Thursday, April 4, 2013

Moved On? Really?

Siang saat Jakarta sedang panas-panasnya, aku memasuki sebuah gedung tinggi di kawasan Semanggi. Aku berjalan melewati metal detector, tersenyum simpul pada satpam, kemudian berjalan ke arah kanan memasuki lorong. Aku terus berjalan hingga akhirnya aku bertemu dengan lift-lift yang berjajar yang akan mengantarkan pengunjung hingga ke lantai 10. Aku terus menunggu hingga layar di atas lift menunjukkan huruf UG.
TINGGG!!!
Satu lampu menyala pada lift ketiga yang terletak di jalur kiri. Lift itu pun terbuka. Aku, dua pasang muda-mudi, dan pasangan muda suami-istri yang membawa stroller pun memasuki lift tersebut. Kemudian, aku menekan tombol 10. Setelah lift terbuka di lantai 10 aku berjalan ke arah kanan, melewati For Us Café, Radja Ketjil Restaurant, menuju tempat di mana seseorang telah menungguku. Aku melihat jam digital di tangan kiriku. Ah! Sudah terlambat 10 menit. Aku mempercepat langkahku.
“Maaf ya aku terlambat 10 menit. Mobilku masuk bengkel. Tadi ngadat tiba-tiba. Ini aku naik umum. Udah lama nunggu ya?” aku menjelaskan alasan keterlambatanku sesampainya aku di Bricks Kitchen & Lounge Plaza Semanggi (Plangi).
“Gak kok. Aku juga baru sampai beberapa menit yang lalu. Pesen minum, gih. Pasti haus banget deh, Gas,” ia berusaha menenangkanku yang terlihat sangat merasa bersalah. Aku tidak biasa datang terlambat. Biasanya, aku datang 10-15 menit sebelum waktu yang telah ditentukan. Namun, kali ini tidak, untuk pertemuan spesial dengan wanita yang mungkin akan menjadi orang spesial di hidupku pula. Ah! Semoga ia tidak menyimpan kesal kepadaku.
Keadaan hening sejenak. Aku mengambil sebatang Mild-ku dan menyulutnya dengan lighter. Aku pun merasa sedikit tenang ketika asap rokok menari-menari di depan wajahku. Di hadapanku, Nadia sedang menatap gedung-gedung pencakar langit yang terlihat jelas dari tempat kami duduk, sambil tak henti melahap french fries dan mencecahnya ke saus tomat.
“Gak usah jaim gitu, nyocol ke saus tomatnya dikit-dikit. Aku udah tau kamu doyan banget sama saus tomat,” kataku memecah keheningan. Ia hanya nyengir menampakkan gigi-gigi putihnya yang berderet rapi.
“Aku tau kok kamu pernah ngegadoin saus tomat saking udah gak ada cemilan di rumah dan itu udah larut malam, jadi kamu gak bisa ke minimarket untuk beli cemilan. Iya kan?”  lanjutku membuka kartunya.
“Ih! Kamu tau dari mana? Atuhlah.” khasnya Nadia dan aku hanya tersenyum tanpa memperpanjang percakapan soal saus tomat.
Sambil melahap Long John Pizza, aku membuka percakapan lain seputar kesibukan Nadia. Aku memang tidak terlalu suka bercakap panjang lebar lewat media chatting ataupun telepon. Aku lebih suka berbicara langsung. Dengan itu, aku bisa menatap ekspresi lawan bicaraku saat menyimak atau menanggapiku.
“Gimana tulisan kamu, Nad? Udah ada tanggapan dari redaksi majalah?”
“Belum, nih. Minggu depan udah dua bulan sejak tulisan dikirim. Kalau misalnya gak ada email masuk, ya berarti tulisanku gak akan dimuat,” ia menjelaskan dengan antusias. Nadia memang gemar menulis cerita-cerita pendek. Seringnya, ia bagikan tulisan tersebut di blog pribadinya. Namun, beberapa bulan lalu ia mencoba untuk mengirimkan tulisannya ke majalah remaja ternama di Jakarta. Ingin menambah pengalaman dalam dunia menulis, katanya.
“Semoga ada email masuk dari redaksinya, ya. Tulisan yang kamu kirim ke majalah itu bagus, kok. Beda sama cerpen-cerpen di blog kamu sebelumnya,” aku memujinya jujur.
I’m at a payphone
Trying to call home
All of my…
“Bentar ya, Gas. Mama telepon,” suara merdu Adam Levine memotong percakapanku dengan Nadia. Ia pun berjalan agak menjauh untuk menerima telepon dari mamanya.
