Siang saat Jakarta sedang panas-panasnya, aku memasuki
sebuah gedung tinggi di kawasan Semanggi. Aku berjalan melewati metal detector, tersenyum simpul pada satpam,
kemudian berjalan ke arah kanan memasuki lorong. Aku terus berjalan hingga akhirnya aku bertemu dengan lift-lift
yang berjajar yang akan mengantarkan pengunjung hingga ke lantai 10. Aku terus
menunggu hingga layar di atas lift menunjukkan huruf UG.
Satu lampu menyala pada lift ketiga yang terletak di
jalur kiri. Lift itu pun terbuka. Aku, dua pasang muda-mudi, dan pasangan muda suami-istri
yang membawa stroller pun memasuki
lift tersebut. Kemudian, aku menekan tombol 10. Setelah lift terbuka di lantai 10 aku berjalan ke arah kanan, melewati For Us Café, Radja Ketjil Restaurant,
menuju tempat di mana seseorang telah menungguku. Aku melihat jam digital di
tangan kiriku. Ah! Sudah terlambat 10 menit. Aku mempercepat langkahku.
“Maaf ya aku terlambat 10 menit. Mobilku masuk bengkel.
Tadi ngadat tiba-tiba. Ini aku naik
umum. Udah lama nunggu ya?” aku menjelaskan alasan keterlambatanku sesampainya
aku di Bricks Kitchen & Lounge Plaza Semanggi (Plangi).
“Gak kok. Aku juga baru sampai beberapa menit yang lalu.
Pesen minum, gih. Pasti haus banget deh, Gas,” ia berusaha menenangkanku yang
terlihat sangat merasa bersalah. Aku tidak biasa datang terlambat. Biasanya,
aku datang 10-15 menit sebelum waktu yang telah ditentukan. Namun, kali ini
tidak, untuk pertemuan spesial dengan wanita yang mungkin akan menjadi orang
spesial di hidupku pula. Ah! Semoga
ia tidak menyimpan kesal kepadaku.
Keadaan hening sejenak. Aku mengambil sebatang Mild-ku
dan menyulutnya dengan lighter. Aku
pun merasa sedikit tenang ketika asap rokok menari-menari di depan wajahku. Di
hadapanku, Nadia sedang menatap gedung-gedung pencakar langit yang terlihat
jelas dari tempat kami duduk, sambil tak henti melahap french fries dan mencecahnya ke saus tomat.
“Gak usah jaim
gitu, nyocol ke saus tomatnya
dikit-dikit. Aku udah tau kamu doyan banget sama saus tomat,” kataku memecah
keheningan. Ia hanya nyengir menampakkan
gigi-gigi putihnya yang berderet rapi.
“Aku tau kok kamu pernah ngegadoin saus tomat saking udah
gak ada cemilan di rumah dan itu udah larut malam, jadi kamu gak bisa ke
minimarket untuk beli cemilan. Iya kan?” lanjutku membuka kartunya.
“Ih! Kamu tau dari mana? Atuhlah.” khasnya Nadia dan aku hanya tersenyum tanpa memperpanjang
percakapan soal saus tomat.
Sambil melahap Long John Pizza, aku membuka percakapan
lain seputar kesibukan Nadia. Aku memang tidak terlalu suka bercakap panjang
lebar lewat media chatting ataupun
telepon. Aku lebih suka berbicara langsung. Dengan itu, aku bisa menatap
ekspresi lawan bicaraku saat menyimak atau menanggapiku.
“Gimana tulisan kamu, Nad? Udah ada tanggapan dari
redaksi majalah?”
“Belum, nih. Minggu depan udah dua bulan sejak tulisan
dikirim. Kalau misalnya gak ada email masuk, ya berarti tulisanku gak akan
dimuat,” ia menjelaskan dengan antusias. Nadia memang gemar menulis
cerita-cerita pendek. Seringnya, ia bagikan tulisan tersebut di blog pribadinya. Namun, beberapa bulan
lalu ia mencoba untuk mengirimkan tulisannya ke majalah remaja ternama di
Jakarta. Ingin menambah pengalaman dalam dunia menulis, katanya.
“Semoga ada email masuk dari redaksinya, ya. Tulisan yang
kamu kirim ke majalah itu bagus, kok. Beda sama cerpen-cerpen di blog kamu sebelumnya,” aku memujinya
jujur.
♪ I’m at a payphone
Trying to call home
All of my… ♬
“Bentar ya, Gas. Mama telepon,” suara merdu Adam Levine memotong
percakapanku dengan Nadia. Ia pun berjalan agak menjauh untuk menerima telepon
dari mamanya.
Sementara itu, aku melahap suapan pizza terakhirku.
