Friday, August 17, 2012

(Mungkin) Ini Cinta



Hari ini, ada rasa yang tumbuh. Pertemuan rutin sebagai pupuk, senda-gurau sebagai air, dan tawa yang renyah sebagai matahari. Aku mulai bertanya pada diri sendiri. Benarkah ini cinta atau hanya perasaan jenuh terhadap hampa? Aku memastikan lagi. Bertanya pada hati berulang-ulang kali. Mungkin jika hati bisa berbicara, ia akan berteriak di hadapanku “Banyak bacot lo!”
***
Senin, 16 April yang lalu, tepatnya saat prime time malam, ada sebuah tweet dari salah satu following-ku. Memberitahukan info open recruitment volunteer suatu acara besar salah satu koran ternama ibu kota. Tanpa pikir panjang, aku mengklik link yang ada pada tweet tersebut. Membaca dengan detil persyaratan untuk menjadi volunteer. Membuka Ms. Word dan segera membuat sebuah tulisan. Iya, salah satu syarat untuk menjadi volunteer adalah dengan mengirimkan sebuah tulisan yang sesuai dengan beberapa tema yang telah ditentukan.
Tiga jam berlalu, tulisan tersebut telah siap kukirim. Kubaca sekali-dua kali, memastikan tak ada pemilihan kata yang salah ataupun typo. Segera kukirimkan tulisanku tersebut lewat e-mail dan kemudian duduk manis menunggu pengumuman sebulan kemudian.
***
Sebulan berlalu, aku mendapatkan e-mail dan SMS yang menyatakan bahwa aku diterima menjadi volunteer. Ah, senangnya! Selanjutnya, aku diminta datang ke tempat yang telah ditentukan, di daerah Pal Merah, untuk berkumpul bersama volunteer terpilih lainnya. Yeay! Dapat teman-teman baru. Girangku dalam hati sambil tersenyum menatap layar smartphone-ku.
Saat matahari sedang terik-teriknya, aku memasuki salah satu gedung di kawasan Pal Merah dengan sedikit berlari. Aku terlambat. Macetnya Jakarta bangsat banget! Padahal aku telah berangkat dari kostanku satu jam sebelum waktu yang telah ditentukan. Aku memencet tombol naik lift berulang-ulang kali. Ya, aku tau itu sia-sia, karena layar di atas lift menunjukkan lift masih berada di lantai 8. Mataku gesit mencari di mana tangga berada. Setelah menemukan titik tersebut, aku berlari.
BRRRRAK!!!
Aku menabrak seseorang. Lelaki dengan tubuh tinggi semampai dan badan yang proposional. “Duh, maaf...” Senyum yang manis, diiringi gigi dengan bracket berwarna abu-abu. “Kamu gak kenapa-kenapa?” Badannya yang tinggi, membuatku mendongak untuk sekedar melihatnya. Padahal posisiku saat itu tidak benar-benar tersungkur.
“Hei! Kamu gak kenapa-kenapa?” aku terlalu terkesima dengan kecelakaan kecil itu, sehingga ia harus mengulangi pertanyaannya.
“Eh. Ng...gak apa kok,” jawabku gugup.
“Baguslah kalau begitu,” ia tersenyum sekali lagi. Membuat aku lupa bahwa aku sedang terlambat.
“Eh, aku duluan ya. Aku telat, nih,” kemudian aku lari tergopoh-gopoh menaiki entah berapa anak tangga, menuju lantai 4. Sementara itu, ia berjalan menuju lift. Shit! Lift itu kini terbuka. Dan bodohnya, aku tetap saja naik tangga.
Sesampainya di ruangan itu, aku kaget bukan main. Ada dia, lelaki yang kutabrak tadi. Ternyata dia adalah salah satu volunteer terpilih juga. Ah! Tuhan Maha Baik. Hanya itu yang terlintas di otakku. Entah mengapa, selalu Tuhan selipkan kebahagiaan di sela ketergesa-gesaaanku.
Beruntung aku bukan satu-satunya orang yang telat. Jumlah kepala dalam ruangan itu belum banyak. Mungkin bukan hanya aku yang terjebak macet. Syukurlah! Setelah mengatur napas karena kecapekan menaiki tangga, ia menghampiri tempat di mana aku duduk.
“Heh! Ternyata kamu volunteer juga?” tanyanya basa-basi.
“Iya. Hehehe,” aku bingung harus bertanya apalagi untuk membuat percakapan itu menjadi dua arah. Ia mengubah posisi duduknya, menjadi lebih dekat, memangkukan kedua kepal tangannya pada dagunya, dan kini menatapku dengan lekat. 
“Lah terus ngapain tadi kamu lewat tangga? Hahaha,” tawanya renyah. Duh! Aku salah fokus. Fokus! Fokus!
“Oh, itu. Hehe. Aku kira aku udah telat. Abis tadi macet banget. Aku mau naik lift tapi tadi pas aku dateng lift-nya masih ada di lantai 8. Gitu…,” kata terakhir aku ucapkan dengan bibir manyun yang kulakukan dengan tanpa sadar.
“Hahaha. Aku baru tau ada cewek yang meskipun lagi ngambek tetep aja cantik,” aku tersipu malu. Satu yang terlintas saat itu. Ini anak muridnya Genna ya? Jago banget nyepik, padahal baru ketemu. Eh?! :))
“Di sepik-live dong. Hahaha. By the way, namanya siapa?” aku menjulurkan tanganku.
“Bimo. Kamu?” tanyanya balik sambil menjulurkan tangannya.
“Aku Anggi.” jawabku singkat. Bukan karena ingin bersikap dingin. Lebih karena aku dibuat beku di hadapannya.
Hari itu kami bertukar pin BB. Hari-hari berikutnya kami bertukar nomer handphone. Dan hari-hari berikutnya kami bertukar cerita. Cerita ini, cerita itu, cerita apa saja. Hari ini, ada rasa yang tumbuh. Pertemuan rutin sebagai pupuk, senda-gurau sebagai air, dan tawa yang renyah sebagai matahari. Aku mulai bertanya pada diri sendiri. Benarkah ini cinta atau hanya perasaan jenuh terhadap hampa? Aku memastikan lagi. Bertanya pada hati berulang-ulang kali. Mungkin jika hati bisa berbicara, ia akan teriak di hadapanku “Banyak bacot lo!"
***
“Nggi, makasih ya udah selalu nyemangatin aku,” ucapnya tiba-tiba. Dini hari itu aku dan Bimo sedang menelusuri jalan di atas trotoar. Sepi sekali. Hanya ada beberapa mobil dan motor berknalpot super annoying yang meramaikan suasana saat itu. Ada juga suara wajan yang beradu dengan sodet milik tukang nasi goreng pinggir jalan.
“Eh? Kok?” aku sudah tau ke mana arah pembicaraan ini. Makanya, hanya itu yang bisa kulontarkan. Aku tak tau harus menjawab apa.
“Aku nyaman sama kamu, tapi aku mau keluar dari zona nyaman,” sikap yang bagus, yang tak selalu dilakukan cowok zaman sekarang yang akhirnya terjebak friendzone.
“Iya...,” aku mengangguk dan membiarkan ia melanjutkannya.
“Hm... Gini loh, Nggi...,” ucapannya terputus. Ia membiarkanku membuka pintu gerbang kostanku terlebih dulu. Kemudian kami berdua masuk dan duduk di teras yang remang-remang.  “Aku sayang kamu.” Aku tau ia akan mengucapkan hal itu, sedang aku tak tau harus membalasnya bagaimana. Aku mengalihkan pandangan ke mana saja sambil entah berpikir tentang apa.
“Bukannya cewek butuh kejelasan ya?” ia melanjutkannya lagi, mengetahui aku tak membalas pernyataannya. Kami berdua terdiam. Keadaan pun menjadi hening. Sesekali motor berknalpot annoying yang sama dengan tadi menjadi backsound keheningan antara aku dan Bimo. Kali ini suaranya lebih jauh. Tidak terlalu memekakakan telinga. Lama-lama suara knalpot itupun hilang. Namun, kami masih tetap terdiam.
Tak lama kemudian, ia berdiri. Mungkin merasa sia-sia berada di hadapanku. Aku pun tak lantas diam. Aku menarik tangannya. Menarik pula badannya agar berhadapan denganku.
“Bim, aku juga sayang kamu, kok...,” aku memeluknya, erat sekali. Merasakan hangat tubuhnya. Mendengarkan detak jantungnya yang berubah menjadi cepat secara perlahan. “...tapi...,” ia melepas pelukanku begitu aku mengucap satu kata itu; tapi.
“Bimo, aku masih nyaman sendiri. Aku masih menyiapkan hati jika suatu saat disakiti lagi. Jika suatu saat ternyata aku memilih orang yang salah. Aku masih menyiapkan diri untuk merasa kebal ketika ada yang mencoba mematahkan ini.” aku menunjuk dadaku dengan telunjuk kananku, kemudian tangan kiriku mengenggam tangannya. Erat.
“Iya, aku ngerti, kok.” tangan kanannya menarik kepalaku dalam peluknya, mengusapnya, kemudian menciumnya. Tulus. Aku tau, ia tak sepenuhnya mengerti...