Sementara itu, aku melahap suapan pizza terakhirku. Selama Nadia menerima telepon, aku memikirkan bagaimana cara memulai mengungkapkan perasaanku kepadanya. Aku bukan baru kali pertama mengungkapkan perasaanku pada seorang wanita yang kusuka. Namun, dengan Nadia terasa berbeda. Mungkin karena aku jarang berkomunikasi dengannya, terutama melalui media chatting. Aku lebih banyak mengetahui tentangnya dari temanku yang adalah sahabatnya, Dara. Hebatnya, aku sudah bisa mendapatkan kenyamananku dengan Nadia hanya dengan dua kali pertemuan.
“Gas, aku harus pulang sekarang,” Nadia datang kembali dengan tergesa-gesa dan membuyarkan lamunanku.
“Loh kenapa?”
“Kakakku kan lagi hamil. Kata mama, dia udah mulai kontraksi gitu. Papa lagi gak ada di rumah, suaminya pun, dan mereka masih ada urusan di kantornya masing-masing. Takut terjadi apa-apa nanti gak ada kendaraan buat bawa ke rumah sakitnya, makanya aku disuruh pulang. Gak apa-apa kan? Maaf ya jadi kayak gini, Gas,” ia menjelaskannya panjang lebar.
“Yaudah gak apa-apa. Aku anterin kamu pulang ya. Biar aku yang nyetir sampe rumah kamu. Nanti dari rumah kamu gampang lah aku balik naik umum,” aku masih berusaha mencari kesempatan untuk mengungkapkan apa yang seharusnya memang aku ungkapkan hari ini.
“Gak ngerepotin, Gas?”
“Gak kok,” aku tersenyum padanya, kemudian memanggil pelayan Bricks untuk meminta bill.
***
Nadia memarkir mobilnya di lantai 9, jadi kami tidak menggunakan lift, dan turun melewati tangga di samping For Us Café. Nadia memberikan kunci mobilnya kepadaku, lalu menunjukkan di mana mobilnya diparkir. Aku pun membukakan pintu agar Nadia naik lebih dulu. Ia pun tersenyum kepadaku. Setelah aku masuk, aku langsung menyalakan mobil itu dengan menekan tombol start-stop engine. Namun, aku tidak langsung menekan gas mobil. Aku memilih untuk mendiamkannya terlebih dulu.
“Nad…,” aku memecah keheningan yang ada di antara kami berdua.
“Ya kenapa, Gas? Biasa pakai manual ya?”
“Bukan itu, Nadia,” aku tertawa kecil, kemudian menatapnya. Ia pun menatapku balik. Cukup lama kami saling memandang, hingga akhirnya aku membelai rambutnya, mendekatkan wajahku ke wajahnya, bersentuhan dengan bibir mungilnya, dan melumat bibir bawahnya. Tak terlihat rasa tak nyaman dari Nadia atas apa yang aku lakukan padanya. Kami berdua sama-sama terhanyut dalam suasana.
“Nad…,” aku melepaskan bibirku dari lumatan bibirnya.
“Ya, Gas?”
“Aku nyaman sama kamu dan gak mau hanya sebatas ini,” kalimat-kalimat indah nan panjang yang telah kurangkai sebelumnya melesap begitu saja. Hanya satu kalimat itu yang keluar dari bibirku.
“Aku pun, Gas,” lega sekali rasanya mendengar balasan pernyataan dari Nadia. Aku pun tersenyum dan mencium keningnya, ia pun membalas dengan belaian lembut di kepalaku.
***
Seminggu berlalu, tidak ada yang terlalu spesial dalam hubunganku dengan Nadia. Kami menjalani hubungan yang akur tanpa pertengkaran selayaknya pasangan baru. Hari ini, tepat seminggu aku bersamanya, aku mengajak Nadia menonton film Yes Man. Selain karena genre-nya yang komedi-romantis, pemeran utama dalam film ini adalah aktor favoritku, Jim Carrey. Nadia pasti suka dengan aksi-aksi konyol Carrey, pikirku.
Kami pun berjalan masuk ke Planet Hollywood (PH), menaiki tangga, lalu langsung menuju loket yang terletak di sebelah kiri. Aku memilih seat B 14 dan Nadia pada seat B 13. Waktu di jam tangan digitalku masih menunjukkan pukul 14.15 WIB, yang artinya masih satu jam lagi studio 1 tempat Yes Man diputar akan dibuka.
“Udah lama deh aku gak ke sini, Gas,” celetuk Nadia sambil merapikan poninya yang sedikit berantakan.
