“Angga?”
“Fira?”
Setelah beberapa detik menyadari bahwa
mereka saling kenal, Angga dan Fira pun saling berpelukan. Tak lama Fira pun
melepaskan pelukan Angga karena menyadari di ujung sana ada yang memantaunya.
“Gila! Apa kabar lo? Gue pikir lo udah diambil
negara sebelah. Ngapain lo di kampus gue?” Fira memandangi Angga dari ujung
kepala hingga kaki sambil memegang bahu Angga erat. Ia menyadari begitu banyak
perubahan pada diri Angga.
“Baik, Ceuk!
Lo sendiri gimana? Ada urusan nih, Ceuk!”
balasnya dengan suara sedikit cempreng.
“Sejak kapan suara lo berubah jadi sopran?
Hahaha!” bukannya menjawab pertanyaan, Fira malah menggoda Angga.
“Yeee…lo mah!”
“Eh, gue duluan, ya! Udah ditungguin
temen. Salam sama nyokap, ya!” Fira pun segera berpamitan karena yang sejak
tadi memantaunya sudah mengubah gaya berdirinya dari bersandar pada tiang
menjadi tegap dan melipat tangan di depan dadanya.
“Iya. Hati-hati di jalan, ya. Salam juga
sama nyokap lo.” Angga pun melambaikan tangannya dengan gemulai.
Saat mereka masih duduk di bangku SMP, Angga
sempat mengagumi Fira. Kedua orang tua mereka berkerabat erat. Ayah Angga
menaruh saham pada perusahaan milik orang tua Fira. Setiap hari, Angga dan Fira
selalu pulang sekolah bersama. Jika supir Fira tidak menjemput, maka supir
Angga yang akan mengantarnya, begitu sebaliknya. Kejadian itu berlangsung
hingga mereka duduk di bangku SMA.
***
Setelah meninggalkan Angga, Fira segera berlari
menuju mobil orang yang sejak tadi memantaunya saat ia berbincang hangat dengan
kawan lamanya.
“Randi, tungguin! Hhh…” napas Fira tersengal-sengal karena mengejar Randi yang berjalan
cepat dengan langkah lebar. Saat Fira membuka pintu, ia mendapati seorang
wanita duduk di bangku co-supir
tempat di mana seharusnya ia duduk; di samping Randi.
“Lha? Kok lo, Si?” tanya Fira bingung.
“Aku yang suruh Sisi duduk di situ. Kamu
duduk di belakang aja sama Dinda,” jawab Randi ketus tanpa sedikit pun menoleh
pada Fira.
Fira yang tidak suka diperlakukan seperti
itu oleh kekasihnya, berlari meninggalkan tempat menuju ke dalam kampus.
“Ran, lo kok tega sama Fira?” Dinda
menegur tersangka.
“Kejar, gih!” Sisi memerintahkan Randi pertanda setuju dengan pendapat
Dinda.
“Biarin, deh. Gue lagi kesel sama dia,”
jawab Randi dengan santainya.
“Lo jangan kayak anak kecil, ah, Ran. Gue
emang gak tau masalah kalian berdua apa, tapi kan bisa diselesaikan baik-baik.
Gak ngelibatin kita begini. Kita yang jadinya gak enak ke Fira nanti. Apalagi
si Sisi, tuh.” Dinda mencoba menasihati Randi sambil mencubit roti yang
dibelinya di kantin.
“Udah biarin aja. Nanti juga dia balik
lagi,” ucap Randi lagi-lagi dengan santainya.
“Ran, itu Fira bukannya?” tanya Sisi sambil
menepuk-nepuk bahu Randi.
“Hah? Mana?” tanya Randi kembali sambil
mencari keberadaan orang yang dimaksud.
“Itu, Ran,” Sisi menunjuk ke arah jam 1.
“Eh, iya. Itu Fira, Ran. Dia ngapain bawa
motor kakaknya? Kejar, Ran!” tambah Dinda.
Randi pun mulai menyalakan mobilnya,
tetapi tak berhasil.
“Duh, kenapa lagi nih mobil?!” gerutu
Randi.
“Coba pelan-pelan,” saut Sisi menenangkan.