Sunday, August 5, 2012

Selamanya Takkan Berhenti



Saat surat ini dibaca, sudah pasti aku tak lagi ada di tempat di mana surat ini ditemukan. Beberapa kalimat ini mungkin bisa menjadi penjelas mengapa aku tak lagi ada di situ, sekarang.
Aku tak pernah meminta gaun cantik, pun handphone canggih keluaran terbaru. Aku tidak setiap minggu pergi ke salon, pun tak pernah menghabiskan uang hanya karena diskon. Aku tak pernah meminta untuk dimanja, diperhatikan lebih, dispesialkan, dijadikan emas. Aku hanya meminta kebebasan untuk memilih. Apa yang aku yakini benar.
Maaf jika aku pergi tanpa pamit.
Alin
***
Saat Jakarta diguyur air-air dari sumur-Nya, aku baru saja turun dari bus yang mengantarkanku ke halte untuk melanjutkan tujuan yang entah ke mana aku pun tak tau. Aku yang tergesa-gesa turun dengan menggunakan kaki kanan. Bodohnya! Kernet bus pun memberi perhatiannya padaku. Ah! Lebih ke arah mengomeliku, sih.
“Lain kali yang kiri dulu, Neng! Hati-hati ngapa kalau turun!”
Suara kernet itu beradu dengan suara gemuruh di langit Jakarta sore itu. Aku tak begitu memedulikannya dan segera berlari kecil menuju halte sambil menggamit tas dan melakukan usaha yang sia-sia, menutupi kepala dengan punggung tanganku agar tidak kebasahan. Setelah mengusap-usap sekenanya bagian blazerku yang basah karena hujan, ponselku berbunyi. Yang kutau dari kamu. Lekas kurogoh kantung bagian dalam tasku itu.
“Halo! Kamu di mana? I...,” suaramu yang tergesa-gesa itu kupotong secara kasar dengan suara diktatorku.
“Cepetan ke halte bus samping Semanggi, deh! Aku gak tau mesti ke mana sekarang…,” aku memelankan suaraku pada kalimat akhir. Karena mata-mata liar ingin tau sedang mengarah kepadaku.

Aku takkan pernah berhenti akan terus memahami
Pasti terus berpikir bila harus memaksa
Atau berdarah untukmu
Apapun itu asalkan mencoba menerimaku

Sebelum lagu itu mengalun, Whopper BK ini lahap sekali kumakan. Hingga saat entah roti, daging, atau bahkan sayurannya menyumbat tenggorokanku, membuatku susah menelannya, dan lekas saja aku menyeruput Cola di sampingku. Kamu tau aku kenapa-kenapa, tetapi kamu lebih memilih menenangkanku dengan tidak menanyakannya.
“Lahap bener makannya, Al. Laper apa doyan?” tanyamu sambil menyuapkan sesendok ice cream Sundae ke mulutmu dan tak sengaja menyisakannya di atas garis bibirmu.
“Hahaha. Pake nyisain ice cream di bibir segala. Genit kamu!” usapan tisu dan jawaban yang kuberi memang tak menjawab pertanyaanmu. Namun, cukup untuk menyembunyikan apa yang kurasakan sebenarnya.

Inginkan rasakan
Rindu ini menjadi satu
Biar waktu yang memisahkan

Aku membiarkan lagu itu mengisi keheningan aku dan dirinya. Aku bingung. Entah harus kumulai dari mana. Atau haruskah menunggu dia yang bertanya. Sampai pada akhirnya…
“Kita cari kostan, yuk! Daerah Pancoran, kek, Setiabudhi, kek. Mana aja, deh! Yah?” untuk kesekian kalinya aku memulai di saat-saat hening antara aku dan dia. Kevin, lelaki yang kucinta, selalu membiarkan aku memulai segalanya. Membiarkannya agar tak ada yang seharusnya tak ingin kubagi, keluar dari hati.

***

SEBULAN KEMUDIAN…

Sore itu hujan baru saja selesai mengguyur Jakarta. Bak tenggorokan yang kering karena aktivitas di tengah panasnya Kota Polusi, dahaga meluap, yang diakhiri dengan 600 ml air mineral dingin. Namun, yang kuhadapi kini adalah mobil-mobil yang tak kunjung berjalan di depanku. Sekalinya berjalan, hanya beberapa meter saja. Masih di tempat yang itu-itu juga. Seketika, suara tape di mobilku seolah-olah membesar. Mengalunkan nada gloomy

Dan kamu hanya perlu terima
Dan tak harus memahami dan tak harus berpikir

Alin. Gadis manis dengan tinggi semampai, rambut lurus terurai. Dengan lesung pipi yang muncul seiring senyum menawannya. Yang mungkin karenaku.

Hanya perlu mengerti aku bernapas untukmu
Jadi tetaplah di sini dan mulai menerimaku

Gadis yang kucinta. Yang rela melakukan apa saja untukku. Haruskah aku meminta lebih lagi kepada Tuhan? Pantaskah?

***

Suasana di dalam ruangan itu hening, hanya ada sedikit kicauan burung. Mungkin saja kicau bahagia. Lalu, muncul suara lantang bertanya pada dua insan di hadapannya. Orang-orang di sekitar duduk memerhatikan apa yang terjadi di depannya. Kedua insan tersebut saling melirik, tersenyum.
“… Apa yang telah dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh apapun, kecuali oleh maut. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”
Keadaan khidmat itu pun seolah berubah ramai. Bukan dengan teriak atau sorak-sorai, tetapi senyum sumringah, wajah-wajah bahagia Alin-Kevin, juga para sahabat-sahabat mereka, serta keluarga yang datang. Keluarga Kevin.

Cobalah mengerti
Semua ini mencari arti
Selamanya takkan berhenti…

Alin mengalihkan pandangan ke luar gereja. Ada raut yang disembunyikan dibalik senyumnya. Atas sesuatu yang ia tinggalkan, di rumah.

(set full volume to Cobalah Mengerti Momo Geisha ft. Perterpan)

Inginkan rasakan
Rindu ini menjadi satu
Biar waktu yang memisahkan

***
Jakarta, 29 Juli 2012
Inspired by Cobalah Mengerti - Momo Geisha ft. Peterpan
dalam tagar #cerpenpeterpan
(Tanggal 29 Juli cerpen ini numpang mejeng di blog-nya @monstreza karena saya lagi gak bisa posting) 


Semoga Tidak Lagi


Ketika saya menulis ini saya sedang dalam keadaan baru pulang dari rumah sakit, dan ketika Anda membacanya semoga kita dalam keadaan sehat. Amen.