“Oh ya? Terakhir kapan emangnya?”
“Lupa sih pastinya kapan. Udah lama banget. Dulu aku sering banget ke sini sama Diaz. Bahkan Diaz yang ngasih tau aku bahwa ada bisokop yang senyaman PH ini. Begitu pertama kali ke sini aku langsung suka aja gitu, Gas. Cozy banget tempatnya. Udah gitu cuma khusus bioskop aja kan. Jadi lebih fokus. Aku dulu sering ngerayain anniversary ke sini sama Diaz. Favorit aku banget lah. Udah jarang ke sini tuh ya gegara gak ada yang ngajak nonton aja. Hahaha,” ia menjelaskan hal yang tak perlu dijelaskan dengan panjang lebar. Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya.


“Kamu mau yang caramel atau yang gurih?” aku mengalihkan pembicaraan dengan menawarinya popcorn untuk camilan di dalam bioskop.
“Caramel aja, Gas. Makasih yah,”
Hampir dua jam kami lalui dengan tertawa dalam studio karena ulah Carrey yang membuat film tersebut menjadi tidak garing. Di perjalanan pulang menuju rumah Nadia pun, kami masih saja tertawa membahas film Yes Man yang baru saja kami tonton. Aku selalu suka tawanya Nadia, renyah sekali.
“Makasih ya, Gas. Kamu tepat banget ngajak aku nonton Yes Man di bioskop favorit aku pula,” ia mencium pipiku sebagai tanda perpisahan.
“Sama-sama, Sayang. See you the day after tomorrow, yah,” aku membalas ciumannya di pipiku dengan kecupan di keningnya.
***
Hari Senin, jadwal kuliahku dan Nadia sama-sama lowong. Jadi, kami masih bisa menyempatkan diri untuk bertemu. Sabtu kemarin, sesudah menonton Yes Man di PH, Nadia sempat meminta untuk melanjutkan perjalanan ke Sabang. Ia ingin menyantap mie ayam favoritnya yang terletak di sebrang restoran Timur Tengah. Seselesainya urusanku di kampus, aku langsung menuju kampus Nadia yang terletak di kawasan Sudirman. Setelah menjemputnya, kami pun langsung menancap gas menuju tempat yang dimaksud.
“Yang, parkir di Sarinah aja ya. Aku ada urusan dulu sama orang Trax,” ujar Nadia sambil merapikan buku-buku kuliahnya dan menyimpannya ke jok belakang.
“Oke!” aku menjawab sambil mengangguk.
Setelah urusan Nadia selesai di lantai 8 Gedung Sarinah Thamrin tersebut, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan awal, yakni Mie Ayam Sabang, dengan berjalan kaki.
Kami pun berjalan menelusuri Jalan Wahid Hasyim, melewati para pedagang kaki lima di atas trotoar. Sesekali merundukkan kepala ketika ada ranting pohon yang sedikit menghalangi jalan. Tidak jarang para pengendara motor maupun orang dibalik setir dan kaca mobil memperhatikan aku dan Nadia. Aku dan Nadia adalah pasangan yang tidak sungkan untuk memperlihatkan kemesraan kami di depan khalayak ramai. Bagi beberapa orang mungkin terlihat aneh atau tidak etis. Namun, bukankah setiap orang punya cara masing-masing untuk menunjukkan rasa sayang terhadap pasangannya?
“Nad, sadar gak banyak yang memperhatikan kita?” tanyaku sambil terus merangkulnya.
“Sadar kok, Gas,” ia justru semakin erat melingkarkan tangannya ke pinggangku. Aku pun mencium rambutnya.
“Hahaha. Ih usil banget sih kamu malah makin mepet ke aku gitu.”
“Biarin, Gas. Biar makin iri mereka. Hahaha. Aku sering banget loh jalan di trotoar kayak gini. Aku suka menjadi pusat perhatian para pengendara motor, mobil, dan pedagang kaki lima,” ujarnya antusias.
“Kamu emang ngapain sampe diperhatiin sama orang-orang kayak gitu?”
“Ya kayak aku sama kamu gini, sama Diaz. Kita sering ngeledekin mereka yang ngeliatin kita. Lagian sirik aja sih sama orang lagi kasmaran. Hahaha,” ia menjelaskan dengan riang. Namun, aku enggan melanjutkannya. Kami pun menyebrang menuju Jalan H. Agus Salim. Perlahan aku melepaskan rangkulanku, meski Nadia masih memelukku erat. Baru setelah sampai di tempat tujuan, ia melepaskannya. Nadia pun memesan dua porsi mie ayam bakso, satu gelas susu soda untuknya, dan satu es teh manis untukku.