Selama Nadia menerima telepon, aku memikirkan bagaimana cara memulai
mengungkapkan perasaanku kepadanya. Aku bukan baru kali pertama mengungkapkan
perasaanku pada seorang wanita yang kusuka. Namun, dengan Nadia terasa berbeda.
Mungkin karena aku jarang berkomunikasi dengannya, terutama melalui media chatting. Aku lebih banyak mengetahui
tentangnya dari temanku yang adalah sahabatnya, Dara. Hebatnya, aku sudah bisa
mendapatkan kenyamananku dengan Nadia hanya dengan dua kali pertemuan.
“Gas, aku harus pulang sekarang,” Nadia datang kembali
dengan tergesa-gesa dan membuyarkan lamunanku.
“Loh kenapa?”
“Kakakku kan lagi hamil. Kata mama, dia udah mulai
kontraksi gitu. Papa lagi gak ada di rumah, suaminya pun, dan mereka masih ada
urusan di kantornya masing-masing. Takut terjadi apa-apa nanti gak ada
kendaraan buat bawa ke rumah sakitnya, makanya aku disuruh pulang. Gak apa-apa
kan? Maaf ya jadi kayak gini, Gas,” ia menjelaskannya panjang lebar.
“Yaudah gak apa-apa. Aku anterin kamu pulang ya. Biar aku
yang nyetir sampe rumah kamu. Nanti dari rumah kamu gampang lah aku balik naik
umum,” aku masih berusaha mencari kesempatan untuk mengungkapkan apa yang
seharusnya memang aku ungkapkan hari ini.
“Gak ngerepotin, Gas?”
“Gak kok,” aku tersenyum padanya, kemudian memanggil
pelayan Bricks untuk meminta bill.
***
Nadia memarkir mobilnya di lantai 9, jadi kami tidak
menggunakan lift, dan turun melewati tangga di samping For Us Café. Nadia
memberikan kunci mobilnya kepadaku, lalu menunjukkan di mana mobilnya diparkir.
Aku pun membukakan pintu agar Nadia naik lebih dulu. Ia pun tersenyum kepadaku.
Setelah aku masuk, aku langsung menyalakan mobil itu dengan menekan tombol start-stop engine. Namun, aku tidak
langsung menekan gas mobil. Aku memilih untuk mendiamkannya terlebih dulu.
“Nad…,” aku memecah keheningan yang ada di antara kami
berdua.
“Ya kenapa, Gas? Biasa pakai manual ya?”
“Bukan itu, Nadia,” aku tertawa kecil, kemudian
menatapnya. Ia pun menatapku balik. Cukup lama kami saling memandang, hingga
akhirnya aku membelai rambutnya, mendekatkan wajahku ke wajahnya, bersentuhan
dengan bibir mungilnya, dan melumat bibir bawahnya. Tak terlihat rasa tak
nyaman dari Nadia atas apa yang aku lakukan padanya. Kami berdua sama-sama
terhanyut dalam suasana.
“Nad…,” aku melepaskan bibirku dari lumatan bibirnya.
“Ya, Gas?”
“Aku nyaman sama kamu dan gak mau hanya sebatas ini,”
kalimat-kalimat indah nan panjang yang telah kurangkai sebelumnya melesap begitu
saja. Hanya satu kalimat itu yang keluar dari bibirku.
“Aku pun, Gas,” lega sekali rasanya mendengar balasan
pernyataan dari Nadia. Aku pun tersenyum dan mencium keningnya, ia pun membalas
dengan belaian lembut di kepalaku.
***
Seminggu berlalu, tidak ada yang terlalu spesial dalam
hubunganku dengan Nadia. Kami menjalani hubungan yang akur tanpa pertengkaran
selayaknya pasangan baru. Hari ini, tepat seminggu aku bersamanya, aku mengajak
Nadia menonton film Yes Man. Selain
karena genre-nya yang komedi-romantis,
pemeran utama dalam film ini adalah aktor favoritku, Jim Carrey. Nadia pasti
suka dengan aksi-aksi konyol Carrey, pikirku.
Kami pun berjalan masuk ke Planet Hollywood (PH), menaiki
tangga, lalu langsung menuju loket yang terletak di sebelah kiri. Aku memilih seat B 14 dan Nadia pada seat B 13. Waktu di jam tangan digitalku
masih menunjukkan pukul 14.15 WIB, yang artinya masih satu jam lagi studio 1
tempat Yes Man diputar akan dibuka.
“Udah lama deh aku gak ke sini, Gas,” celetuk Nadia sambil
merapikan poninya yang sedikit berantakan.
“Oh ya? Terakhir kapan emangnya?”