Setelah mobil berhasil menyala, Randi pun
segera meninggalkan parkiran mobil mahasiswa dan mengejar Fira.
“Kita kehilangan jejak Fira, Ran. Ke mana,
nih?” tanya Sisi bingung.
“Lo tau gak tempat biasa Fira lari kalau
lagi ada masalah atau pas kalian lagi berantem kayak gini?” Dinda menambahkan.
“Hmmm… Dulu, sih. Dulu banget, kalau dia
lagi kacau, dia pasti adu balap. Tapi dia udah lama juga janji sama gue gak
akan ikut balapan lagi. Apa gue tanya Mas Dimas aja ya?”
“Boleh, tuh. Tadi dia ke dalam kampus
pasti nemuin Dimas, sih. Minjem motor. Kali aja dia tau tujuan Fira,” balas
Dinda menyetujui.
Randi pun segera mengambil handphone yang disimpan di saku celana
denimnya kemudian menuju kolom kontak dan menekan simbol telepon. Tak lama dari
itu, Randi pun terhubung dengan Dimas.
“Halo. Mas Dimas ini Randi. Fira tadi
pakai motor mau ke mana ya?”
“Dia gak bilang pastinya mau ke mana, sih.
Cuma bilang mau ke daerah deket kampus. Terus urgent, makanya sampai pake motor. Gue tadi lagi makan. Gak fokus
juga dengerin Fira. Emang dia gak bilang sama lo?”
“Gak mungkin deket sih, Mas. Ini aku udah
di Jalan Surabaya. Kehilangan jejak Fira. Mas Dimas bisa nyusul ke sini gak?
Sama Aldo atau naik taksi. Nanti aku yang tanggung, deh.”
“Kenapa, sih, Ran?”
“Nanti aja di sini diceritainnya, Mas.”
“Ok. Gue ke sana.” Dimas pun berdiri dari
meja kantin sambil menyeruput sisa-sisa es teh manisnya dan kemudian bergegas
keluar kampus.
***
“Woi, Fira! Udah lama gak ke sini. Ke mana
aja lo?” tanya salah satu orang berjaket kulit hitam sambil menepuk bahu Fira
dan menyalaminya.
“Hehehe. Mulai jam berapa?” Fira tak
menjawab pertanyaan si orang berjaket kulit hitam itu.
“Bentar lagi. Siap-siap ya. Udah oke kan?”
“Udah, sih. Semoga. Baru nyoba tadi,”
balas Fira.
Tak lama setelah percakapan itu deru motor
besar saling beradu. Balapan motor adalah salah satu pelarían Fira saat ada
masalah. Baginya, masalah-masalah yang ia hadapi akan terbang bersama deru
angin dan suara motor yang bising.
***
“Mas Dimaaas!” teriak Randi sambil
melambaikan tangan.
Yang dipanggil pun segera turun dari
motor, memberikan sepeser uang kepada pengemudi, dan menyebrang menghampiri
yang meneriakinya.
“Hey! Kenapa, sih, Ran?” tanyanya
penasaran.
“Mas Dimas masuk dulu, deh.”
“Gue pindah belakang aja, Ran. Biar Dimas
di sini,” ujar Sisi inisiatif.
“Kenapa? Coba jelasin,” Dimas bertanya
sambil memposisikan duduknya dan menutup pintu mobil.
“Tadi aku berantem sama Fira, terus Fira lari
ke dalam kampus, dan pas kita nunggu di mobil, kita lihat dia udah bawa motor
Mas Dimas. Nah, pas aku mau ngejar, mobil sempat gak mau nyala. Eh, kehilangan
jejak, deh. Aku mau tanya sama Mas Dimas. Mas Dimas tau gak Fira ke mana
biasanya? I have no idea,” jelas
Randi dengan singkat.
“Ikutin petunjuk arah gue.” Dimas memberi
perintah sambil memandang lurus ke depan.
***
Begitu sampai di tempat yang Dimas maksud,
Dimas menghampiri salah satu temannya yang memakai jaket kulit berwarna hitam.
Dimas berjabat tangan sambil menepuk bahu temannya itu.
“Cen, adek gue ke sini gak?”
