Perkenalkan, aku orang yang selalu menyakiti hati
gadis yang kusayang. Aku membuatnya berpura-pura nyaman berada di sampingku.
Postur tubuhku cukup tinggi, tetapi lebih tinggi lagi egoku. Aku pintar, tetapi
tidak dalam menjaga dan mencintai gadis yang kusayang. Sekali lagi,
perkenalkan...aku adalah Haykal Al-Aziz. Namun, aku lebih akrab disapa dengan
Alzi.
Alzi melaju dengan
kecepatan yang cukup tinggi. Pertemuannya dengan Arinda, gadis yang
disayanginya, mampu membuatnya menjadi pembalap profesional secara otodidak.
Arinda baru saja membuatnya terhenyak dengan berbagai macam fakta yang
dilontarkan yang sebagian besar diterimanya dengan anggukan lemas. Kata demi
kata yang keluar dari bibir mungil Arinda dibenarkan oleh Alzi dengan
penyesalan yang mendalam.
Seketika decit
mobil terdengar sangat memekakan telinga. Alzi hampir saja menabrak seorang
nenek tua yang berjalan bersama cucunya dengan membawa tas yang cukup besar,
sepertinya mereka dari kampung halaman karena kejadian tersebut terjadi di
depan terminal bus antar-kota. Tanpa pikir panjang Alzi langsung menghampiri
sang nenek dan cucunya tersebut. Tak dinyana sikap tanggung jawab Alzi justru
disambut tidak baik oleh cucu dari si nenek.
“Lo lulus SIM A
gak sih? Kira-kira dong kalau mau ngebut. Ini jalanan ramai. Sok-sokan jadi
pembalap!” seperti sudah dihapal beratus-ratus kali, kalimat demi kalimat
tersebut terlontar dengan sangat lancar tanpa jeda dari lelaki yang merupakan
cucu sang nenek. Lelaki tersebut sudah akan berdiri dari sikap bungkuk menolong
sang nenek dan siap menghajar Alzi tanpa ampun. Alzi menghindar.
“Maaf banget, Mas.
Bagaimana kalau saya antarkan Mas dan nenek Mas ke rumah sakit terdekat?” Alzi
membungkuk menghampiri sang nenek. “Nenek gak kenapa-kenapa kan? Ada yang luka?
Maafin saya ya, Nek.”
“Gak usah sok jadi
pahlawan kesiangan! Pergi lo dari sini! Jangan sentuh nenek gue!”
“Hus! Aa gak boleh gitu ah. Nin1 teu nanaon da, A. Sok bantuan Nin. Nin mau bangun.” (Hus! Kakak gak boleh begitu. Nenek gak
kenapa-kenapa kok, Kak. Tolong bantuin nenek. Nenek mau bangun.)
“Gue bilang
pergi!”
Alzi pun
meninggalkan tempat tersebut. Perasaannya semakin kacau. Semakin balau. Semakin
galau.
***
“Bim, aku mau
putus.” ucap seorang wanita memecah keheningan di dalam mobil, mereka sedang
menuju sebuah café di kawasan Kemang.
“Hah? Kita kan gak
jadian, Rin. Kok tiba-tiba putus?” ucap Bimo polos kepada wanita di sampingnya
yang memiliki nama lengkap Arinda Kezia Handoyo. Ia mendelik, kemudian mencubit
lengan Bimo gemas. “Hahaha. Becanda, Rin. Ah! Masa udah mau putus aja? Gue aja
belum lo kenalin ke pacar baru lo. Janji lo kan abis gue balik dari Bandung
bakal lo kenalin ke gue. Gimana sih?”
“Lagian kamu
kelamaan di sana. Betah beneur. Udah nemu mojang Bandung nu geulis2 binti beuning ya? Haha”
“Gak usah mengalihkan
pembicaraan...”
“…”
“Cerita, Arin. I'll be a good listener,” senyum itu
sedikit menenangkan Arin. Arin pun bercerita...
...
“…jadi gitu loh,
Bim. Dengan atau bersama dia gak ada bedanya. Terlalu banyak dari diri dia yang
perlu dia ubah. Dia belum siap milikin aku…”
“Gak ada
kesempatan lagi buat dia?”
“Apa gak terlalu
jahat kalau aku jadikan dia manekinku?”
“Lo rela dia gak
jadi bagian dari hidup lo lagi?”
“Mau sampai kapan
aku nunggu dan maksain cocok sama dia?”
“Bisa gak
pertanyaan gue gak dibalas dengan pertanyaan, Arinda Kezia Han…”
“Hehehe,” lesung
di kedua pipi Arin muncul seiring tersungginya senyum manisnya itu.
