekspresi Alzi yang begitu temperamental. “Sorry, Nan. Gak maksud kasar. Hm…ya tapi kalau dia tersiksa menjalani sama gue, gue gak akan memaksakannya. Sia-sia menjalani dengan terpaksa, terlebih dia sudah gak ada rasa…”
“Sabar ya, Zi. Mungkin jalan lo lagi terpisah sama Arin. Gak memungkiri di ujung jalan lo ketemu lagi sama Arin kan?” Nanda berfilosofi dan mengakhirinya dengan senyuman.
Alzi dan Nanda. Sulit mendeskripsikannya. Mereka bersahabat, lama. Layaknya Arin dan Bimo. Latar belakang hubungan Alzi-Nanda dan Arin-Bimo pun ada kemiripan. Sama-sama saling menyayangi, tetapi salah satunya lebih memilih untuk menjadi sahabat. Nanda, yang merasa dirinya sudah sangat nyaman dengan keberadaan Alzi di sampingnya, sebagai sahabat, sudah berkali-kali menolak permintaan Alzi untuk menjadikan dirinya sebagai pacar Alzi. Alzi-Nanda, mempunyai hobi yang sama, selera musik yang sama, sama-sama aktif di organisasi, sama-sama memiliki pengetahuan yang luas, hanya satu yang tidak sama…Alzi (masih) menginginkan Nanda menjadi pacarnya, sedangkan Nanda tidak pernah berharap itu terjadi.
***
“Bim, aku butuh ketemu sama Alzi sekarang juga. Kita puter balik,” sebagai co-supir, Arin memegang kendali akan dibawa ke mana Jazz hitam tersebut melaju. Bimo pun menuruti segala perintah Arin. Bimo hanya ingin melihat Arin bahagia, meski dirinya bukanlah alasan senyum yang tersungging ataupun lesung pipi yang muncul di wajah Arin.
Bimo menyayangi Arin seperti Alzi menyayangi Nanda. Sayang seorang sahabat yang berharap hubungannya bisa lebih dari hanya sekedar sahabat. Apa daya, Arin seperti sudah mempatri label “AMIGOS POR SIEMPRE” di kening dirinya dan Bimo. Bimo hanya ingin memastikan, bahwa tidak akan ada orang yang membuat bulir air keluar dari mata Arin. Bimo tulus kepada Arin. Dan mungkin inilah yang dinamakan cinta; bisa merelakan yang dicinta bahagia, meski tidak bersama kita.
Dari sudut matnya, Bimo melihat Alzi sedang memeluk Nanda dengan erat di depan café yang tadi dikunjunginya bersama Arin. Ia yakin betul yang dilihatnya bukan hanya ilusi semata. Bimo benar-benar melihat lelaki tinggi memakai polo shirt merah sedang memeluk wanita memakai fringe tee berwarna putih. Ia yakin bahwa itu adalah Alzi dan Nanda. Brengsek tuh cowok!
Di sampingnya, Arin sedang tertidur pulas. Mungkin Arin lelah karena sepanjang jalan tadi ia menangis tak henti-henti. Akhirnya, Bimo memutuskan untuk berhenti di Little Baghdad yang letaknya tak jauh dari café tempat mereka makan tadi. Bimo bermaksud untuk menghampiri Alzi yang kini telah mendapatkan sebutan si Brengsek dari dirinya. Tentu saja Bimo tak akan membangunkan Arin dari tidurnya. Rencananya kali ini tak perlu mendapatakan persetujuan dari sahabatnya, Arin.
Setelah memarkir mobilnya di area parkir Little Baghdad, Bimo segera menyebrang jalan dan berlari kecil menuju ke café yang dimaksud. Adegan pelukan itu pun belum selesai. Tanpa pikir panjang Bimo langsung menghantam Alzi dari belakang. Memisahkan dua insan yang sedang berpelukan tersebut. Melayangkan kepalan tangannya ke pelipis Alzi. Alzi yang terkejut mendapati dirinya diserang, tidak menyerang balik. Bimo belum selesai. Dirinya kembali menyerang Alzi, masih dengan kepalan tangan. Kini kepalan itu berpindah ke perut Alzi, membuat Alzi jatuh terjerembab. Alzi hanya bisa memejamkan mata sambil memegang perutnya, menahan sakit yang dirasa. Di sisi lain, Nanda berteriak minta tolong, tetapi orang di sekitar justru mengerubungi Alzi dan Bimo. Tidak satu pun dari mereka memisahkan Alzi dan Bimo. Mereka justru seperti membuat line arena untuk Alzi dan Bimo melanjutkan pertarungan.
Sesaat kemudian, Alzi mencoba membuka matanya. Setelah ia tersadar penuh, ia mencoba mengenali orang yang ada di hadapannya. Alzi mengenali orang itu, meski baru ditemuinya sekali ia sangat mengenali orang itu dan mengerti mengapa orang tersebut memukulinya seperti sekarang. Makanya, Alzi tak berusaha membalas.
“Gue kan udah minta maaf. Gue udah mau ngebawa lo dan nenek lo ke rumah sakit, tapi lo nolak,” keadaan yang tadinya riuh berubah menjadi hening seiring Alzi yang membuka percakapannya dengan Bimo. “Gue mesti apa lagi supaya lo mau ngemaafin gue?”
“Jangan coba-coba nyakitin Arin lagi, BRENGSEK!” satu tinju meluncur di pipi kiri Alzi. “Setelah hampir ngehilangin nyawa gue dan nenek gue, lo masih berani nyakitin sahabat gue? Satu cewek aja gak bisa lo urus, lo udah meluk-meluk cewek lain,” diliriknya Nanda dengan tatapan setengah iba.
“Itu gak seperti yang lo pikir. Gue bisa jelasin. Gue sayang sama Ar…”
“BANYAK BACOT LO!” satu tinju lagi mendarat di pipi kanan Alzi.
“UDAH-UDAH! STOP IT, PLEASE! Tolong, Mas. Jangan sakitin Alzi lagi. Bisa kan kita selesaikan dengan cara kekeluargaan? Malu, Mas dilihat orang-orang,” Nanda melihat sekeliling, kemudian pandangannya kembali kepada Bimo, memohon. “SEMUANYA TOLONG BUBAR!!!” Nanda mencoba menggusur orang-orang kepo yang sejak tadi hanya melihat pertarungan Alzi-Bimo tanpa membantunya melerai. Satu tinju lagi mendarat di perut Alzi sebagai tanda perpisahan. Alzi hanya bisa mengerang, lagi-lagi tanpa penyerangan balik. Bimo pun berdiri, sudah akan meninggalkan Alzi dan Nanda. Namun, seketika…
“BIMO…!!!”
SELESAI
1 Nin, nenek dalam bahasa Sunda
2 Geulis, cantik dalam bahasa Sunda