Ini adalah kali kedua saya sakit yang cukup parah, pertama kali adalah enam belas tahun yang lalu. Namun, ini adalah kali pertama saya merasakan cairan masuk melalui nadi-nadi saya. Begitu riweuh melakukan apa-apa hanya dengan satu tangan. Begitu sakit beberapa waktu harus disuntik. Begitu nyeri beberapa waktu selang dipelintir agar cairan lancar berjalan. Begitu tersiksa infus harus dipindah dua kali karena cairan tidak berjalan baik di nadi saya.
Ditambah saya hanya sendiri di rumah sakit, sesekali dijenguk ayah-bunda hanya untuk mengetahui perkembangan saya. Mereka tak bisa siaga karena harus mengurus adik saya yang masih kecil. Dua malam saya ditemani kembaran saya. Cukup membantu, tetapi selebihnya saya sendirian. Nangis? Ingin sekali. Tapi untuk apa?
Malam itu, Kamis dini hari, malam di mana saya harus dipindah infus karena infus di pergelangan tangan kiri saya tak berfungsi sehingga menyebabkan bengkak. Saya membangunkan kembaran saya dan memanggil suster. Aura suster tersebut...kejam. Ya itulah first impression saya terhadapnya. Benar saja. Everything she did made me hurt. Cara ia mencari nadi, cara ia menyuntikkan saluran infus, cara ia menguatkan infus tersebut dengan plester agar menempel baik di pergelangan tangan kanan saya. Semua cara yang ia lakukan kasar. Malam itu saya menangis. Merintih sakit. Bayangkan saja, untuk menggerakan tangan sedikit saja, saya kesakitan. Bukankah ada yang salah dengan infus saya? Kembaran saya pun menenangkan saya. Menyarankan untuk mengganti infus besok pagi jika sakit masih dirasa. Keesokannya pun saya memanggil suster lain untuk mengganti infus saya karena sakit tak kunjung hilang.
Banyak pelajaran yang saya dapat ketika saya berada dalam ruang perawatan itu selama 5 hari. Untuk makan teratur, untuk tidur teratur, untuk menghargai kesehatan, dan untuk sadar bahwa ada orang-orang yang selama ini saya tak indahkan adalah mereka yang benar-benar peduli. Yang pertama kali bertanya 'Kamu sakit apa?' Yang kemudian mengirimkan doa klasik 'Semoga cepat sembuh.' Yang kemudian bertanya 'Dirawat di mana?' Yang kemudian membuat saya sadar, bahu mereka yang seharusnya saya cari ketika saya butuh tempat untuk bersandar. Benar kata kak @tlvi, bahwa sakit adalah kesempatan terbaik untuk tau siapa yang paling pengertian.
Terima kasih buat kamu yang sudah setia menjenguk setiap hari, memberi support, atau setidaknya untuk menemani. Terima kasih buat teman-teman yang sudah menyempatkan waktu menjenguk, sekedar berbagi cerita lucu untuk menghibur. Terima kasih untuk saudara dan juga terima kasih buat mention-mention di Twitter yang mendoakan saya agar cepat sembuh. Saya di sini, bisa menulis ini, bisa sembuh, apa lagi kalau bukan karena doa dari kalian? Wish Allah always be with you, all. Amen. :)

Jakarta, 27 Juli 2012.



Monday, April 30, 2012

Julie di Bulan April


Berlin, den 30. 4.
Liebe Julie...
Engkau satu dari sekian banyak wanita menawan yang kutemui, tetapi hanya satu-satunya yang mampu menyapa hatiku yang sepi. Parasmu cantik, pun hatimu. Aku sedang tidak nyepik seperti yang dilakukan lelaki-lelaki di linimasa-mu. Iya, aku menjadi stalker-mu. Kini kau tak perlu pakai aplikasi virus hanya untuk mengetahui siapa yang mengecek timeline-mu setiap hari. Pasti banyak, tetapi selalu aku...
Hatiku berkata engkau sedang baik-baik saja, kuharap hatiku benar. Selalu benar, sih. Seperti saat memilih wanita dan hatiku jatuh padamu. Terjegal lesung di kedua pipimu dan sikap manismu saat bertemu denganku di lobby Rumah Sakit Santa Borromeus, Bandung.
Bagaimana April-mu? Setampan wajah April-mu yang dulu kah? Maksudku aku. Ah, aku hanya bergurau. Tak pernah kau panggil aku tampan, dulu. Selalu kau panggil 'jelek.' Tak apa, asal kau ucapkan hanya padaku. Lebih baik daripada panggilan 'sayang' yang di-broadcast ke entah siapa aku enggan melanjutkannya...
Sudah kah kau hampiri pusara ayahmu, Julie? Sudah kah kau taruh se-bucket bunga mawar putih kesukaannya? Jika kau pergi ke sana lagi, sampaikan salamku padanya. Maaf aku belum sempat mengunjungi beliau. Suatu saat, pasti. Terakhir tentang ayah...sudah ikhlas kan, Julie? Ini sudah tahun ketiga. Aku harap sudah...
Bagaimana kabar Kayla? Sekolah di mana si manis itu sekarang? Aku harap kejadian tiga tahun lalu tak menghalangi si manis untuk bersekolah. Tak pula menghalangi bakat yang dimiliki untuk dikembangkan. Tanamkan pada diri Kayla untuk tak mendengarkan cemooh orang lain, Julie. Aku tau itu pasti berat untuk Kayla, tapi aku yakin Kayla bisa menghadapi hidupnya yang tak lagi sempurna--dalam arti sesungguhnya--seperti tiga tahun yang lalu...
Kabarku? Tak inginkah kau tau? Tak perlu kau jawab, kau pasti tau aku akan tetap bercerita meski jawabanmu adalah tidak. Aku sudah akan menyelesaikan S2-ku di Berlin, Julie. Secepatnya akan kembali ke Indonesia, hanya sebentar. Maukah kau menemuiku yang telah meninggalkanmu tiga tahun yang lalu?
Aku hanya ingin memastikan kau tak membenci bulan April-mu lagi, Julie. Sudah tiga tahun, tak maukah kau memaafkan bulan April-mu? Aku harap selalu ada hal yang membuat April-mu indah dan mengikis kebencianmu kepadanya. Mungkin aku, alasannya. April-mu yang dulu...
Maafkanlah April di hari terakhirnya, Julie. Wir sehen Sie uns in Indonesien!
mit Liebe aus Berlin,
Aditya Aprilio

Thursday, April 26, 2012

3,5 Tahun yang Lalu...