“…doyo?” ucap Bimo
lirih melanjutkan nama lengkap Arin. “Udah berapa lama sih sama dia?”
“Hm…tiga hari lagi
genap tiga puluh hari.”
“Kok lo jadi kaya
Aurel sih?!”
“HEH! Sial! Gak
gitu. Sekarang kalau emang gak nyaman, apa aku mesti pura-pura nyaman?
Pertanyaannya, mau sampai kapan? Dia terlalu sibuk dengan dunianya dia. Dia
bisa have fun dengan dirinya, tapi
gak bersamaku. Dia bisa membahagiakan dirinya, tapi gak dengan membahagiakan
aku. Banyak hal tentang suatu hubungan yang gak perlu diucapkan secara lisan,
atau dituliskan seperti terms of use
suatu aplikasi, tapi anehnya dia gak pernah ngerti. Dia terlalu angkuh dan tak
acuh dengan perasaan wanita, khususnya aku,” Arin menghela napas cukup panjang.
Keadaan tetap hening. Bimo tau Arin masih akan melanjutkan ceritanya. “Aku
sayang dia, Bim, tapi aku gak mau menyiksa diriku sendiri. Aku pikir kali ini
gak akan gagal, ternyata...,” bulir air dari mata indah Arin pun berjatuhan ke
pipinya. Mulai membasahi, lalu menetes jatuh ke layar ponsel Arin.
“Iya gue ngerti
kok. Setelah disakitin sama Aldri lo pasti berharap Alzi akan lebih baik,
bahkan jadi yang terakhir. Memecahkan rekor pacaran lo yang hampir 5 tahun. Gue
ngerti itu, tapi pengharapan gak melulu berdampingan dengan kenyataan. Don't hope too much, don't expect too much,
don't love too much, cause that too much will hurt you so much,” Bimo
berhenti sejenak, membiarkan Arin menyerap kuliah singkatnya barusan. “Hm...kita
mau masuk ke café atau putar balik?” Arin terdiam, air matanya masih mengalir,
tetapi napasnya lebih teratur. “Arin...,” Bimo mencoba menyapanya lembut
diiringi belaian manis di ujung kepala Arin.
“Yuk, masuk ke café!
Aku gak kenapa-kenapa, kok,” ucap Arin berbohong.
“There's always a little kenapa-kenapa behind every aku gak kenapa-kenapa.”
“Ah, Bimooo…!”
kemudian mereka berdua pun memasuki café di kawasan Kemang itu sambil tertawa.
***
“Nda, di mana? Lagi
apa? Ada waktu?” pertanyaan bertubi-tubi tersebut dilontarkan oleh seorang
bersuara bass. Nanda sontak menjauhkan ponsel, melihat nama si pemanggil. Private Number.
“Alzi?” tetapi
Nanda mengenalinya.
“Bisa?” dari
suaranya sangat bisa ditebak bahwa Alzi tergesa-gesa. Tiga pertanyaan di awal
pembicaraan saja belum dijawab oleh Nanda, ia sudah lagi memberikan pertanyaan
yang bermakna ia-sangat-butuh-Nanda-saat-ini.
“Free, kok. Ada apa sih?”
“Gue meluncur ke
rumah lo sekarang. Bye.” sambungan
terputus. Nanda memandangi ponselnya bingung, tetapi segera bergegas berganti
pakaian. Sesaat kemudian, bunyi klakson seperti memerintah Nanda untuk segera
turun ke bawah, menghampiri Alzi yang termenung di balik kemudi. Wajahnya
pucat, matanya mengisyaratkan kekosongan.
“Zi? Are you okay?”
“Hm…I'm okay not to be okay,” balas Alzi
sekenanya kemudian melesat cepat dengan Mazda 2 Hitam-nya.
***
Di sisi lain, Bimo
sukses menghasilkan dua lesung pipi di wajah Arin. Hebatnya, Bimo sukses
membuat tawa Arin pecah. Sudah lama mereka berdua tidak menghabiskan waktu
seperti ini. Bimo merindukan tawa Arin, tawa yang lepas. Bukan yang dipaksakan
hanya untuk meyakinkan yang lain bahwa dia baik-baik saja.
Belakangan, Bimo
memang lebih sering melihat linimasa Arin dipenuhi #puisingkat, 140 karakter yang dirangkai menjadi indah, tetapi
sarat akan kegalauan. Bimo tau ada apa-apa dengan sahabat yang sangat
disayanginya itu. Makanya, di hari pertama ia kembali ke ibu kota langsung
disediakan waktu penuh untuk sahabatnya, Arin.
