Sunday, August 5, 2012

Selamanya Takkan Berhenti



Saat surat ini dibaca, sudah pasti aku tak lagi ada di tempat di mana surat ini ditemukan. Beberapa kalimat ini mungkin bisa menjadi penjelas mengapa aku tak lagi ada di situ, sekarang.
Aku tak pernah meminta gaun cantik, pun handphone canggih keluaran terbaru. Aku tidak setiap minggu pergi ke salon, pun tak pernah menghabiskan uang hanya karena diskon. Aku tak pernah meminta untuk dimanja, diperhatikan lebih, dispesialkan, dijadikan emas. Aku hanya meminta kebebasan untuk memilih. Apa yang aku yakini benar.
Maaf jika aku pergi tanpa pamit.
Alin
***
Saat Jakarta diguyur air-air dari sumur-Nya, aku baru saja turun dari bus yang mengantarkanku ke halte untuk melanjutkan tujuan yang entah ke mana aku pun tak tau. Aku yang tergesa-gesa turun dengan menggunakan kaki kanan. Bodohnya! Kernet bus pun memberi perhatiannya padaku. Ah! Lebih ke arah mengomeliku, sih.
“Lain kali yang kiri dulu, Neng! Hati-hati ngapa kalau turun!”
Suara kernet itu beradu dengan suara gemuruh di langit Jakarta sore itu. Aku tak begitu memedulikannya dan segera berlari kecil menuju halte sambil menggamit tas dan melakukan usaha yang sia-sia, menutupi kepala dengan punggung tanganku agar tidak kebasahan. Setelah mengusap-usap sekenanya bagian blazerku yang basah karena hujan, ponselku berbunyi. Yang kutau dari kamu. Lekas kurogoh kantung bagian dalam tasku itu.
“Halo! Kamu di mana? I...,” suaramu yang tergesa-gesa itu kupotong secara kasar dengan suara diktatorku.
“Cepetan ke halte bus samping Semanggi, deh! Aku gak tau mesti ke mana sekarang…,” aku memelankan suaraku pada kalimat akhir. Karena mata-mata liar ingin tau sedang mengarah kepadaku.

Aku takkan pernah berhenti akan terus memahami
Pasti terus berpikir bila harus memaksa
Atau berdarah untukmu
Apapun itu asalkan mencoba menerimaku

Sebelum lagu itu mengalun, Whopper BK ini lahap sekali kumakan. Hingga saat entah roti, daging, atau bahkan sayurannya menyumbat tenggorokanku, membuatku susah menelannya, dan lekas saja aku menyeruput Cola di sampingku. Kamu tau aku kenapa-kenapa, tetapi kamu lebih memilih menenangkanku dengan tidak menanyakannya.
“Lahap bener makannya, Al. Laper apa doyan?” tanyamu sambil menyuapkan sesendok ice cream Sundae ke mulutmu dan tak sengaja menyisakannya di atas garis bibirmu.
“Hahaha. Pake nyisain ice cream di bibir segala. Genit kamu!” usapan tisu dan jawaban yang kuberi memang tak menjawab pertanyaanmu. Namun, cukup untuk menyembunyikan apa yang kurasakan sebenarnya.

Inginkan rasakan
Rindu ini menjadi satu
Biar waktu yang memisahkan

Aku membiarkan lagu itu mengisi keheningan aku dan dirinya. Aku bingung. Entah harus kumulai dari mana. Atau haruskah menunggu dia yang bertanya. Sampai pada akhirnya…
“Kita cari kostan, yuk! Daerah Pancoran, kek, Setiabudhi, kek. Mana aja, deh! Yah?” untuk kesekian kalinya aku memulai di saat-saat hening antara aku dan dia. Kevin, lelaki yang kucinta, selalu membiarkan aku memulai segalanya. Membiarkannya agar tak ada yang seharusnya tak ingin kubagi, keluar dari hati.

***

SEBULAN KEMUDIAN…

Sore itu hujan baru saja selesai mengguyur Jakarta. Bak tenggorokan yang kering karena aktivitas di tengah panasnya Kota Polusi, dahaga meluap, yang diakhiri dengan 600 ml air mineral dingin. Namun, yang kuhadapi kini adalah mobil-mobil yang tak kunjung berjalan di depanku. Sekalinya berjalan, hanya beberapa meter saja. Masih di tempat yang itu-itu juga. Seketika, suara tape di mobilku seolah-olah membesar. Mengalunkan nada gloomy

Dan kamu hanya perlu terima
Dan tak harus memahami dan tak harus berpikir

Alin. Gadis manis dengan tinggi semampai, rambut lurus terurai. Dengan lesung pipi yang muncul seiring senyum menawannya. Yang mungkin karenaku.

Hanya perlu mengerti aku bernapas untukmu
Jadi tetaplah di sini dan mulai menerimaku

Gadis yang kucinta. Yang rela melakukan apa saja untukku. Haruskah aku meminta lebih lagi kepada Tuhan? Pantaskah?

***

Suasana di dalam ruangan itu hening, hanya ada sedikit kicauan burung. Mungkin saja kicau bahagia. Lalu, muncul suara lantang bertanya pada dua insan di hadapannya. Orang-orang di sekitar duduk memerhatikan apa yang terjadi di depannya. Kedua insan tersebut saling melirik, tersenyum.
“… Apa yang telah dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh apapun, kecuali oleh maut. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”
Keadaan khidmat itu pun seolah berubah ramai. Bukan dengan teriak atau sorak-sorai, tetapi senyum sumringah, wajah-wajah bahagia Alin-Kevin, juga para sahabat-sahabat mereka, serta keluarga yang datang. Keluarga Kevin.

Cobalah mengerti
Semua ini mencari arti
Selamanya takkan berhenti…

Alin mengalihkan pandangan ke luar gereja. Ada raut yang disembunyikan dibalik senyumnya. Atas sesuatu yang ia tinggalkan, di rumah.

(set full volume to Cobalah Mengerti Momo Geisha ft. Perterpan)

Inginkan rasakan
Rindu ini menjadi satu
Biar waktu yang memisahkan

***
Jakarta, 29 Juli 2012
Inspired by Cobalah Mengerti - Momo Geisha ft. Peterpan
dalam tagar #cerpenpeterpan
(Tanggal 29 Juli cerpen ini numpang mejeng di blog-nya @monstreza karena saya lagi gak bisa posting) 


No comments:

Post a Comment