“Iya tadi ada, Bang. Tapi…”
“Tapi kenapa?” belum selesai Ocen
menjelaskan, Dimas terlebih dulu memotongnya.
“Tapi pas lap ke-2 gak sampe finisih.
Kita baru aja beres. Udah ada dua orang patroli sih, Bang,” jelas Ocen.
Dimas menengok ke arah Randi yang menunggu
jawaban sambil berdiri lemas di antara Sisi dan Dinda. Dimas pun menghampiri
Randi.
“Fira balapan lagi. Tapi sekarang ngilang.
Dua orang lagi patroli nyari Fira.” Dimas menjelaskan dengan santainya.
“Hah? Hilang? Mas! Cari yuk, Mas! Yuk,
sekarang.” rengek Randi seperti anak kecil.
“Cen, telepon dua orang yang patroli.
Suruh balik ke sini aja. Gue sama Randi aja yang cari Fira,” perintah Dimas
dengan suara sedikit teriak karena yang diajak bicara letaknya agak jauh
darinya. Sedang yang diperintahkan hanya memberi acungan jempol tanda akan
menjalankan perintah.
Sepanjang jalur balapan, Randi yang duduk
di tempat co-supir hanya menutup
mukanya sambil sesekali merebahkan kepalanya pada bantal kursi mobil. Keadaan
mobil pun sangat hening. Tidak ada suara yang keluar dari bibir Dimas ataupun
Randi, apalagi dari radio dalam mobil. Setelah 10 menit menelusuri jalan, Dimas
meminggirkan mobil.
“Udah sampai, Mas?”
“Lo ke atas. Gue tunggu di sini,” jawab
Dimas dengan singkat, padat, dan jelas.
Dimas pun turun dari mobil dan menelusuri
jalan yang bahkan ia tak tahu. Ia menaiki anak tangga demi anak tangga. Ia
sempat berhenti sejenak dan melihat ke arah bawah. Ia menemukan ada motor besar
milik Dimas terparkir di sana.
“Firaaa…” ucapnya lirih.
Ia pun sampai di bagian teratas. Sebuah rooftop rumah yang sangat luas. Di ujung
kanan terdapat torrent berwarna
oranye dan tepat 15 meter di hadapannya ada seorang yang tak asing bagi
dirinya. Randi menghampiri dengan langkah kaki yang hati-hati. Ia tidak ingin
mengganggu Fira yang sedang termenung. Ia pun duduk di samping Fira, namun
tidak menyapanya. Fira pun hanya diam. Padahal ia pasti menyadari kedatangan
kekasihnya, Randi.
Matahari akan berganti shift dengan bulan. Awan berubah warna
menjadi gradasi ungu, oranye, dan merah. Hari sudah akan berganti malam dan
mereka berdua masih sama-sama berdampingan dalam diam.
“Fir.” Randi memecah keheningan. Namun,
yang dipanggil bergeming.
“Firani Amelia Saputri…” sekali lagi ia
berusaha memanggil dan berharap mendapatkan respon. Kali ini, yang dipanggil
menoleh. Hanya menoleh tanpa menyapa kembali. Pandangannya tajam menatap Randi.
“Fira jangan gitu, dong.” Randi memohon
dengan gaya khasnya yang menyerupai anak umur 5 tahun. Biasanya, Fira luluh,
tetapi kali ini tidak.
“Hah? Apa?” Fira bukan tidak mendengar. Ia
hanya ingin lawan bicaranya mengubah apa yang diucapkan sebelumnya.
“Cowok mana yang gak kesel liat pacarnya
pelukan sama cowok lain?” Randi mengajukan pertanyaan yang lebih mengarah sindiran
kepada Fira.
“Cewek mana yang gak kesel liat tempat duduk
yang biasa menjadi tempatnya didudukin sama cewek lain?” Fira pun membalasnya.
“Kamu udah janji sama aku gak akan
balapan, Fir.”
“Gak usah ngalihin pembicaraan!” Fira
menggertak Randi.
“Tapi kan kamu yang duluan pelukan sama
cowok lain,” Randi pun kembali pada topik dan berusaha membela diri.
“Hahaha. Why are you so childish, my-sweety-pie?!” Fira menekankan tiga kata
terakhir yang diucapkannya.
