Tuesday, April 15, 2014

Untitled

“Angga?”
“Fira?”
Setelah beberapa detik menyadari bahwa mereka saling kenal, Angga dan Fira pun saling berpelukan. Tak lama Fira pun melepaskan pelukan Angga karena menyadari di ujung sana ada yang memantaunya.
“Gila! Apa kabar lo? Gue pikir lo udah diambil negara sebelah. Ngapain lo di kampus gue?” Fira memandangi Angga dari ujung kepala hingga kaki sambil memegang bahu Angga erat. Ia menyadari begitu banyak perubahan pada diri Angga.
“Baik, Ceuk! Lo sendiri gimana? Ada urusan nih, Ceuk!” balasnya dengan suara sedikit cempreng.
“Sejak kapan suara lo berubah jadi sopran? Hahaha!” bukannya menjawab pertanyaan, Fira malah menggoda Angga.
“Yeee…lo mah!”
“Eh, gue duluan, ya! Udah ditungguin temen. Salam sama nyokap, ya!” Fira pun segera berpamitan karena yang sejak tadi memantaunya sudah mengubah gaya berdirinya dari bersandar pada tiang menjadi tegap dan melipat tangan di depan dadanya.
“Iya. Hati-hati di jalan, ya. Salam juga sama nyokap lo.” Angga pun melambaikan tangannya dengan gemulai.

Saat mereka masih duduk di bangku SMP, Angga sempat mengagumi Fira. Kedua orang tua mereka berkerabat erat. Ayah Angga menaruh saham pada perusahaan milik orang tua Fira. Setiap hari, Angga dan Fira selalu pulang sekolah bersama. Jika supir Fira tidak menjemput, maka supir Angga yang akan mengantarnya, begitu sebaliknya. Kejadian itu berlangsung hingga mereka duduk di bangku SMA.

***

Setelah meninggalkan Angga, Fira segera berlari menuju mobil orang yang sejak tadi memantaunya saat ia berbincang hangat dengan kawan lamanya.
“Randi, tungguin! Hhh…” napas Fira tersengal-sengal karena mengejar Randi yang berjalan cepat dengan langkah lebar. Saat Fira membuka pintu, ia mendapati seorang wanita duduk di bangku co-supir tempat di mana seharusnya ia duduk; di samping Randi.
“Lha? Kok lo, Si?” tanya Fira bingung.
“Aku yang suruh Sisi duduk di situ. Kamu duduk di belakang aja sama Dinda,” jawab Randi ketus tanpa sedikit pun menoleh pada Fira.
Fira yang tidak suka diperlakukan seperti itu oleh kekasihnya, berlari meninggalkan tempat menuju ke dalam kampus.
“Ran, lo kok tega sama Fira?” Dinda menegur tersangka.
“Kejar, gih!” Sisi memerintahkan Randi pertanda setuju dengan pendapat Dinda.
“Biarin, deh. Gue lagi kesel sama dia,” jawab Randi dengan santainya.
“Lo jangan kayak anak kecil, ah, Ran. Gue emang gak tau masalah kalian berdua apa, tapi kan bisa diselesaikan baik-baik. Gak ngelibatin kita begini. Kita yang jadinya gak enak ke Fira nanti. Apalagi si Sisi, tuh.” Dinda mencoba menasihati Randi sambil mencubit roti yang dibelinya di kantin.
“Udah biarin aja. Nanti juga dia balik lagi,” ucap Randi lagi-lagi dengan santainya.
“Ran, itu Fira bukannya?” tanya Sisi sambil menepuk-nepuk bahu Randi.
“Hah? Mana?” tanya Randi kembali sambil mencari keberadaan orang yang dimaksud.
“Itu, Ran,” Sisi menunjuk ke arah jam 1.
“Eh, iya. Itu Fira, Ran. Dia ngapain bawa motor kakaknya? Kejar, Ran!” tambah Dinda.
Randi pun mulai menyalakan mobilnya, tetapi tak berhasil.
“Duh, kenapa lagi nih mobil?!” gerutu Randi.
“Coba pelan-pelan,” saut Sisi menenangkan.
Setelah mobil berhasil menyala, Randi pun segera meninggalkan parkiran mobil mahasiswa dan mengejar Fira.
“Kita kehilangan jejak Fira, Ran. Ke mana, nih?” tanya Sisi bingung.
“Lo tau gak tempat biasa Fira lari kalau lagi ada masalah atau pas kalian lagi berantem kayak gini?” Dinda menambahkan.
“Hmmm… Dulu, sih. Dulu banget, kalau dia lagi kacau, dia pasti adu balap. Tapi dia udah lama juga janji sama gue gak akan ikut balapan lagi. Apa gue tanya Mas Dimas aja ya?”
“Boleh, tuh. Tadi dia ke dalam kampus pasti nemuin Dimas, sih. Minjem motor. Kali aja dia tau tujuan Fira,” balas Dinda menyetujui.