Hai, insan yang tak pernah tak kurindukan.
Tak perlu kuawali dengan bertanya tentang kabar. Aku tau kau baik-baik saja di sampingnya. Perlukah kuberi tau tentang kabarku? Hm...aku selalu merasa tak baik jika tak bersama kau, meski sebenarnya aku baik-baik saja, tetapi selalu ada yang kurang. Kehadiranmu gula bagi kopi hitam yang buatku terjaga, roti bagi susuku di pagi hari, garpu bagi pisau saat aku makan steak kesukaan kita, kau pelengkap bagi diriku...sayang.
Mungkin ini lebih penting bagi kau--kabar tentang Arya. Arya sudah semakin besar. Mungkin kau lupa, tiga hari yang lalu Arya berulang tahun yang ke-4. Wajahnya datar, tetapi kuyakin dalam hatinya bergejolak riang. Mengapa kau tak datang ke ulang tahun Arya? Aku mengirimimu undangan ulang tahunnya, bukan? Aku tau Bi Uci pasti menyampaikannya kepadamu. Kurasa dibalik wajah datar Arya, ia menyimpan harap akan kedatanganmu. Aku, Arya, akan masih menerimamu di rumah. Tangan kami terbuka untuk kau. Bagiku, yang lalu adanya di masa lalu. The past stays in the past…kecuali jika kau mau kembali menjadi masa kini-ku. Haha. Aku hanya bergurau.
Mengapa kau terus bersikap dingin? Seolah tak kenal. Selalu menghindar. Kuakui kau memang salah pada hari itu. Namun, Arya telah memaafkanmu. Percayalah! Mungkinkah ini caramu untuk melupakan? Atau karena kau teramat merasa bersalah? Aku memang takkan pernah lupa akan hari itu, tiga setengah tahun yang lalu...
“Tolong jaga Arya sebentar. Ibu mau ke rooftop angkat baju, sepertinya akan hujan.”
Aku pun masih ingat kata demi kata yang terlontar dari bibir Ibu saat itu. Kita pun menjaga Arya dengan tawa. Seperti mempersiapkan atas angan-angan kita berdua. Menimang Arya penuh kasih sayang, aku seperti yakin kau lelaki yang tepat untuk malaikat-malaikat kecilku kelak.
“Arya lucu banget sih kayak kakaknya. Uuu...”
Godaanmu itu menggodaku. Aku tersipu, tetapi tak lama. Seketika semua berubah 180 derajat. Kepanikan menyelimuti. Aku berteriak memanggil Ibu. Ibu berlari dari atas rooftop melewati anak tangga. Langkah kaki yang beradu dengan tangga kayu itu menampakkan ketergesa-gesaan, kekhawatiran, dan kecemasan Ibu atas sang anak. Sementara kau terus memeluk Arya, mengguncangkan tubuhnya supaya ia terbangun, serta mengusap darah yang ada di dahi Arya.
BRAK!!!
Aku kembali ke saat di mana Arya kau lepaskan dengan bodohnya. Ia hanya anak bayi lima bulan yang tak mengerti caranya buang air kecil, Sayang. Maafkan aku dan Ibu karena membiasakan Arya memakai diapers dan lupa memakaikannya pagi itu. Untuk pertama kali aku melihat kau menangis, aku tau tetes itu gambaran sesalmu. Untuk pertama kali pula aku melihat Ibu menamparmu. Hatiku hancur lebur. Kacau. Balau. Galau…
Ibu tak mengusirmu, tetapi mengacuhkanmu. Saat kau mengantarkan kami ke rumah sakit, saat kau meminta maaf, saat kau ingin bertanggung jawab atas semua biaya perawatan dan pengobatan Arya. Ibu seperti tak akan memaafkanmu seumur hidup. Namun, percayalah. Kau masih punya aku dan Arya, yang memaafkanmu meski kau sakiti aku dan Arya--dengan cara berbeda.
Ini surat ke-3 yang aku kirim--dan (selalu) berharap kau akan membalasnya. Selalu selepas ulang tahun Arya. Aku hanya ingin memastikan alasanmu tak hadir dan meyakinkanmu bahwa aku dan Arya sudah memaafkanmu. Ibu? Mungkin sudah, pelan-pelan... Ibu hanya sangat terpuruk mendapati Arya menjadi seperti sekarang, tak berdaya. Arya di rumah seperti pengganti Ayah. Kau pasti tau kehadiran lelaki dibutuhkan di rumah dan ibu berharap pada Arya, tetapi kau merusaknya. Ibu hanya belum sembuh dari sakit yang kau buat. Suatu saat pasti sembuh. Percaya padaku.
Kau pergi tinggalkan aku dengan alasan kesalahan fatalmu. Padahal berlari dari masalah bukan berarti akan dimaafkan. Tetaplah disampingku, bantu aku sembuhkan sakitku, bantu Arya bangkit dari keterpurukan, bantu Ibu menerima kenyataan…
Aku telah mengejarmu, tetapi kau terus berlari, bahkan telah menemukan pengganti untuk terus mengejar mimpi yang sebelumnya kau rajut bersamaku. Aku telah berteriak untukmu, tetapi kau tak juga menoleh. Aku seperti sudah kehabisan suara. Ini terakhir kali aku berteriak untukmu. Waktumu masih ada, sedikit lagi...sebelum aku tak menghiraukan teriakanmu, tak menoleh padamu.
Dariku yang selalu memaafkanmu dan (masih) mengharapkan kehadiranmu...

Monday, April 16, 2012

Sampaikan pada Kekasihmu, Dulu Kau Bertepuk Sebelah Tangan...

Hai, kamu yang terlalu percaya bahwa aku (pernah) mencintaimu.
Apa kabar? Baik? Bagaimana kehidupanmu sekarang? Lebih baik bukan setelah lama memutuskan hubungan denganku? Ah, dengan orang-orang di sekitar kita kau dan aku juga, bukan? Apa kabar wanita yang kau banggakan? Baik? Bagaimana hubunganmu dengannya? Baik kan? Kuharap begitu, supaya tak ada lagi daftar nama wanita yang mencemburui aku tanpa sebab.
Kuingat beberapa tahun lalu kita aku dan kau pernah dekat, saat itu aku masih mempunyai kekasih. Yang sangat kusayang tanpa kusadari bahwa aku tak bisa hidup tanpanya. Perlu kuingatkan namanya? Iya, Reza Husein Alattas. Berperawakan tinggi, blesteran Arab-Spanyol-Sunda, yang selalu menatapmu dengan tatapan dingin. Bukan, dia bukan cemburu tanpa sebab seperti wanita yang kau puja. Sebab, dia tau kau punya rasa padaku.
Kau datang di saat yang tepat. Berterima kasih pada waktu karena sempat mendekatkan kau dan aku. Bukan mauku, kau jangan tinggi hati. Sebab kubilang, aku mencintai lelakiku. Camkan itu! Kau mencintaiku saat aku merasa lelakiku tak mencintaiku secakap kau mencintaiku. Berterimakasihlah pada pikiran negatifku karenanya kau jadi tinggi hati menganggapku juga mencintaimu. Tidak. Tidak pernah. Dan atas izin Tuhan, tidak akan.
Apa yang aku dan kau lakukan murni karena khilaf. Tanpa dasar saling mencinta sebab hanya kau yang merasakannya. Aku menciummu yang kubayangkan lelakiku. Aku bersandar pada bahumu yang kupikirkan lelakiku. Aku rela dipelukmu yang kurasakan hangat tubuh lelakiku. Kau bilang aku murahan? Beri tahu saja pada dunia! Memang mereka peduli? Kau hanya akan mendapat cemooh sebab kau terlalu bodoh!
Tak perlu kau siksa aku dengan caci makimu tentangku. Tak akan mempan. Ditinggalkan oleh lelakiku sudah cukup menjadi cambuk. Iya, aku dan Reza sudah tak bersama. Jangan tinggi hati dulu. Bukan kau alasannya. Tak ada kau terselip dalam tiap alasan aku dengannya berpisah. Kusebut ini karma karena telah menyia-nyiakannya. Tiga kali aku punya pendamping lain belum ada yang bisa menggantikan posisinya. Dia terlalu sempurna dan sangat jauh denganmu; bagai langit dan bumi. Jadi, jangan tinggi hati bahwa kau bisa menggantikan posisinya. Tidak sama sekali.
Sudah jelas kah semua penjelasan dariku tentang kita aku dan kau dulu? Sampaikan pada kekasihmu, dulu kau bertepuk sebelah tangan. Jangan lagi merasa aku berharap pada dirimu atau kau yang kuingat tiap aku bicara tentang masa laluku. Masa laluku bukan cuma satu, tetapi tentu bukan kamu.
Semoga kau dan dia diberkati Tuhan atas aku yang selalu dipaksa masuk dalam permasalahan kalian. Sekian...
Dariku, yang terlalu lelah dicemburui tanpa sebab.

Karma?!

“Tanda lahir kamu di sebelah mana yang gak aku tau, Ne?”
PLAK!!! Telapak tangan halus Anne mendarat mulus di pipi Redzi. Menyisakan rona merah jambu tipis di sana.
“Kalau ngomong dijaga...,” keadaan hening sesaat. “Ini juga!” tegas Anne sambil menunjuk dada Redzi.
“Bukan aku yang gak jaga hati, tapi kamu yang gak jaga aku.”
DHEG!!! Dada Anne serasa ditikam bambu runcing.
“Maumu apa, Redzi Arya Pramitra? Gak cukup kamu menyakitiku? Masih belum puas?”
“Iya, Ne. Gak puas. Terakhir cuma nyentuh bibir, gak nyentuh yang lain.”
“Brengsek!” Satu tamparan mendarat kembali dan setelahnya Anne pergi.
“Ne, bentar. Aku becanda.” Redzi mencoba menahan Anne dengan menarik pergelangan tangannya. Anne pun berhenti, tetapi badannya tetap tidak berbalik ke arah Redzi. “Jangan serius-serius banget, nanti mati.” Anne melanjutkan langkahnya, merasa dipermainkan. “Ne, sekarang aku serius! ANNE...!” Anne tak menggubris dan tetap berjalan.
***