“Lupa sih pastinya kapan. Udah lama banget. Dulu aku
sering banget ke sini sama Diaz. Bahkan Diaz yang ngasih tau aku bahwa ada
bisokop yang senyaman PH ini. Begitu pertama kali ke sini aku langsung suka aja
gitu, Gas. Cozy banget tempatnya.
Udah gitu cuma khusus bioskop aja kan. Jadi lebih fokus. Aku dulu sering
ngerayain anniversary ke sini sama
Diaz. Favorit aku banget lah. Udah jarang ke sini tuh ya gegara gak ada yang
ngajak nonton aja. Hahaha,” ia menjelaskan hal yang tak perlu dijelaskan dengan
panjang lebar. Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya.
“Kamu mau yang caramel atau yang gurih?” aku mengalihkan
pembicaraan dengan menawarinya popcorn
untuk camilan di dalam bioskop.
“Caramel aja, Gas. Makasih yah,”
Hampir dua jam kami lalui dengan tertawa dalam studio
karena ulah Carrey yang membuat film tersebut menjadi tidak garing. Di
perjalanan pulang menuju rumah Nadia pun, kami masih saja tertawa membahas film
Yes Man yang baru saja kami tonton.
Aku selalu suka tawanya Nadia, renyah sekali.
“Makasih ya, Gas. Kamu tepat banget ngajak aku nonton Yes Man di bioskop favorit aku pula,” ia
mencium pipiku sebagai tanda perpisahan.
“Sama-sama, Sayang. See
you the day after tomorrow, yah,” aku membalas ciumannya di pipiku dengan
kecupan di keningnya.
***
Hari Senin, jadwal kuliahku dan Nadia sama-sama lowong. Jadi, kami masih bisa menyempatkan diri
untuk bertemu. Sabtu kemarin, sesudah menonton Yes Man di PH, Nadia sempat meminta untuk melanjutkan perjalanan ke
Sabang. Ia ingin menyantap mie ayam favoritnya yang terletak di sebrang
restoran Timur Tengah. Seselesainya urusanku di kampus, aku langsung menuju
kampus Nadia yang terletak di kawasan Sudirman. Setelah menjemputnya, kami pun
langsung menancap gas menuju tempat yang dimaksud.
“Yang, parkir di Sarinah aja ya. Aku ada urusan dulu sama
orang Trax,” ujar Nadia sambil merapikan buku-buku kuliahnya dan menyimpannya
ke jok belakang.
“Oke!” aku menjawab sambil mengangguk.
Setelah urusan Nadia selesai di lantai 8 Gedung Sarinah
Thamrin tersebut, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan awal, yakni Mie Ayam
Sabang, dengan berjalan kaki.
Kami pun berjalan menelusuri Jalan Wahid Hasyim, melewati
para pedagang kaki lima di atas trotoar. Sesekali merundukkan kepala ketika ada
ranting pohon yang sedikit menghalangi jalan. Tidak jarang para pengendara
motor maupun orang dibalik setir dan kaca mobil memperhatikan aku dan Nadia.
Aku dan Nadia adalah pasangan yang tidak sungkan untuk memperlihatkan kemesraan
kami di depan khalayak ramai. Bagi beberapa orang mungkin terlihat aneh atau
tidak etis. Namun, bukankah setiap orang punya cara masing-masing untuk
menunjukkan rasa sayang terhadap pasangannya?
“Nad, sadar gak banyak yang memperhatikan kita?” tanyaku
sambil terus merangkulnya.
“Sadar kok, Gas,” ia justru semakin erat melingkarkan
tangannya ke pinggangku. Aku pun mencium rambutnya.
“Hahaha. Ih usil banget sih kamu malah makin mepet ke aku
gitu.”
“Biarin, Gas. Biar makin iri mereka. Hahaha. Aku sering
banget loh jalan di trotoar kayak gini. Aku suka menjadi pusat perhatian para
pengendara motor, mobil, dan pedagang kaki lima,” ujarnya antusias.
“Kamu emang ngapain sampe diperhatiin sama orang-orang
kayak gitu?”
“Ya kayak aku sama kamu gini, sama Diaz. Kita sering
ngeledekin mereka yang ngeliatin kita. Lagian sirik aja sih sama orang lagi
kasmaran. Hahaha,” ia menjelaskan dengan riang. Namun, aku enggan
melanjutkannya. Kami pun menyebrang menuju Jalan H. Agus Salim. Perlahan aku
melepaskan rangkulanku, meski Nadia masih memelukku erat. Baru setelah sampai
di tempat tujuan, ia melepaskannya. Nadia pun memesan dua porsi mie ayam bakso,
satu gelas susu soda untuknya, dan satu es teh manis untukku.
