Saat surat ini
dibaca, sudah pasti aku tak lagi ada di tempat di mana surat ini ditemukan.
Beberapa kalimat ini mungkin bisa menjadi penjelas mengapa aku tak lagi ada di
situ, sekarang.
Aku tak pernah
meminta gaun cantik, pun handphone
canggih keluaran terbaru. Aku tidak setiap minggu pergi ke salon, pun tak
pernah menghabiskan uang hanya karena diskon. Aku tak pernah meminta untuk
dimanja, diperhatikan lebih, dispesialkan, dijadikan emas. Aku hanya meminta
kebebasan untuk memilih. Apa yang aku yakini benar.
Maaf jika aku
pergi tanpa pamit.
Alin
***
Saat Jakarta diguyur air-air dari
sumur-Nya, aku baru saja turun dari bus yang mengantarkanku ke halte untuk
melanjutkan tujuan yang entah ke mana aku pun tak tau. Aku yang tergesa-gesa
turun dengan menggunakan kaki kanan. Bodohnya! Kernet bus pun memberi
perhatiannya padaku. Ah! Lebih ke arah mengomeliku, sih.
“Lain kali yang kiri dulu, Neng!
Hati-hati ngapa kalau turun!”
Suara kernet itu beradu dengan suara
gemuruh di langit Jakarta sore itu. Aku tak begitu memedulikannya dan segera
berlari kecil menuju halte sambil menggamit tas dan melakukan usaha yang
sia-sia, menutupi kepala dengan punggung tanganku agar tidak kebasahan. Setelah
mengusap-usap sekenanya bagian blazerku yang basah karena hujan, ponselku
berbunyi. Yang kutau dari kamu. Lekas kurogoh kantung bagian dalam tasku itu.
“Halo! Kamu di mana? I...,” suaramu yang
tergesa-gesa itu kupotong secara kasar dengan suara diktatorku.
“Cepetan ke halte bus samping Semanggi,
deh! Aku gak tau mesti ke mana sekarang…,” aku memelankan suaraku pada kalimat
akhir. Karena mata-mata liar ingin tau sedang mengarah kepadaku.
Aku takkan pernah berhenti akan terus
memahami
Pasti terus berpikir bila harus memaksa
Atau berdarah untukmu
Apapun itu asalkan mencoba menerimaku
Sebelum lagu itu mengalun, Whopper BK ini lahap sekali kumakan.
Hingga saat entah roti, daging, atau bahkan sayurannya menyumbat tenggorokanku,
membuatku susah menelannya, dan lekas saja aku menyeruput Cola di sampingku. Kamu tau aku kenapa-kenapa, tetapi kamu lebih
memilih menenangkanku dengan tidak menanyakannya.
“Lahap bener makannya, Al. Laper apa
doyan?” tanyamu sambil menyuapkan sesendok ice
cream Sundae ke mulutmu dan tak sengaja menyisakannya di atas garis
bibirmu.
“Hahaha. Pake nyisain ice cream di bibir segala. Genit kamu!”
usapan tisu dan jawaban yang kuberi memang tak menjawab pertanyaanmu. Namun,
cukup untuk menyembunyikan apa yang kurasakan sebenarnya.
Inginkan rasakan
Rindu ini menjadi satu
Biar waktu yang memisahkan
Aku membiarkan lagu itu mengisi
keheningan aku dan dirinya. Aku bingung. Entah harus kumulai dari mana. Atau
haruskah menunggu dia yang bertanya. Sampai pada akhirnya…
“Kita cari kostan, yuk! Daerah Pancoran,
kek, Setiabudhi, kek. Mana aja, deh! Yah?” untuk kesekian kalinya aku memulai
di saat-saat hening antara aku dan dia. Kevin, lelaki yang kucinta, selalu
membiarkan aku memulai segalanya. Membiarkannya agar tak ada yang seharusnya
tak ingin kubagi, keluar dari hati.
***
SEBULAN
KEMUDIAN…
Sore itu hujan baru saja selesai
mengguyur Jakarta. Bak tenggorokan yang kering karena aktivitas di tengah
panasnya Kota Polusi, dahaga meluap, yang diakhiri dengan 600 ml air mineral
dingin. Namun, yang kuhadapi kini adalah mobil-mobil yang tak kunjung berjalan
di depanku. Sekalinya berjalan, hanya beberapa meter saja. Masih di tempat yang
itu-itu juga. Seketika, suara tape di
mobilku seolah-olah membesar. Mengalunkan nada gloomy…
Dan kamu hanya perlu terima
Dan tak harus memahami dan tak harus
berpikir
Alin. Gadis manis dengan tinggi
semampai, rambut lurus terurai. Dengan lesung pipi yang muncul seiring senyum
menawannya. Yang mungkin karenaku.
Hanya perlu mengerti aku bernapas
untukmu
Jadi tetaplah di sini dan mulai
menerimaku
Gadis yang kucinta. Yang rela melakukan
apa saja untukku. Haruskah aku meminta lebih lagi kepada Tuhan? Pantaskah?
***
Suasana di dalam ruangan itu hening,
hanya ada sedikit kicauan burung. Mungkin saja kicau bahagia. Lalu, muncul
suara lantang bertanya pada dua insan di hadapannya. Orang-orang di sekitar
duduk memerhatikan apa yang terjadi di depannya. Kedua insan tersebut saling
melirik, tersenyum.
“… Apa yang telah dipersatukan Tuhan
tidak dapat dipisahkan oleh apapun, kecuali oleh maut. Demikianlah mereka bukan
lagi dua, melainkan satu.”
Keadaan khidmat itu pun seolah berubah
ramai. Bukan dengan teriak atau sorak-sorai, tetapi senyum sumringah,
wajah-wajah bahagia Alin-Kevin, juga para sahabat-sahabat mereka, serta
keluarga yang datang. Keluarga Kevin.
Cobalah mengerti
Semua ini mencari arti
Selamanya takkan berhenti…
Alin mengalihkan pandangan ke luar
gereja. Ada raut yang disembunyikan dibalik senyumnya. Atas sesuatu yang ia
tinggalkan, di rumah.
(set
full volume to Cobalah Mengerti Momo Geisha ft. Perterpan)
Inginkan rasakan
Rindu ini menjadi satu
Biar waktu yang memisahkan
***
Jakarta, 29 Juli 2012
Inspired by
Cobalah Mengerti - Momo Geisha ft. Peterpan
dalam tagar
#cerpenpeterpan
(Tanggal 29 Juli cerpen ini numpang mejeng di blog-nya @monstreza karena saya lagi gak bisa posting)
No comments:
Post a Comment