Anne duduk berpangku lutut di rooftop apartment tempatnya tinggal di Jakarta. Sesekali ia mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya beserta beban-beban yang dikandungnya. Jakarta keras bagi Anne. Banyak perubahan yang terjadi pada diri Anne, pun dengan kehidupannya, semenjak ia hijrah dari Surabaya. Mungkin ibu bakal kecewa sama gue yang sekarang. Batinnya lemas.
“HOY!” sapa Rai menyadarkan Anne dari lamunan.
“Kok lo tau gue di rooftop?”
“Tadi satpam lantai lo yang bilang. Katanya liat lo menuju rooftop begitu beliau turun.”
“Oh...,” jawab Anne tak antusias.
“Ne, Beach Party, yuk! Malam ini di tempatnya Dita.”
“Ngapain?”
“Ya menurut ngana?”
“Oh...,” Anne menjawab sekenanya dan Rai pun tak peduli, ia tetap mengajak Anne untuk ikut.
“Ada Redzi juga kok, Ne.”
“HAH?!” kali ini ekspresi Anne berubah 180 derajat.
“Ya? Ada yang salah gitu?”
“Dia bawa siapa?”
“Hah? Kok bawa siapa?” Rai mengerutkan dahinya tak mengerti dengan ucapan yang melayang dari bibir mungil Anne.
Memang tak pernah ada kata putus yang melayang dari bibir Redzi maupun Anne, tetapi sikap Redzi-Anne menunjukkan bahwa mereka bukan sedang baik-baik saja. Sikap Anne belakangan jadi lebih cuek, bukan terhadap Redzi, lebih terhadap dirinya sendiri. Anne lebih sering berkutat dengan pekerjaannya di kantor, bahkan rela membawa pekerjaan tersebut ke apartment-nya. Badan Anne mengurus, pipinya pun mulai tirus. Redzi telah menyiksanya dan dirinya pun turut membantu.
“Ne… Anne… ANNE. ANNEKE DWI PUTRI!!!”
“Apaan sih nyet!”
“Ya elo bengong! Ikut ya?”
“Gue nyusul deh. Kalau mood. Lagian pakaian gue masih di laundry semua belum gue ambil.”
Beach party gitu, Ne. Lo pake bra sama outer juga jadi. Bawahan pake hot pants juga oke. Ayo lah!”
“Apa yang bisa bikin lo ninggalin gue di sini sendiri?”
“Dateng ya, Hunny! Lo butuh refreshing. Mwah!”
***
Raihanuun (+6281899xxxxxx)
Ne, di mana? Kalau lo gak mau, jangan dipaksa.
Sorry, ya masalah tadi siang. Take care, Ne. :)

“Ini Rai apaan sih gak jelas banget jadi manusia. Gue udah siap-siap malah SMS kaya begini,” gerutu Anne kesal.
***
“Gilang! Siniii…,” panggil Rai lirih.
“Kenapa, Rai?”
“Itu Redzi sama…?”
“Anne dateng gak?”
“Tadi siang gue maksa dia dateng, tapi barusan udah gue SMS sih suruh dia gak usah dateng. Duh! Gawat dong…”
“Gue juga kaget. Ya you know Redzi kaya apa kan…” keduanya pun saling pandang dan mengangkat bahu, menyerah pada keadaan. Sesaat kemudian…
“HAI!” senyum dengan lesung di pipi sebelah kanan Anne menyapa Rai dan Gilang.
“H…h…hai, Ne. Jadi dateng?” balas Rai gugup. Gilang pun terdiam.
“Jadi lah. Elo gak jelas nyet tadi siang maksa, barusan SMS gue begitu. Eh, Lang gak sama Tita?”
“Tita lagi di jalan, Ne.” Gilang tak membuat percakapan lebih jauh, takut terlihat kegugupannya.
“Redzi mana, Rai? Dia pasti datang dong. Kan lo sendiri yang bilang ke gue tadi siang,” mata Anne liar mencari keberadaan Redzi.
“Ngg… Gil. Help!” ucap Rai lirih. Namun, sesaat kemudian…
 “BANGSAT! Tanda lahir Dita di sebelah mana yang gak lo tau, Redzi?” Anne pun segera berlari keluar rumah Dita dan melesat cepat dengan Jazz merahnya. Sementara itu, Beach Party yang diadakan di kediaman Dita bubar tanpa perintah komandan. Rai, Gilang, dan Tita segera menyusul Anne. Bimo, Oddy, Andri, Rezky, dan Sheila memilih menghindar dari tempat tersebut menuju pub terdekat dari kediaman Dita. Sedangkan, Dita dan Redzi diselimuti keheningan, bibir mereka kelu, dan hanya dapat berbicara melalui tatapan.
***
Dua hari berlalu, Anne semakin terpuruk. Mogok bekerja, mogok berbicara, dan mogok makan. Alhasil, ia pun jatuh sakit. Pada hari itu pun, Rai berusaha membuat usaha mogok-mogokan Anne berhenti. Paling tidak Rai mau ada makanan yang masuk ke perut Anne.
“Ne, makan ya. Please, sesuap-dua suap deh. If you don’t love yourself, who’s wanna love you, Ne?”
“Gue positif.”
“HAH?!”
***
“Kita sama, Ne. Belum tentu itu aku, kan? Kamu udah mencampakkan aku beberapa hari yang lalu. Boleh kan kalau aku pilih karma datang ke kamu kapan? Dan aku mau sekarang, Anne.” Redzi pun meninggalkan Anne yang terkulai lemas di depan pintu kostan Redzi.

*** END ***

Saturday, April 14, 2012

Y U NO HAVE A GOOD RELATIONSHIP WITH YOUR EX?!

Jujur, aku masih berharap.
Bisa gak ya gue sama dia lagi?
I'm not moving. I just don’t want to. Still you in my heart...


Perasaan dan pikiran-pikiran yang seperti itu yang perlu dikubur dalam-dalam kalau masih tetap ingin memiliki hubungan baik dengan mantan. Kenapa? Hal-hal tersebut bisa melahirkan ego untuk memilikinya (lagi), bahkan memaksa. Pemaksaan itulah yang nantinya akan menghancurkan segalanya; hubungan pascaputus.
Begini, setiap pasangan yang baru pisah butuh jangka waktu untuk menetralkan perasaan masing-masing. Waktunya tergantung dari seberapa dalam perasaan mereka dan seberapa ahli mereka dalam mengendalikan perasaan mereka sendiri. Tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang memiliki perasaan sangat dalam akan lebih cepat netral daripada yang tidak, dan sebaliknya.
Cara menetralkannya? Beragam! Mulai dari menghapus contact BBM, nge-block Twitter, unfriend hubungan pertemanan di Facebook, menghapus nomer handphone, dan lain sebagainya. Gak selamanya, hanya untuk sementara, yang entah sampai kapan.1 Ya ada juga yang masih tetap berhubungan, tapi kecil kemungkinan untuk cepat menetralkan perasaan dan justru mereka terjebak ke dalam gak-tau-kapan-bisa-move-on-zone™.
Ketika kalian sadar betul bahwa kalian sudah bisa mengendalikan perasaan, meski belum sepenuhnya hilang, baru lah boleh kembali menjalin komunikasi. Terkadang diperlukan untuk menghilangkan rutinitas yang biasa dilakukan saat pacaran dulu, bukan begitu?
Wanti-wanti diri sendiri untuk gak berharap lebih dari sekedar hubungan permantanan. Kasih juga batasan ke dia bahwa ini hanya sekedar menjalin hubungan baik dengan mantan. Ya ini sih kasusnya kalau kalian gak mau balikan ya. Kalau gak yakin buat balikan, mending jangan deh. Cukup BBB yang putus-nyambung, kalian jangan!

Kenapa seringkali jadi seperti orang gak kenal dengan mantan? 
Ya itu tadi. Semua orang butuh waktu untuk menetralkan perasaan. Namun, biasanya ada satu pihak yang tetap kekeuh mau balikan, tapi secara halus mengemasinya dengan frasa 'ingin berhubungan baik.' Tidak jarang pihak lainnya, dalam hal ini yang gak mau balikan, merasa muak. Karena cara berhubungan baik tersebut terkesan annoying, bagi si anti-balikan tentunya.
Pernah kan kalian merasa bahwa apa yang dilakukan si dia selalu salah di mata kalian kalau kalian sudah ilfeel? Nah itu! Tidak se-annoying seperti menurut si pihak anti-balikan, tapi karena si anti-balikan ini sudah ilfeel timbulah anggapan seperti itu. Lagi-lagi saya katakan, bahwa semua orang butuh waktu netral. Netral dari perasaan sayang dan juga netral dari perasaan kesal, muak, benci, dsb. Jadi, kalau gak mau punya hubungan hancur pascaputus, lebih baik kasih waktu. “Time heals” is bullshit, but don’t ever deny that everyone needs time. :)

Gimana sih caranya bisa akur sama mantan?
Kembali lah di waktu yang tepat, hubungi lagi saat kalian yakin bahwa perasaan kalian sudah bisa dikendalikan, pun dengan perasaan si dia yang juga sudah netral. Akur tidak melulu harus balikan. Jangan sekali-kali menyimpan harap akan balikan dengan si dia. Itu akan merusak usaha kalian untuk memperbaiki hubungan. Perasaan yang dulu bisa kembali, kenangan indah bisa menghantui, sakit hati bisa menggelayuti, dan ego untuk balikan pun tak tertandingi. Ya kalau si dia juga mau balikan, nah kalau gak? Gak jadi akur deh.
Saling support dalam hal apapun. Termasuk saat si dia dekat lagi dengan orang lain. Jadikan diri kalian berguna untuknya, begitu pun sebaliknya. Namun, ingat. Berguna bukan berarti memanfaatkan. Know your limits! :)

A good relationship with ex ini tentu harus atas kemauan dari kedua belah pihak. Tidak jarang orang yang benar-benar ingin lose contact meski mantannya tidak mengganggu. Biasanya yang menjauh itu dikarenakan dia cukup merasa bersalah, tetapi terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan dan mencoba bersahabat.
Intinya kalau ingin memiliki hubungan baik dengan mantan, berikan waktu pada kalian untuk menetralkan perasaan, mencoba memaafkan, mencoba menerima keadaan, kembali di saat yang tepat, jangan berharap lebih dari hubungan permantanan, saling mengisi dan mendukung, yang terakhirKNOW YOUR LIMITS! :)

Tulisan ini disponsori oleh hubungan baik saya dengan mantan saya, yakni…if you know who I mean. :))

1 SAP’s quotes in our conversation pascaputus


Thursday, March 8, 2012

It's Too Late...


Perkenalkan, aku orang yang selalu menyakiti hati gadis yang kusayang. Aku membuatnya berpura-pura nyaman berada di sampingku. Postur tubuhku cukup tinggi, tetapi lebih tinggi lagi egoku. Aku pintar, tetapi tidak dalam menjaga dan mencintai gadis yang kusayang. Sekali lagi, perkenalkan...aku adalah Haykal Al-Aziz. Namun, aku lebih akrab disapa dengan Alzi.


Alzi melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Pertemuannya dengan Arinda, gadis yang disayanginya, mampu membuatnya menjadi pembalap profesional secara otodidak. Arinda baru saja membuatnya terhenyak dengan berbagai macam fakta yang dilontarkan yang sebagian besar diterimanya dengan anggukan lemas. Kata demi kata yang keluar dari bibir mungil Arinda dibenarkan oleh Alzi dengan penyesalan yang mendalam.
Seketika decit mobil terdengar sangat memekakan telinga. Alzi hampir saja menabrak seorang nenek tua yang berjalan bersama cucunya dengan membawa tas yang cukup besar, sepertinya mereka dari kampung halaman karena kejadian tersebut terjadi di depan terminal bus antar-kota. Tanpa pikir panjang Alzi langsung menghampiri sang nenek dan cucunya tersebut. Tak dinyana sikap tanggung jawab Alzi justru disambut tidak baik oleh cucu dari si nenek.
“Lo lulus SIM A gak sih? Kira-kira dong kalau mau ngebut. Ini jalanan ramai. Sok-sokan jadi pembalap!” seperti sudah dihapal beratus-ratus kali, kalimat demi kalimat tersebut terlontar dengan sangat lancar tanpa jeda dari lelaki yang merupakan cucu sang nenek. Lelaki tersebut sudah akan berdiri dari sikap bungkuk menolong sang nenek dan siap menghajar Alzi tanpa ampun. Alzi menghindar.
“Maaf banget, Mas. Bagaimana kalau saya antarkan Mas dan nenek Mas ke rumah sakit terdekat?” Alzi membungkuk menghampiri sang nenek. “Nenek gak kenapa-kenapa kan? Ada yang luka? Maafin saya ya, Nek.”
“Gak usah sok jadi pahlawan kesiangan! Pergi lo dari sini! Jangan sentuh nenek gue!”
“Hus! Aa gak boleh gitu ah. Nin1 teu nanaon da, A. Sok bantuan Nin. Nin mau bangun.” (Hus! Kakak gak boleh begitu. Nenek gak kenapa-kenapa kok, Kak. Tolong bantuin nenek. Nenek mau bangun.)
“Gue bilang pergi!”
Alzi pun meninggalkan tempat tersebut. Perasaannya semakin kacau. Semakin balau. Semakin galau.
***
“Bim, aku mau putus.” ucap seorang wanita memecah keheningan di dalam mobil, mereka sedang menuju sebuah café di kawasan Kemang.
“Hah? Kita kan gak jadian, Rin. Kok tiba-tiba putus?” ucap Bimo polos kepada wanita di sampingnya yang memiliki nama lengkap Arinda Kezia Handoyo. Ia mendelik, kemudian mencubit lengan Bimo gemas. “Hahaha. Becanda, Rin. Ah! Masa udah mau putus aja? Gue aja belum lo kenalin ke pacar baru lo. Janji lo kan abis gue balik dari Bandung bakal lo kenalin ke gue. Gimana sih?”
“Lagian kamu kelamaan di sana. Betah beneur. Udah nemu mojang Bandung nu geulis2 binti beuning ya? Haha”
“Gak usah mengalihkan pembicaraan...”
“…”
“Cerita, Arin. I'll be a good listener,” senyum itu sedikit menenangkan Arin. Arin pun bercerita...
...
“…jadi gitu loh, Bim. Dengan atau bersama dia gak ada bedanya. Terlalu banyak dari diri dia yang perlu dia ubah. Dia belum siap milikin aku…”
“Gak ada kesempatan lagi buat dia?”
“Apa gak terlalu jahat kalau aku jadikan dia manekinku?”
“Lo rela dia gak jadi bagian dari hidup lo lagi?”
“Mau sampai kapan aku nunggu dan maksain cocok sama dia?”
“Bisa gak pertanyaan gue gak dibalas dengan pertanyaan, Arinda Kezia Han…”
“Hehehe,” lesung di kedua pipi Arin muncul seiring tersungginya senyum manisnya itu.
“…doyo?” ucap Bimo lirih melanjutkan nama lengkap Arin. “Udah berapa lama sih sama dia?”
“Hm…tiga hari lagi genap tiga puluh hari.”
“Kok lo jadi kaya Aurel sih?!”
“HEH! Sial! Gak gitu. Sekarang kalau emang gak nyaman, apa aku mesti pura-pura nyaman? Pertanyaannya, mau sampai kapan? Dia terlalu sibuk dengan dunianya dia. Dia bisa have fun dengan dirinya, tapi gak bersamaku. Dia bisa membahagiakan dirinya, tapi gak dengan membahagiakan aku. Banyak hal tentang suatu hubungan yang gak perlu diucapkan secara lisan, atau dituliskan seperti terms of use suatu aplikasi, tapi anehnya dia gak pernah ngerti. Dia terlalu angkuh dan tak acuh dengan perasaan wanita, khususnya aku,” Arin menghela napas cukup panjang. Keadaan tetap hening. Bimo tau Arin masih akan melanjutkan ceritanya. “Aku sayang dia, Bim, tapi aku gak mau menyiksa diriku sendiri. Aku pikir kali ini gak akan gagal, ternyata...,” bulir air dari mata indah Arin pun berjatuhan ke pipinya. Mulai membasahi, lalu menetes jatuh ke layar ponsel Arin.
“Iya gue ngerti kok. Setelah disakitin sama Aldri lo pasti berharap Alzi akan lebih baik, bahkan jadi yang terakhir. Memecahkan rekor pacaran lo yang hampir 5 tahun. Gue ngerti itu, tapi pengharapan gak melulu berdampingan dengan kenyataan. Don't hope too much, don't expect too much, don't love too much, cause that too much will hurt you so much,” Bimo berhenti sejenak, membiarkan Arin menyerap kuliah singkatnya barusan. “Hm...kita mau masuk ke café atau putar balik?” Arin terdiam, air matanya masih mengalir, tetapi napasnya lebih teratur. “Arin...,” Bimo mencoba menyapanya lembut diiringi belaian manis di ujung kepala Arin.
“Yuk, masuk ke café! Aku gak kenapa-kenapa, kok,” ucap Arin berbohong.
There's always a little kenapa-kenapa behind every aku gak kenapa-kenapa.”
“Ah, Bimooo…!” kemudian mereka berdua pun memasuki café di kawasan Kemang itu sambil tertawa.
***
“Nda, di mana? Lagi apa? Ada waktu?” pertanyaan bertubi-tubi tersebut dilontarkan oleh seorang bersuara bass. Nanda sontak menjauhkan ponsel, melihat nama si pemanggil. Private Number.
“Alzi?” tetapi Nanda mengenalinya.
“Bisa?” dari suaranya sangat bisa ditebak bahwa Alzi tergesa-gesa. Tiga pertanyaan di awal pembicaraan saja belum dijawab oleh Nanda, ia sudah lagi memberikan pertanyaan yang bermakna ia-sangat-butuh-Nanda-saat-ini.
Free, kok. Ada apa sih?”
“Gue meluncur ke rumah lo sekarang. Bye.” sambungan terputus. Nanda memandangi ponselnya bingung, tetapi segera bergegas berganti pakaian. Sesaat kemudian, bunyi klakson seperti memerintah Nanda untuk segera turun ke bawah, menghampiri Alzi yang termenung di balik kemudi. Wajahnya pucat, matanya mengisyaratkan kekosongan.
“Zi? Are you okay?
“Hm…I'm okay not to be okay,” balas Alzi sekenanya kemudian melesat cepat dengan Mazda 2 Hitam-nya.
***
Di sisi lain, Bimo sukses menghasilkan dua lesung pipi di wajah Arin. Hebatnya, Bimo sukses membuat tawa Arin pecah. Sudah lama mereka berdua tidak menghabiskan waktu seperti ini. Bimo merindukan tawa Arin, tawa yang lepas. Bukan yang dipaksakan hanya untuk meyakinkan yang lain bahwa dia baik-baik saja.
Belakangan, Bimo memang lebih sering melihat linimasa Arin dipenuhi #puisingkat, 140 karakter yang dirangkai menjadi indah, tetapi sarat akan kegalauan. Bimo tau ada apa-apa dengan sahabat yang sangat disayanginya itu. Makanya, di hari pertama ia kembali ke ibu kota langsung disediakan waktu penuh untuk sahabatnya, Arin.
Shit!” gerutu Bimo lirih, tidak mau mengganggu Arin yang sedang asyik dengan pemandangan rintik hujan di luar. Seketika emosi Bimo tersulut melihat dua orang yang datang dari arah pintu masuk. Salah seorang dikenalnya, meski tidak baik, tetapi cukup alasan bagi Bimo untuk terus mengutukinya setiap kali bertemu. Mata tajam Bimo terus mengikuti orang tersebut, sampai akhirnya mereka melewati meja Bimo dan Arin.
“Kenapa, Bim?” Arin menyadari sahabatnya menggerutu, meskipun lirih. Arin pun mengikuti ke mana mata Bimo melangkah. “Dan itu alasan awal kenapa rasaku hilang banyak…banyak sekali kepada Alzi. Kita pulang, Bim.”
“Hah?!” Bimo tercengang mendapati Arin membicarakan Alzi tiba-tiba, lebih tercengang lagi ia mengajaknya pulang tiba-tiba.
***
Di dalam perjalanan yang entah ke mana itu Arin dan Bimo terjerat dalam keheningan. Bimo lebih ingin membiarkan Arin yang membuka percakapan.
“Kamu pengen dikenalin sama Alzi, Bim?”
If you want me to, Rin.”
“Liat gak tadi ada lelaki tinggi pakai red polo shirt yang jalan sama cewek pakai fringe tee?”
“Itu Alzi? Sama siapa? Gue boleh ngomong kasar, Rin?”
“Aku boleh cerita, Bim?”
Kapan sih, Rin pertanyaan gue gak dibalas dengan pertanyaan. Untung lo sahabat gue. “Silahkan, Rin.”
“Iya, itu Alzi. Cocok ya sama cewek itu?”
“Cantikan sahabat gue. Tinggian sahabat gue. Langsingan sahabat gue. Udah bak model aja lah sahabat gue. Cuma kurang satu…”
“Apa?” tukas Arin cepat.
“Gak ada yang rekrut,” tawa mereka pun pecah. Seketika. Hanya seketika dan kemudian kembali hening.
“Menurutmu, mereka pacaran atau cuma sahabatan?”
“Dari tawa yang terpancar sih seperti sepasang kekasih, Rin. Tapi, gesture-nya nunjukin mereka cuma sahabat. Kenapa sih?”
“Eh tadi kenapa mau ngomong kasar sama Alzi?”
“Bisa gak sih pertanyaan gue gak dibalas dengan pertanyaan, Arinda?”