“Kenapa, Gas? Gak enak ya?” tanyanya khawatir melihatku yang hanya mengacak-ngacak mie dalam mangkuk.
“Ah, gak kok. Enak. Aku tetiba kenyang aja, Nad. Mungkin karena tadi minum cola pas di Sarinah kali ya?” kilahku.
“Yaudah kalau kamu gak abis nanti aku yang abisin ya,” ucapnya tanpa malu sambil nyengir. Aku sedang tidak gairah menanggapinya, meskipun saat itu Nadia sangat menggemaskan. Nadia pun kembali fokus dengan mie ayam di hadapannya dan siap sedia menyantap milikku juga.
***
Dua minggu dari kejadian di Sabang tempo hari, aku dan Nadia mulai sering bertengkar meributkan hal-hal yang sebenarnya tak perlu diributkan. Bisa dibilang, dua minggu itu adalah minggu-minggu terberat di hubungan kami yang baru seumur jagung. Kemarin malam, aku baru saja berdamai dengan Nadia. Sebagai permintaan maaf atas kesalahannya, Nadia berjanji menemaniku bermain sepak bola hari ini. Aku pun memang sudah berniat mengenalkan Nadia pada teman-temanku dan membawanya saat aku bermain sepak bola.
Aku membelokkan mobil ke arah Jalan HR Rasuna Said. Menekan pedal gas dalam-dalam, karena latihan sepak bola sudah akan dimulai. Tak lama kemudian aku sampai di Pasar Festival (Pafest, sekarang Plaza Festival). Aku memarkir mobilku di basement dan kemudian bergegas ke arah samping lapangan Soemantri ini untuk mengganti pakaian. Beberapa teman-temanku telah memasuki lapangan untuk melakukan pemanasan, beberapa lagi masih berada bersamaku. Aku pun mengenalkan Nadia kepada mereka yang berada di luar lapangan.
Bro, kenalin nih cewek gue,” ujarku.
“Hai. Aku Nadia,” Nadia menjabat tangan temanku satu-persatu sambil menyebutkan namanya.
“Hasyim.”
“Nadia.”
“Anton.”
“Nadia.”
“Bintang.”
“Udah-udah jangan lama-lama kenalannya. Pemanasan gih lo pada,” aku memotong perkenalan Nadia sambil bergurau.
“WOOO! Yang baru jadian sok!” Anton menyenggol lenganku sambil berjalan masuk ke lapangan.
“Hahaha. Nyusul, Bro.”
“Yoksip!” saut mereka dengan acungan jempol.
“Kamu mau nunggu di mana, Sayang? Di McD atau di GM aja. Jangan di sini. Ntar kamu digodain. Hahaha,”
“Aku nunggu di samping lapangan dulu aja. Kalau capek nanti aku keluar, kok. Hehehe.”
“Bener? Yaudah kalau gitu. Yuk!” aku pun berjalan menuju lapangan bersama Nadia. Nadia ini benar-benar, deh. Kebanyakan wanita yang menemaniku bermain bola malah sudah memisahkan diri terlebih dahulu setelah keluar dari basement. Ah, nikmatnya atmosfer baru-akur-sama-pacar-setelah-sering-bertengkar-selama-dua-minggu.
Satu jam berlalu, aku keluar dari lapangan. Aku memang sudah memberitahukan pada teman-temanku bahwa aku tidak akan bermain full hari ini dikarenakan kondisi badanku yang kurang fit. Setelah bebersih di ruang ganti, aku pun menemui Nadia yang sudah duduk manis ditemani dengan cheeseburger, french fries, dan cola.
“Hai. Maaf ya nunggu lama,” sapaku yang sepertinya menyadarkannya dari lamunan.
“Eh? Gak apa-apa, Gas. Aku seneng nemenin kamu main sepak bola,” ucapnya sambil tersenyum memunculkan lesung di kedua pipinya.
“Yey! Besok-besok temenin lagi ya,” aku merayu.
“Iya. Aku udah biasa kok nemenin cowok futsal atau main sepak bola. Dulu aku sering ke sini, Gas. Diaz juga latihan sepak bolanya di Soemantri sini. Malah dia latihannya seminggu dua kali. Jadi ya aku udah sering banget ke sini. Udah terbiasa aja gitu,” ujarnya panjang lebar yang lagi-lagi dikaitkan dengan masa lalu.
“Tempat mana sih di Jakarta yang belum kamu kunjungi sama Diaz?”
***

1 comment: