Wednesday, May 6, 2015

Dokter Juga Manusia, Bisa Salah

Alhamdulillah.
Cuma itu yang bisa saya ucapkan saat mendengar pernyataan dr. Zul, SpPD sore tadi di ruangannya.


Bermula dari kedatangan saya ke Klinik Marga Bakti Husada (MBH) Jasa Marga untuk kontrol behel dan berobat ke dokter umum. Dokter umum yang bertugas saat itu bernama dr. Lies. Dulu, dr. Lies pernah liat saya saat saya gemuk-gemuknya. Saat kemarin dr. Lies bertemu saya, berat badan (bb) saya berada di angka 42kg. Ya memang bukan bb normal saya, jauh pun dari ideal dengan tinggi badan saya yang menginjak 165cm. Lalu, dr. Lies meminta saya untuk melakukan rontgen dan tes darah. Saya pun melakukan perintahnya hari itu juga dan kembali esok hari. Hasil rontgen menyatakan adanya flek di bagian paru-paru kanan dengan indikasi Bronchus Pneumonia. Oleh karena itu, dr. Lies memberikan rujukan agar saya konsultasi ke dokter spesialis paru.

Keesokan harinya, saya pergi ke Rumah Sakit Haji Jakarta dan konsultasi dengan dokter spesialis paru yang berinisial RIG. Hari itu juga saya diberi resep obat TB merk Rimstar untuk diminum (1 x 3pcs) pada malam hari selama 2 minggu ke depan. Dr. RIG, SpP juga meminta saya untuk tes hematologi dan bakteriologi (reak) yang hasilnya dibawa 2 minggu kemudian sekaligus check up. Saya dinyatakan TB+ (ada kuman tidur) oleh dr. RIG, SpP.

Seminggu berjalan, saya tumbang. Tidak ada napsu makan dan merasa mual. Saya pribadi punya maag dan karena gejalanya mirip, maka saya berpikir bahwa ini sakit maag biasa. Anehnya, saya sampai harus diinfus karena dehidrasi. Saya pun pergi ke Klinik MBH Jasa Marga dan bertemu dr. Lady. Dr. Lady mengatakan bahwa asam lambung saya naik dan saya diberikan obat maag. Saya merasa janggal karena pola makan saya sedang teratur. Saya cerita sama Mutia (tsaelah biasanya juga Dea) tentang permasalahan dan penyakit saya. Kata Mutia, asam lambung naik itu bisa disebabkan oleh stress. Ya bisa jadi, sih. Karena memang saat itu saya sedang banyak pikiran.

Dua minggu berlalu, saya harus check up ke dr. RIG, SpP. Kondisi saya masih lemas dan mual. Bunda memutuskan untuk membawa juga saya ke internis di RS Haji, dr. Zul, SpPD (dokter yang selalu menangani saya dari dulu). Kebetulan dr. RIG, SpP dan dr. Zul, SpPD memiliki jam praktik yang sama dan ruangannya bersebelahan. Hari itu, saya lebih dulu dipanggil konsul bersama dr. Zul, SpPD. Saya dan Bunda saya baru menyadari bahwa sub-spesialis dr. Zul, SpPD adalah paru. Lalu, saya ceritakan apa yang saya rasakan. Dr. Zul, SpPD mengatakan bahwa hasil rontgen saya masih meragukan jika saya mengidap TB+. Lalu, dr. Zul, SpPD menanyakan apakah saya sudah melakukan tes mantoux atau belum. Jawabannya, memang belum. Hari itu saya disuruh stop mengonsumsi obat TB (yang sebelumnya sudah saya habiskan sebanyak 42pcs), melakukan tes mantoux, dan ambil darah untuk pemeriksaan hematologi (LED), kimia (bilirubin, SGOT, SGPT), dan imuno serologi (CRP). Saya disuruh kembali 2 hari lagi dengan membawa hasil tes dan saya membatalkan untuk bertemu dengan dr. RIG, SpP.

Dua hari berlalu, saya kembali menemui dr. Zul, SpPD. Semua hasil tes menyatakan saya TB– (Alhamdulillah), namun hasil SGOT dan SGPT saya tinggi dan menandakan adanya peradangan di liver. Saya disuruh istirahat 5 hari di rumah dengan melakukan diet lambung. Semua makanan serba rebus dan tumis. Say goodbye to minyak dan bumbu. Makanannya benar-benar seperti masakan rumah sakit (hiks).

Hari ini saya diminta kembali untuk menemui dr. Zul, SpPD. Hasil SGOT saya yang semula 362 (normal <35) sudah menurun dan normal dengan nilai 29, sedangkan hasil SGPT yang semula 701 (normal <45) juga menurun menjadi 127, meskipun masih tinggi. Saya pun dinyatakan sembuh dan diminta mempertahankan pola makan yang sehat dan tidur yang banyak. Dr. Zul, SpPD mengatakan bahwa peradangan akut pada liver saya disebabkan oleh obat TB yang diberikan oleh Dr. RIG, SpP. Selain obat tersebut obat keras, saya pun ternyata memang tidak mengidap TB+.

Kesimpulannya, dari awal saya tidak mengidap penyakit apapun hanya perlu memperbaiki pola makan. Namun, karena salah satu dokter yang terlalu cepat mengambil tindakan, muncul penyakit baru (peradangan akut pada liver). Alhamdulillah, sekarang semuanya sudah membaik seperti semula.

Kata teman-teman yang saya ceritakan mengenai kejadian ini, ini termasuk kejadian malpraktik. Menurut mereka, saya bisa menuntut dokter yang bersangkutan atas apa yang terjadi pada saya. Tapi, da aku mah apa atuh. Sembuh juga sudah Alhamdulillah. Biar menjadi bagian Allah saja soal balas-membalas. Ternyata, bukan saya saja yang mengalami malpraktik di RS Haji Jakarta, teman saya, Ilma, juga pernah mengalaminya. Kita sebagai pasien juga harus teliti dalam menerima diagnosa yang diberikan oleh dokter. Jangan langsung percaya dan menuruti apa yang diperintahkan. Ada baiknya mengunjungi beberapa dokter atau bertanya pada kenalan kamu yang berprofesi sebagai dokter dan mengonsultasikan penyakitmu, khususnya untuk penyakit yang serius. Karena ya dokter juga manusia, tempatnya salah. Ya, kan? Semoga apa yang saya ceritakan tadi bisa menjadi pelajaran bukan saja buat saya dan keluarga, tapi buat kamu juga yang membaca. :)

No comments:

Post a Comment