“Shit!” gerutu Bimo lirih, tidak mau mengganggu
Arin yang sedang asyik dengan pemandangan rintik hujan di luar. Seketika emosi
Bimo tersulut melihat dua orang yang datang dari arah pintu masuk. Salah
seorang dikenalnya, meski tidak baik, tetapi cukup alasan bagi Bimo untuk terus
mengutukinya setiap kali bertemu. Mata tajam Bimo terus mengikuti orang
tersebut, sampai akhirnya mereka melewati meja Bimo dan Arin.
“Kenapa, Bim?”
Arin menyadari sahabatnya menggerutu, meskipun lirih. Arin pun mengikuti ke
mana mata Bimo melangkah. “Dan itu alasan awal kenapa rasaku hilang
banyak…banyak sekali kepada Alzi. Kita pulang, Bim.”
“Hah?!” Bimo
tercengang mendapati Arin membicarakan Alzi tiba-tiba, lebih tercengang lagi ia
mengajaknya pulang tiba-tiba.
***
Di dalam
perjalanan yang entah ke mana itu Arin dan Bimo terjerat dalam keheningan. Bimo
lebih ingin membiarkan Arin yang membuka percakapan.
“Kamu pengen
dikenalin sama Alzi, Bim?”
“If you want me to, Rin.”
“Liat gak tadi ada
lelaki tinggi pakai red polo shirt yang jalan sama cewek pakai fringe tee?”
“Itu Alzi? Sama
siapa? Gue boleh ngomong kasar, Rin?”
“Aku boleh cerita,
Bim?”
Kapan sih, Rin pertanyaan gue gak dibalas dengan
pertanyaan. Untung lo sahabat gue. “Silahkan, Rin.”
“Iya, itu Alzi.
Cocok ya sama cewek itu?”
“Cantikan sahabat
gue. Tinggian sahabat gue. Langsingan sahabat gue. Udah bak model aja lah
sahabat gue. Cuma kurang satu…”
“Apa?” tukas Arin
cepat.
“Gak ada yang
rekrut,” tawa mereka pun pecah. Seketika. Hanya seketika dan kemudian kembali
hening.
“Menurutmu, mereka
pacaran atau cuma sahabatan?”
“Dari tawa yang
terpancar sih seperti sepasang kekasih, Rin. Tapi, gesture-nya nunjukin mereka cuma sahabat. Kenapa sih?”
“Eh tadi kenapa
mau ngomong kasar sama Alzi?”
“Bisa gak sih
pertanyaan gue gak dibalas dengan pertanyaan, Arinda?”
“…” Arin termenung.
Entah apa yang berputar di kepalanya. Sang calon mantan kekasih yang berjalan
dengan wanita lain dan gertakan Bimo silih berganti menghiasi pikiran Arin.
“Hm...sorry, Rin. Gue boleh cerita?” Arin
hanya mengangguk. “Tadi pas gue di terminal, gue dan Nin hampir ditabrak,” Arin langsung mengubah posisi duduk dan
memperhatikan Bimo dengan seksama. “Nin
jatuh, tapi untung gak kenapa-kenapa. Itu orang yang nyetir ngebut banget, Rin.
Gak kira-kira ngebutnya. Nyetir di jalanan ramai udah berasa nyetir di tol dan
di racing track Sentul. Gue udah
hampir menghajar si Brengsek yang hampir ngehilangin nyawa gue dan Nin, tapi Nin ngelarang.”
“Terus?”
“Terus tadi gue
ketemu orang itu lagi, di café tempat kita makan tadi.”
“Kok kamu gak
kasih tau aku, Bim?”
“Tadi tiba-tiba lo
langsung ajak gue pulang begitu gue lagi memerhatikan si Brengsek itu.”
“Emang orangnya
yang mana?”
“Lelaki tinggi
pakai red polo shirt yang lagi jalan sama cewek pakai fringe tee,” Bimo mengulang
pendeskripsian Arin sebelumnya. Arin terhenyak, tercengang, dan bibirnya kelu.
“Mobilnya Alzi Mazda 2 hitam bukan, Rin?”
“Iya...,” Arin
kembali ke posisi asal, pandangannya lurus ke depan, menatapi jalanan ramai,
tetapi tatapannya kosong. Arin menyadari kekacauan yang dilakukan Alzi juga
bermula dari dirinya, dari pernyataannya untuk berpisah sementara atau
selamanya dengan Alzi. Ia tak menyangka Alzi akan sekacau itu. Namun, seketika
wajahnya memerah, dari matanya terpancar amarah. “Kalau dia bisa sekacau itu
karena keputusanku, sampai hampir menghilangkan nyawa sahabatku dan neneknya,
kenapa sesaat kemudian dia bisa mesra-mesraan sama cewek lain sih? AH!!!”
tangis Arin pecah. Bimo mencoba menenangkannya dengan mengusap lembut ujung
kepala Arin dan menepuk bahunya halus.
***
“Arin mau putus
sama gue,” Alzi membuka percakapan.
“Kok bisa? Lo
ngapain Arin, Zi?” tanya wanita mungil di hadapan Alzi.
“Entahlah, Nan,”
ucap Alzi lemas. “Menurutnya, gue belum masuk dalam kategori siap memiliki
seorang pacar, apalagi untuk jadi pacarnya Arin. Gue sadar gue yang salah.
Selama ini energi gue udah habis sama wanita-wanita yang datang dan pergi
dengan mudahnya di hidup gue, tanpa mereka jadi pacar gue. Gue tau itu gak bisa
dijadikan sebagai alasan atas sikap gue yang udah menyia-nyiakan Arin. Gue
sudah berkomitmen untuk menjalani hubungan dengan Arin, seharusnya pula gue
sudah mengerti bagaimana harus memperlakukan seorang pacar dengan baik. Gue gak
peka, gue terlalu sibuk, gue…gue pikir cinta saja sudah cukup. Ternyata enggak…”
Setelah penjelasan
super panjang dari Alzi, keduanya terdiam. Keheningan itu menyelimuti mereka.
Nanda, wanita yang berada di hadapan Alzi, tak langsung menanggapi Alzi yang
tertunduk meratapi nasib hubungannya. Nanda tau Alzi begitu sayang kepada Arin,
tetapi sikap yang ia tunjukkan kepada Arin tak seperti yang dilihatnya sekarang,
setelah hampir kehilangan Arin.
“Zi…,” Nanda
meraih tangan kiri Alzi, mengusapnya lembut. “Lo sayang sama Arin?”
“Gue perlu pasang
tampang gimana lagi yang nunjukkin kalau gue cukup stress ditinggal Arin? Gue perlu nangis, Nan?” Alzi tampak gusar
dengan pertanyan retoris dari Nanda. Nanda pun kaget dengan ekspresi Alzi yang
begitu temperamental. “Sorry, Nan.
Gak maksud kasar. Hm…ya tapi kalau dia tersiksa menjalani sama gue, gue gak
akan memaksakannya. Sia-sia menjalani dengan terpaksa, terlebih dia sudah gak
ada rasa…”
“Sabar ya, Zi.
Mungkin jalan lo lagi terpisah sama Arin. Gak memungkiri di ujung jalan lo
ketemu lagi sama Arin kan?” Nanda berfilosofi dan mengakhirinya dengan
senyuman.
Alzi dan Nanda.
Sulit mendeskripsikannya. Mereka bersahabat, lama. Layaknya Arin dan Bimo.
Latar belakang hubungan Alzi-Nanda dan Arin-Bimo pun ada kemiripan. Sama-sama
saling menyayangi, tetapi salah satunya lebih memilih untuk menjadi sahabat.
Nanda, yang merasa dirinya sudah sangat nyaman dengan keberadaan Alzi di sampingnya,
sebagai sahabat, sudah berkali-kali menolak permintaan Alzi untuk menjadikan
dirinya sebagai pacar Alzi. Alzi-Nanda, mempunyai hobi yang sama, selera musik
yang sama, sama-sama aktif di organisasi, sama-sama memiliki pengetahuan yang
luas, hanya satu yang tidak sama…Alzi (masih) menginginkan Nanda menjadi
pacarnya, sedangkan Nanda tidak pernah berharap itu terjadi.
***
“Bim, aku butuh
ketemu sama Alzi sekarang juga. Kita puter balik,” sebagai co-supir, Arin memegang kendali akan dibawa ke mana Jazz hitam
tersebut melaju. Bimo pun menuruti segala perintah Arin. Bimo hanya ingin
melihat Arin bahagia, meski dirinya bukanlah alasan senyum yang tersungging
ataupun lesung pipi yang muncul di wajah Arin.
Bimo menyayangi
Arin seperti Alzi menyayangi Nanda. Sayang seorang sahabat yang berharap
hubungannya bisa lebih dari hanya sekedar sahabat. Apa daya, Arin seperti sudah
mempatri label “AMIGOS POR SIEMPRE”
di kening dirinya dan Bimo. Bimo hanya ingin memastikan, bahwa tidak akan ada orang
yang membuat bulir air keluar dari mata Arin. Bimo tulus kepada Arin. Dan
mungkin inilah yang dinamakan cinta; bisa merelakan yang dicinta bahagia, meski
tidak bersama kita.