“Kenapa, Gas? Gak enak ya?” tanyanya khawatir melihatku
yang hanya mengacak-ngacak mie dalam mangkuk.
“Ah, gak kok. Enak. Aku tetiba kenyang aja, Nad. Mungkin
karena tadi minum cola pas di Sarinah
kali ya?” kilahku.
“Yaudah kalau kamu gak abis nanti aku yang abisin ya,”
ucapnya tanpa malu sambil nyengir. Aku sedang tidak gairah menanggapinya, meskipun
saat itu Nadia sangat menggemaskan. Nadia pun kembali fokus dengan mie ayam di
hadapannya dan siap sedia menyantap milikku juga.
***
Dua minggu dari kejadian di Sabang tempo hari, aku dan
Nadia mulai sering bertengkar meributkan hal-hal yang sebenarnya tak perlu
diributkan. Bisa dibilang, dua minggu itu adalah minggu-minggu terberat di
hubungan kami yang baru seumur jagung. Kemarin malam, aku baru saja berdamai
dengan Nadia. Sebagai permintaan maaf atas kesalahannya, Nadia berjanji
menemaniku bermain sepak bola hari ini. Aku pun memang sudah berniat
mengenalkan Nadia pada teman-temanku dan membawanya saat aku bermain sepak
bola.
Aku membelokkan mobil ke arah Jalan HR Rasuna Said.
Menekan pedal gas dalam-dalam, karena latihan sepak bola sudah akan dimulai.
Tak lama kemudian aku sampai di Pasar Festival (Pafest, sekarang Plaza
Festival). Aku memarkir mobilku di basement
dan kemudian bergegas ke arah samping lapangan Soemantri ini untuk mengganti
pakaian. Beberapa teman-temanku telah memasuki lapangan untuk melakukan
pemanasan, beberapa lagi masih berada bersamaku. Aku pun mengenalkan Nadia
kepada mereka yang berada di luar lapangan.
“Bro, kenalin
nih cewek gue,” ujarku.
“Hai. Aku Nadia,” Nadia menjabat tangan temanku
satu-persatu sambil menyebutkan namanya.
“Hasyim.”
“Nadia.”
“Anton.”
“Nadia.”
“Bintang.”
“Udah-udah jangan lama-lama kenalannya. Pemanasan gih lo
pada,” aku memotong perkenalan Nadia sambil bergurau.
“WOOO! Yang baru jadian sok!” Anton menyenggol lenganku sambil
berjalan masuk ke lapangan.
“Hahaha. Nyusul, Bro.”
“Yoksip!” saut mereka dengan acungan jempol.
“Kamu mau nunggu di mana, Sayang? Di McD atau di GM aja.
Jangan di sini. Ntar kamu digodain. Hahaha,”
“Aku nunggu di samping lapangan dulu aja. Kalau capek
nanti aku keluar, kok. Hehehe.”
“Bener? Yaudah kalau gitu. Yuk!” aku pun berjalan menuju
lapangan bersama Nadia. Nadia ini benar-benar, deh. Kebanyakan wanita yang
menemaniku bermain bola malah sudah memisahkan diri terlebih dahulu setelah
keluar dari basement. Ah, nikmatnya atmosfer baru-akur-sama-pacar-setelah-sering-bertengkar-selama-dua-minggu.
Satu jam berlalu, aku keluar dari lapangan. Aku memang
sudah memberitahukan pada teman-temanku bahwa aku tidak akan bermain full hari ini dikarenakan kondisi
badanku yang kurang fit. Setelah bebersih di ruang ganti, aku pun menemui Nadia
yang sudah duduk manis ditemani dengan cheeseburger,
french fries, dan cola.
“Hai. Maaf ya nunggu lama,” sapaku yang sepertinya
menyadarkannya dari lamunan.
“Eh? Gak apa-apa, Gas. Aku seneng nemenin kamu main sepak
bola,” ucapnya sambil tersenyum memunculkan lesung di kedua pipinya.
“Yey! Besok-besok temenin lagi ya,” aku merayu.
“Iya. Aku udah biasa kok nemenin cowok futsal atau main
sepak bola. Dulu aku sering ke sini, Gas. Diaz juga latihan sepak bolanya di Soemantri
sini. Malah dia latihannya seminggu dua kali. Jadi ya aku udah sering banget ke
sini. Udah terbiasa aja gitu,” ujarnya panjang lebar yang lagi-lagi dikaitkan
dengan masa lalu.
“Tempat mana sih di Jakarta yang belum kamu kunjungi sama
Diaz?”
***
lanjutin dong kak, penasaran nih
ReplyDelete