Ketika saya menulis ini saya sedang dalam keadaan baru
pulang dari rumah sakit, dan ketika Anda membacanya semoga kita dalam keadaan
sehat. Amen.
Ini adalah kali kedua saya sakit yang cukup parah,
pertama kali adalah enam belas tahun yang lalu. Namun, ini adalah kali pertama
saya merasakan cairan masuk melalui nadi-nadi saya. Begitu riweuh melakukan apa-apa hanya dengan satu tangan. Begitu sakit
beberapa waktu harus disuntik. Begitu nyeri beberapa waktu selang dipelintir
agar cairan lancar berjalan. Begitu tersiksa infus harus dipindah dua kali
karena cairan tidak berjalan baik di nadi saya.
Ditambah saya hanya sendiri di rumah sakit, sesekali
dijenguk ayah-bunda hanya untuk mengetahui perkembangan saya. Mereka tak bisa
siaga karena harus mengurus adik saya yang masih kecil. Dua malam saya ditemani
kembaran saya. Cukup membantu, tetapi selebihnya saya sendirian. Nangis? Ingin
sekali. Tapi untuk apa?
Malam itu, Kamis dini hari, malam di mana saya harus
dipindah infus karena infus di pergelangan tangan kiri saya tak berfungsi
sehingga menyebabkan bengkak. Saya membangunkan kembaran saya dan memanggil
suster. Aura suster tersebut...kejam. Ya itulah first impression saya terhadapnya. Benar saja. Everything she did made me hurt. Cara ia mencari nadi, cara ia
menyuntikkan saluran infus, cara ia menguatkan infus tersebut dengan plester
agar menempel baik di pergelangan tangan kanan saya. Semua cara yang ia lakukan
kasar. Malam itu saya menangis. Merintih sakit. Bayangkan saja, untuk
menggerakan tangan sedikit saja, saya kesakitan. Bukankah ada yang salah dengan
infus saya? Kembaran saya pun menenangkan saya. Menyarankan untuk mengganti
infus besok pagi jika sakit masih dirasa. Keesokannya pun saya memanggil suster
lain untuk mengganti infus saya karena sakit tak kunjung hilang.
Banyak pelajaran yang saya dapat ketika saya berada
dalam ruang perawatan itu selama 5 hari. Untuk makan teratur, untuk tidur
teratur, untuk menghargai kesehatan, dan untuk sadar bahwa ada orang-orang yang
selama ini saya tak indahkan adalah mereka yang benar-benar peduli. Yang
pertama kali bertanya 'Kamu sakit apa?' Yang kemudian mengirimkan doa klasik
'Semoga cepat sembuh.' Yang kemudian bertanya 'Dirawat di mana?' Yang kemudian
membuat saya sadar, bahu mereka yang seharusnya saya cari ketika saya butuh
tempat untuk bersandar. Benar kata kak @tlvi, bahwa sakit adalah kesempatan
terbaik untuk tau siapa yang paling pengertian.
Terima kasih buat kamu yang sudah setia menjenguk
setiap hari, memberi support, atau
setidaknya untuk menemani. Terima kasih buat teman-teman yang sudah
menyempatkan waktu menjenguk, sekedar berbagi cerita lucu untuk menghibur.
Terima kasih untuk saudara dan juga terima kasih buat mention-mention di
Twitter yang mendoakan saya agar cepat sembuh. Saya di sini, bisa menulis ini,
bisa sembuh, apa lagi kalau bukan karena doa dari kalian? Wish Allah always be with
you, all. Amen. :)
Jakarta, 27 Juli 2012.
benar memang, saat sakit itulah ketahuan mana sahabat yang sebenarnya dan bukan :)
ReplyDelete