Randi pun segera mengambil handphone yang disimpan di saku celana denimnya kemudian menuju kolom kontak dan menekan simbol telepon. Tak lama dari itu, Randi pun terhubung dengan Dimas.

“Halo. Mas Dimas ini Randi. Fira tadi pakai motor mau ke mana ya?”
“Dia gak bilang pastinya mau ke mana, sih. Cuma bilang mau ke daerah deket kampus. Terus urgent, makanya sampai pake motor. Gue tadi lagi makan. Gak fokus juga dengerin Fira. Emang dia gak bilang sama lo?”
“Gak mungkin deket sih, Mas. Ini aku udah di Jalan Surabaya. Kehilangan jejak Fira. Mas Dimas bisa nyusul ke sini gak? Sama Aldo atau naik taksi. Nanti aku yang tanggung, deh.”
“Kenapa, sih, Ran?”
“Nanti aja di sini diceritainnya, Mas.”
“Ok. Gue ke sana.” Dimas pun berdiri dari meja kantin sambil menyeruput sisa-sisa es teh manisnya dan kemudian bergegas keluar kampus.

***

“Woi, Fira! Udah lama gak ke sini. Ke mana aja lo?” tanya salah satu orang berjaket kulit hitam sambil menepuk bahu Fira dan menyalaminya.
“Hehehe. Mulai jam berapa?” Fira tak menjawab pertanyaan si orang berjaket kulit hitam itu.
“Bentar lagi. Siap-siap ya. Udah oke kan?”
“Udah, sih. Semoga. Baru nyoba tadi,” balas Fira.
Tak lama setelah percakapan itu deru motor besar saling beradu. Balapan motor adalah salah satu pelarían Fira saat ada masalah. Baginya, masalah-masalah yang ia hadapi akan terbang bersama deru angin dan suara motor yang bising.

***

“Mas Dimaaas!” teriak Randi sambil melambaikan tangan.
Yang dipanggil pun segera turun dari motor, memberikan sepeser uang kepada pengemudi, dan menyebrang menghampiri yang meneriakinya.
“Hey! Kenapa, sih, Ran?” tanyanya penasaran.
“Mas Dimas masuk dulu, deh.”
“Gue pindah belakang aja, Ran. Biar Dimas di sini,” ujar Sisi inisiatif.
“Kenapa? Coba jelasin,” Dimas bertanya sambil memposisikan duduknya dan menutup pintu mobil.
“Tadi aku berantem sama Fira, terus Fira lari ke dalam kampus, dan pas kita nunggu di mobil, kita lihat dia udah bawa motor Mas Dimas. Nah, pas aku mau ngejar, mobil sempat gak mau nyala. Eh, kehilangan jejak, deh. Aku mau tanya sama Mas Dimas. Mas Dimas tau gak Fira ke mana biasanya? I have no idea,” jelas Randi dengan singkat.
“Ikutin petunjuk arah gue.” Dimas memberi perintah sambil memandang lurus ke depan.