“Jawab, Fir. Itu kan cowok yang pernah
suka sama kamu. Kamu tuh mikirin perasaan pacar gak, sih?”
“Lantas lo mikirin gak perasaan gue pas
buka pintu dan liat ada cewek lain meskipun temen gue sendiri dan gue disuruh
duduk di belakang dengan semena-menanya lo?” tak sedikit pun Fira menatap Randi
saat mengajukan pertanyaan dari hatinya itu, “Ran, Angga itu sahabat gue dari
SD. Orang tuanya Angga itu koleganya Ayah-Bunda. Dan kalau memang dia pernah
suka sama gue, apa masalahnya sama kehidupan gue sekarang? Kalaupun dia pernah
ngejar-ngejar gue sampai SMA, apa masalahnya sama kehidupan gue sekarang?
Perasaan gue ke lo gak selemah karbon pensil yang bisa dihapus, Ran. Gak sepicik
itu juga otak gue pelukan dengan orang yang ada affair sama gue depan pacar gue sendiri. Gue tau lo ada di ujung
sana nungguin gue. Gue justru kaget lihat perubahan Angga yang sekarang.
Prihatin.” Fira menjelaskan panjang lebar.
“Emang kamu rela kalau aku pelukan sama sahabat
cewek aku yang tomboy?”
“Ran, jangan bego, deh! Ya terserah lo,
lah! Gue capek ngehadapin cowok yang dikit-dikit ngambek, dikit-dikit ngambek.”
Fira pun segera berdiri dari tempat ia duduk. Randi pun segera meraih
tangannya. Randi pun berdiri dan memeluknya.
“Aku terlalu sayang kamu, Fir. Aku cuma
gak suka ada cowok lain yang seenaknya meluk kamu kayak gitu. Udah yah jangan
marah lagi? Maafin aku.” Randi mencium ujung kepala Fira. Namun, yang
dipeluknya hanya diam dengan posisi tangan di samping badannya sendiri. Fira
tak sedikit pun merespon sentuhan hangat Randi.
“Aku capek, Ran kalau kamu terus-terusan
bersikap kayak gini. Aku gak pernah kan Ran gak maafin kamu? Tapi kamu selalu
anggap maaf yang aku kasih itu gampang kamu dapetin sehingga kamu akan
melakukan kesalahan yang sama lagi dan lagi.” Fira melepaskan tubuhnya dari
pelukan Randi dan berjalan ke ujung rooftop. Ia menghirup udara sore yang adem
dan menemukan ketenangan di situ. Sementara yang diajak bicara masih terdiam,
Fira melanjutkan ucapannya.
“Kurang berkorban apa sih gue ke lo, Ran?
Gue udah menjauh dari teman-teman cowok gue, teman balapan gue, karena lo dan
gue terima. Gue tolak ajakan mereka jalan atau sekedar nongkrong dan makan, gue
dibilang sombong karena udah punya pacar, dibilang ini-itu, karena lo dan gue
terima. Gue sekarang gak punya pelarían kalau ada masalah, karena lo dan gue
terima. Cuma karena gue ketemu temen lama gue dan peluk kangen sewajarnya teman
lama, terus lo memperlakukan gue kayak tadi? Coba lebih rasional lagi mikirnya.
Jangan Cuma mikirin ego lo aja. Dan turunin sedikit kadar sensitive di diri lo.”
“Aku udah berusaha berubah. Kenapa sih
kamu selalu ngilang-ngilangin itu?” emosi Randi perlahan naik.
“Oia. Ini bukan sekali kamu perlakuin aku
kayak tadi loh, Ran. Mungkin gak sama persis. Tapi, ya… Cewek mana yang gak
sakit kalau dia gak diprioritaskan?” Fira tersenyum.
“Tapi, Fir.”
“Aku sayang kamu, Randi. Tapi aku gak mau
dungu dengan nyakitin diri aku sendiri.”
“Fir…
FIRA…!”
Fira pun meninggalkan rooftop dan membiarkan Randi termenung sendirian. Perpisahan memang
bukan selalu karena sudah tak sayang ataupun cinta dan bertahan pun bukan
selalu karena masih ada rasa itu.
No comments:
Post a Comment