Dari sudut matnya,
Bimo melihat Alzi sedang memeluk Nanda dengan erat di depan café yang tadi
dikunjunginya bersama Arin. Ia yakin betul yang dilihatnya bukan hanya ilusi
semata. Bimo benar-benar melihat lelaki tinggi memakai polo shirt merah sedang
memeluk wanita memakai fringe tee berwarna putih. Ia yakin bahwa itu adalah
Alzi dan Nanda. Brengsek tuh cowok!
Di sampingnya,
Arin sedang tertidur pulas. Mungkin Arin lelah karena sepanjang jalan tadi ia
menangis tak henti-henti. Akhirnya, Bimo memutuskan untuk berhenti di Little
Baghdad yang letaknya tak jauh dari café tempat mereka makan tadi. Bimo
bermaksud untuk menghampiri Alzi yang kini telah mendapatkan sebutan si Brengsek dari dirinya. Tentu saja
Bimo tak akan membangunkan Arin dari tidurnya. Rencananya kali ini tak perlu
mendapatakan persetujuan dari sahabatnya, Arin.
Setelah memarkir
mobilnya di area parkir Little Baghdad, Bimo segera menyebrang jalan dan
berlari kecil menuju ke café yang dimaksud. Adegan pelukan itu pun belum
selesai. Tanpa pikir panjang Bimo langsung menghantam Alzi dari belakang. Memisahkan
dua insan yang sedang berpelukan tersebut. Melayangkan kepalan tangannya ke pelipis
Alzi. Alzi yang terkejut mendapati dirinya diserang, tidak menyerang balik.
Bimo belum selesai. Dirinya kembali menyerang Alzi, masih dengan kepalan
tangan. Kini kepalan itu berpindah ke perut Alzi, membuat Alzi jatuh
terjerembab. Alzi hanya bisa memejamkan mata sambil memegang perutnya, menahan
sakit yang dirasa. Di sisi lain, Nanda berteriak minta tolong, tetapi orang di
sekitar justru mengerubungi Alzi dan Bimo. Tidak satu pun dari mereka
memisahkan Alzi dan Bimo. Mereka justru seperti membuat line arena untuk Alzi
dan Bimo melanjutkan pertarungan.
Sesaat kemudian,
Alzi mencoba membuka matanya. Setelah ia tersadar penuh, ia mencoba mengenali
orang yang ada di hadapannya. Alzi mengenali orang itu, meski baru ditemuinya
sekali ia sangat mengenali orang itu dan mengerti mengapa orang tersebut
memukulinya seperti sekarang. Makanya, Alzi tak berusaha membalas.
“Gue kan udah
minta maaf. Gue udah mau ngebawa lo dan nenek lo ke rumah sakit, tapi lo nolak,”
keadaan yang tadinya riuh berubah menjadi hening seiring Alzi yang membuka
percakapannya dengan Bimo. “Gue mesti apa lagi supaya lo mau ngemaafin gue?”
“Jangan coba-coba
nyakitin Arin lagi, BRENGSEK!” satu tinju meluncur di pipi kiri Alzi. “Setelah
hampir ngehilangin nyawa gue dan nenek gue, lo masih berani nyakitin sahabat
gue? Satu
cewek aja gak bisa lo urus, lo udah meluk-meluk cewek lain,” diliriknya Nanda
dengan tatapan setengah iba.
“Itu gak seperti
yang lo pikir. Gue bisa jelasin. Gue sayang sama Ar…”
“BANYAK BACOT LO!”
satu tinju lagi mendarat di pipi kanan Alzi.
“UDAH-UDAH! STOP IT, PLEASE! Tolong, Mas. Jangan sakitin Alzi lagi. Bisa kan kita selesaikan dengan
cara kekeluargaan? Malu, Mas dilihat orang-orang,” Nanda melihat sekeliling,
kemudian pandangannya kembali kepada Bimo, memohon. “SEMUANYA TOLONG BUBAR!!!”
Nanda mencoba menggusur orang-orang kepo
yang sejak tadi hanya melihat pertarungan Alzi-Bimo tanpa membantunya melerai.
Satu tinju lagi mendarat di perut Alzi sebagai tanda perpisahan. Alzi hanya bisa mengerang, lagi-lagi
tanpa penyerangan balik. Bimo pun berdiri, sudah akan meninggalkan Alzi dan
Nanda. Namun, seketika…
“BIMO…!!!”
SELESAI
1 Nin, nenek dalam bahasa Sunda
2 Geulis, cantik dalam bahasa
Sunda