***
Begitu sampai di tempat yang Dimas maksud, Dimas menghampiri salah satu temannya yang memakai jaket kulit berwarna hitam. Dimas berjabat tangan sambil menepuk bahu temannya itu.
“Cen, adek gue ke sini gak?”
“Iya tadi ada, Bang. Tapi…”
“Tapi kenapa?” belum selesai Ocen menjelaskan, Dimas terlebih dulu memotongnya.
“Tapi pas lap ke-2 gak sampe finisih. Kita baru aja beres. Udah ada dua orang patroli sih, Bang,” jelas Ocen.
Dimas menengok ke arah Randi yang menunggu jawaban sambil berdiri lemas di antara Sisi dan Dinda. Dimas pun menghampiri Randi.
“Fira balapan lagi. Tapi sekarang ngilang. Dua orang lagi patroli nyari Fira.” Dimas menjelaskan dengan santainya.
“Hah? Hilang? Mas! Cari yuk, Mas! Yuk, sekarang.” rengek Randi seperti anak kecil.
“Cen, telepon dua orang yang patroli. Suruh balik ke sini aja. Gue sama Randi aja yang cari Fira,” perintah Dimas dengan suara sedikit teriak karena yang diajak bicara letaknya agak jauh darinya. Sedang yang diperintahkan hanya memberi acungan jempol tanda akan menjalankan perintah.
Sepanjang jalur balapan, Randi yang duduk di tempat co-supir hanya menutup mukanya sambil sesekali merebahkan kepalanya pada bantal kursi mobil. Keadaan mobil pun sangat hening. Tidak ada suara yang keluar dari bibir Dimas ataupun Randi, apalagi dari radio dalam mobil. Setelah 10 menit menelusuri jalan, Dimas meminggirkan mobil.
“Udah sampai, Mas?”
“Lo ke atas. Gue tunggu di sini,” jawab Dimas dengan singkat, padat, dan jelas.
Dimas pun turun dari mobil dan menelusuri jalan yang bahkan ia tak tahu. Ia menaiki anak tangga demi anak tangga. Ia sempat berhenti sejenak dan melihat ke arah bawah. Ia menemukan ada motor besar milik Dimas terparkir di sana.
“Firaaa…” ucapnya lirih.
Ia pun sampai di bagian teratas. Sebuah rooftop rumah yang sangat luas. Di ujung kanan terdapat torrent berwarna oranye dan tepat 15 meter di hadapannya ada seorang yang tak asing bagi dirinya. Randi menghampiri dengan langkah kaki yang hati-hati. Ia tidak ingin mengganggu Fira yang sedang termenung. Ia pun duduk di samping Fira, namun tidak menyapanya. Fira pun hanya diam. Padahal ia pasti menyadari kedatangan kekasihnya, Randi.
Matahari akan berganti shift dengan bulan. Awan berubah warna menjadi gradasi ungu, oranye, dan merah. Hari sudah akan berganti malam dan mereka berdua masih sama-sama berdampingan dalam diam.
“Fir.” Randi memecah keheningan. Namun, yang dipanggil bergeming.
“Firani Amelia Saputri…” sekali lagi ia berusaha memanggil dan berharap mendapatkan respon. Kali ini, yang dipanggil menoleh. Hanya menoleh tanpa menyapa kembali. Pandangannya tajam menatap Randi.
“Fira jangan gitu, dong.” Randi memohon dengan gaya khasnya yang menyerupai anak umur 5 tahun. Biasanya, Fira luluh, tetapi kali ini tidak.
“Hah? Apa?” Fira bukan tidak mendengar. Ia hanya ingin lawan bicaranya mengubah apa yang diucapkan sebelumnya.
“Cowok mana yang gak kesel liat pacarnya pelukan sama cowok lain?” Randi mengajukan pertanyaan yang lebih mengarah sindiran kepada Fira.
“Cewek mana yang gak kesel liat tempat duduk yang biasa menjadi tempatnya didudukin sama cewek lain?” Fira pun membalasnya.
“Kamu udah janji sama aku gak akan balapan, Fir.”
“Gak usah ngalihin pembicaraan!” Fira menggertak Randi.
“Tapi kan kamu yang duluan pelukan sama cowok lain,” Randi pun kembali pada topik dan berusaha membela diri.