“…” Arin termenung. Entah apa yang berputar di kepalanya. Sang calon mantan kekasih yang berjalan dengan wanita lain dan gertakan Bimo silih berganti menghiasi pikiran Arin.
“Hm...sorry, Rin. Gue boleh cerita?” Arin hanya mengangguk. “Tadi pas gue di terminal, gue dan Nin hampir ditabrak,” Arin langsung mengubah posisi duduk dan memperhatikan Bimo dengan seksama. “Nin jatuh, tapi untung gak kenapa-kenapa. Itu orang yang nyetir ngebut banget, Rin. Gak kira-kira ngebutnya. Nyetir di jalanan ramai udah berasa nyetir di tol dan di racing track Sentul. Gue udah hampir menghajar si Brengsek yang hampir ngehilangin nyawa gue dan Nin, tapi Nin ngelarang.”
“Terus?”
“Terus tadi gue ketemu orang itu lagi, di café tempat kita makan tadi.”
“Kok kamu gak kasih tau aku, Bim?”
“Tadi tiba-tiba lo langsung ajak gue pulang begitu gue lagi memerhatikan si Brengsek itu.”
“Emang orangnya yang mana?”
“Lelaki tinggi pakai red polo shirt yang lagi jalan sama cewek pakai fringe tee,” Bimo mengulang pendeskripsian Arin sebelumnya. Arin terhenyak, tercengang, dan bibirnya kelu. “Mobilnya Alzi Mazda 2 hitam bukan, Rin?”
“Iya...,” Arin kembali ke posisi asal, pandangannya lurus ke depan, menatapi jalanan ramai, tetapi tatapannya kosong. Arin menyadari kekacauan yang dilakukan Alzi juga bermula dari dirinya, dari pernyataannya untuk berpisah sementara atau selamanya dengan Alzi. Ia tak menyangka Alzi akan sekacau itu. Namun, seketika wajahnya memerah, dari matanya terpancar amarah. “Kalau dia bisa sekacau itu karena keputusanku, sampai hampir menghilangkan nyawa sahabatku dan neneknya, kenapa sesaat kemudian dia bisa mesra-mesraan sama cewek lain sih? AH!!!” tangis Arin pecah. Bimo mencoba menenangkannya dengan mengusap lembut ujung kepala Arin dan menepuk bahunya halus.
***
“Arin mau putus sama gue,” Alzi membuka percakapan.
“Kok bisa? Lo ngapain Arin, Zi?” tanya wanita mungil di hadapan Alzi.
“Entahlah, Nan,” ucap Alzi lemas. “Menurutnya, gue belum masuk dalam kategori siap memiliki seorang pacar, apalagi untuk jadi pacarnya Arin. Gue sadar gue yang salah. Selama ini energi gue udah habis sama wanita-wanita yang datang dan pergi dengan mudahnya di hidup gue, tanpa mereka jadi pacar gue. Gue tau itu gak bisa dijadikan sebagai alasan atas sikap gue yang udah menyia-nyiakan Arin. Gue sudah berkomitmen untuk menjalani hubungan dengan Arin, seharusnya pula gue sudah mengerti bagaimana harus memperlakukan seorang pacar dengan baik. Gue gak peka, gue terlalu sibuk, gue…gue pikir cinta saja sudah cukup. Ternyata enggak…”
Setelah penjelasan super panjang dari Alzi, keduanya terdiam. Keheningan itu menyelimuti mereka. Nanda, wanita yang berada di hadapan Alzi, tak langsung menanggapi Alzi yang tertunduk meratapi nasib hubungannya. Nanda tau Alzi begitu sayang kepada Arin, tetapi sikap yang ia tunjukkan kepada Arin tak seperti yang dilihatnya sekarang, setelah hampir kehilangan Arin.
“Zi…,” Nanda meraih tangan kiri Alzi, mengusapnya lembut. “Lo sayang sama Arin?”
“Gue perlu pasang tampang gimana lagi yang nunjukkin kalau gue cukup stress ditinggal Arin? Gue perlu nangis, Nan?” Alzi tampak gusar dengan pertanyan retoris dari Nanda. Nanda pun kaget dengan ekspresi Alzi yang begitu temperamental. “Sorry, Nan. Gak maksud kasar. Hm…ya tapi kalau dia tersiksa menjalani sama gue, gue gak akan memaksakannya. Sia-sia menjalani dengan terpaksa, terlebih dia sudah gak ada rasa…”
“Sabar ya, Zi. Mungkin jalan lo lagi terpisah sama Arin. Gak memungkiri di ujung jalan lo ketemu lagi sama Arin kan?” Nanda berfilosofi dan mengakhirinya dengan senyuman.
Alzi dan Nanda. Sulit mendeskripsikannya. Mereka bersahabat, lama. Layaknya Arin dan Bimo. Latar belakang hubungan Alzi-Nanda dan Arin-Bimo pun ada kemiripan. Sama-sama saling menyayangi, tetapi salah satunya lebih memilih untuk menjadi sahabat. Nanda, yang merasa dirinya sudah sangat nyaman dengan keberadaan Alzi di sampingnya, sebagai sahabat, sudah berkali-kali menolak permintaan Alzi untuk menjadikan dirinya sebagai pacar Alzi. Alzi-Nanda, mempunyai hobi yang sama, selera musik yang sama, sama-sama aktif di organisasi, sama-sama memiliki pengetahuan yang luas, hanya satu yang tidak sama…Alzi (masih) menginginkan Nanda menjadi pacarnya, sedangkan Nanda tidak pernah berharap itu terjadi.
***
“Bim, aku butuh ketemu sama Alzi sekarang juga. Kita puter balik,” sebagai co-supir, Arin memegang kendali akan dibawa ke mana Jazz hitam tersebut melaju. Bimo pun menuruti segala perintah Arin. Bimo hanya ingin melihat Arin bahagia, meski dirinya bukanlah alasan senyum yang tersungging ataupun lesung pipi yang muncul di wajah Arin.
Bimo menyayangi Arin seperti Alzi menyayangi Nanda. Sayang seorang sahabat yang berharap hubungannya bisa lebih dari hanya sekedar sahabat. Apa daya, Arin seperti sudah mempatri label “AMIGOS POR SIEMPRE” di kening dirinya dan Bimo. Bimo hanya ingin memastikan, bahwa tidak akan ada orang yang membuat bulir air keluar dari mata Arin. Bimo tulus kepada Arin. Dan mungkin inilah yang dinamakan cinta; bisa merelakan yang dicinta bahagia, meski tidak bersama kita.
Dari sudut matnya, Bimo melihat Alzi sedang memeluk Nanda dengan erat di depan café yang tadi dikunjunginya bersama Arin. Ia yakin betul yang dilihatnya bukan hanya ilusi semata. Bimo benar-benar melihat lelaki tinggi memakai polo shirt merah sedang memeluk wanita memakai fringe tee berwarna putih. Ia yakin bahwa itu adalah Alzi dan Nanda. Brengsek tuh cowok!
Di sampingnya, Arin sedang tertidur pulas. Mungkin Arin lelah karena sepanjang jalan tadi ia menangis tak henti-henti. Akhirnya, Bimo memutuskan untuk berhenti di Little Baghdad yang letaknya tak jauh dari café tempat mereka makan tadi. Bimo bermaksud untuk menghampiri Alzi yang kini telah mendapatkan sebutan si Brengsek dari dirinya. Tentu saja Bimo tak akan membangunkan Arin dari tidurnya. Rencananya kali ini tak perlu mendapatakan persetujuan dari sahabatnya, Arin.
Setelah memarkir mobilnya di area parkir Little Baghdad, Bimo segera menyebrang jalan dan berlari kecil menuju ke café yang dimaksud. Adegan pelukan itu pun belum selesai. Tanpa pikir panjang Bimo langsung menghantam Alzi dari belakang. Memisahkan dua insan yang sedang berpelukan tersebut. Melayangkan kepalan tangannya ke pelipis Alzi. Alzi yang terkejut mendapati dirinya diserang, tidak menyerang balik. Bimo belum selesai. Dirinya kembali menyerang Alzi, masih dengan kepalan tangan. Kini kepalan itu berpindah ke perut Alzi, membuat Alzi jatuh terjerembab. Alzi hanya bisa memejamkan mata sambil memegang perutnya, menahan sakit yang dirasa. Di sisi lain, Nanda berteriak minta tolong, tetapi orang di sekitar justru mengerubungi Alzi dan Bimo. Tidak satu pun dari mereka memisahkan Alzi dan Bimo. Mereka justru seperti membuat line arena untuk Alzi dan Bimo melanjutkan pertarungan.
Sesaat kemudian, Alzi mencoba membuka matanya. Setelah ia tersadar penuh, ia mencoba mengenali orang yang ada di hadapannya. Alzi mengenali orang itu, meski baru ditemuinya sekali ia sangat mengenali orang itu dan mengerti mengapa orang tersebut memukulinya seperti sekarang. Makanya, Alzi tak berusaha membalas.
“Gue kan udah minta maaf. Gue udah mau ngebawa lo dan nenek lo ke rumah sakit, tapi lo nolak,” keadaan yang tadinya riuh berubah menjadi hening seiring Alzi yang membuka percakapannya dengan Bimo. “Gue mesti apa lagi supaya lo mau ngemaafin gue?”
“Jangan coba-coba nyakitin Arin lagi, BRENGSEK!” satu tinju meluncur di pipi kiri Alzi. “Setelah hampir ngehilangin nyawa gue dan nenek gue, lo masih berani nyakitin sahabat gue? Satu cewek aja gak bisa lo urus, lo udah meluk-meluk cewek lain,” diliriknya Nanda dengan tatapan setengah iba.
“Itu gak seperti yang lo pikir. Gue bisa jelasin. Gue sayang sama Ar…”
“BANYAK BACOT LO!” satu tinju lagi mendarat di pipi kanan Alzi.
“UDAH-UDAH! STOP IT, PLEASE! Tolong, Mas. Jangan sakitin Alzi lagi. Bisa kan kita selesaikan dengan cara kekeluargaan? Malu, Mas dilihat orang-orang,” Nanda melihat sekeliling, kemudian pandangannya kembali kepada Bimo, memohon. “SEMUANYA TOLONG BUBAR!!!” Nanda mencoba menggusur orang-orang kepo yang sejak tadi hanya melihat pertarungan Alzi-Bimo tanpa membantunya melerai. Satu tinju lagi mendarat di perut Alzi sebagai tanda perpisahan. Alzi hanya bisa mengerang, lagi-lagi tanpa penyerangan balik. Bimo pun berdiri, sudah akan meninggalkan Alzi dan Nanda. Namun, seketika…
“BIMO…!!!”
SELESAI
1 Nin, nenek dalam bahasa Sunda
2 Geulis, cantik dalam bahasa Sunda