“Hahaha. Why are you so childish, my-sweety-pie?!” Fira menekankan tiga kata terakhir yang diucapkannya.
“Jawab, Fir. Itu kan cowok yang pernah suka sama kamu. Kamu tuh mikirin perasaan pacar gak, sih?”
“Lantas lo mikirin gak perasaan gue pas buka pintu dan liat ada cewek lain meskipun temen gue sendiri dan gue disuruh duduk di belakang dengan semena-menanya lo?” tak sedikit pun Fira menatap Randi saat mengajukan pertanyaan dari hatinya itu, “Ran, Angga itu sahabat gue dari SD. Orang tuanya Angga itu koleganya Ayah-Bunda. Dan kalau memang dia pernah suka sama gue, apa masalahnya sama kehidupan gue sekarang? Kalaupun dia pernah ngejar-ngejar gue sampai SMA, apa masalahnya sama kehidupan gue sekarang? Perasaan gue ke lo gak selemah karbon pensil yang bisa dihapus, Ran. Gak sepicik itu juga otak gue pelukan dengan orang yang ada affair sama gue depan pacar gue sendiri. Gue tau lo ada di ujung sana nungguin gue. Gue justru kaget lihat perubahan Angga yang sekarang. Prihatin.” Fira menjelaskan panjang lebar.
“Emang kamu rela kalau aku pelukan sama sahabat cewek aku yang tomboy?”
“Ran, jangan bego, deh! Ya terserah lo, lah! Gue capek ngehadapin cowok yang dikit-dikit ngambek, dikit-dikit ngambek.” Fira pun segera berdiri dari tempat ia duduk. Randi pun segera meraih tangannya. Randi pun berdiri dan memeluknya.
“Aku terlalu sayang kamu, Fir. Aku cuma gak suka ada cowok lain yang seenaknya meluk kamu kayak gitu. Udah yah jangan marah lagi? Maafin aku.” Randi mencium ujung kepala Fira. Namun, yang dipeluknya hanya diam dengan posisi tangan di samping badannya sendiri. Fira tak sedikit pun merespon sentuhan hangat Randi.
“Aku capek, Ran kalau kamu terus-terusan bersikap kayak gini. Aku gak pernah kan Ran gak maafin kamu? Tapi kamu selalu anggap maaf yang aku kasih itu gampang kamu dapetin sehingga kamu akan melakukan kesalahan yang sama lagi dan lagi.” Fira melepaskan tubuhnya dari pelukan Randi dan berjalan ke ujung rooftop. Ia menghirup udara sore yang adem dan menemukan ketenangan di situ. Sementara yang diajak bicara masih terdiam, Fira melanjutkan ucapannya.
“Kurang berkorban apa sih gue ke lo, Ran? Gue udah menjauh dari teman-teman cowok gue, teman balapan gue, karena lo dan gue terima. Gue tolak ajakan mereka jalan atau sekedar nongkrong dan makan, gue dibilang sombong karena udah punya pacar, dibilang ini-itu, karena lo dan gue terima. Gue sekarang gak punya pelarían kalau ada masalah, karena lo dan gue terima. Cuma karena gue ketemu temen lama gue dan peluk kangen sewajarnya teman lama, terus lo memperlakukan gue kayak tadi? Coba lebih rasional lagi mikirnya. Jangan Cuma mikirin ego lo aja. Dan turunin sedikit kadar sensitive di diri lo.”
“Aku udah berusaha berubah. Kenapa sih kamu selalu ngilang-ngilangin itu?” emosi Randi perlahan naik.
“Oia. Ini bukan sekali kamu perlakuin aku kayak tadi loh, Ran. Mungkin gak sama persis. Tapi, ya… Cewek mana yang gak sakit kalau dia gak diprioritaskan?” Fira tersenyum.
“Tapi, Fir.”
“Aku sayang kamu, Randi. Tapi aku gak mau dungu dengan nyakitin diri aku sendiri.”
“Fir… FIRA…!”

Fira pun meninggalkan rooftop dan membiarkan Randi termenung sendirian. Perpisahan memang bukan selalu karena sudah tak sayang ataupun cinta dan bertahan pun bukan selalu karena masih ada rasa itu.

No comments:

Post a Comment