BRRAAKK…!!!
“Duh, sorry-sorry. Gue buru-buru.
Maaf banget ya. Mana banyak banget lagi buku lo,” amarahku mereda seketika ia
mengucapkan kata sorry dan buru-buru. Ketidakmampuannya melafalkan
huruf ‘r’ dengan baik membuatku terpana. Ya. Lelaki cadel, terutama pada
pelafalan huruf ‘r’ yang memiliki ciri khas tersendiri, selalu menarik
perhatianku. Tanpa kusadari, aku memerhatikannya lekat-lekat. “Hoi!!” aku pun
tersadar dan segera membenahi diri tak penting untuk menutupi kebodohanku yang
memerhatikannya dengan sangat saksama.
“Eh, iya. Gak apa-apa kok,” aku sedikit
terbata-bata dan segera meraih buku-bukuku yang ada di tangannya.
“Gak usah. Tunjukkin aja kelas lo
di mana. Biar gue anterin,” ah cadelnya muncul kembali. Seketika aku pun lupa
kelasku berada di mana. My bad.
“Katanya lo buru-buru?”
“Ya anggap aja sebagai permintaan
maaf gue. Yuk buruan. Ini udah mau jam 2 loh. Lo kelas jam 2 kan pasti?”
terkanya tepat sasaran.
“Hehe iya. Kelas gue di gedung
J,” sementara aku memberitahukan letak gedungnya saja dahulu dan segera
mengecek jadwal yang telah kusimpan di dalam memopad Blackberry-ku.
“Eh, btw nama lo siapa?” tanyanya
di dalam perjalanan dari parkiran menuju gedung J.
“Dimitria. Tapi panggil Dita aja
ya. Lo siapa? Semester berapa? Kok udah mau 3 tahun gue kuliah, gue baru liat
lo ada di kampus ini ya?”
“Gue Adit. Haha. Gue jarang di
kampus kayak lo, Ta.”
“Hahaha.” keadaan pun hening
kembali. Keheningan itu menyadarkanku pada sesuatu.
Gue jarang di kampus kayak lo, Ta.
Berarti Adit merhatiin gue dong? Hihihi. Tanpa disadari pipiku bersemu merah dan bibirku terangkat sedikit,
tersenyum.
“Yeee! Aneh lu ketawa-tawa
sendiri,” tegurannya membuatku makin tersipu karena ternyata ia menyadarinya.
“Hahaha. Tetiba keinget kejadian
tadi pagi aja, Dit. Ada hal lucu,” kilahku.
“Kelas lo di lantai berapa nih?”
“Lantai 3, Dit. Sampai sini aja
deh ya. Kasian elo. Kan buru-buru,” saat itu kami berhenti sejenak di lobby gedung J memperdebatkan apakah Adit
akan mengantarkanku sampai kelasku yang terletak di lantai 3 atau tidak.
Sebenarnya, tidak dari hati pula aku meminta Adit untuk hanya mengantarkanku
sampai lobby. Entah mengapa, selain kecadelannya,
matanya yang dibalut kacamata full-frame
berwarna hitam juga menjadi sebab ketertarikanku kepada Adit. Dan aku masih
ingin terus menikmatinya.
“Gak apa-apa, Ta. Santai aja,” ia
tersenyum.
Ah! Senyumnya juga!
***
Semenjak hari itu, Adit selalu
mengisi waktu-waktu kosongku di kampus. Tidak jarang ia menungguku selesai
latihan dance, lalu setelahnya makan
malam bersama. Kesibukanku di kampus terasa lebih ringan setelah ada Adit. Aku
menjalaninya tanpa beban karena aku tau setelah kegiatan-kegiatanku yang begitu
melelahkan, aku akan bertemu dengannya, menghabiskan waktu dengan lelucon-leluconnya
yang sukses menghadirkan lesung di kedua pipiku.
***
Aku cukup dikenal di kampus. Sapa
dan disapa adalah biasa jika aku berkeliaran di parkiran, gedung kuliah,
ataupun kantin. Aku juga mahasiswi yang cukup akrab dengan para dosen. Berbeda dengan
Adit. Tak jarang ia mengeluhkan hal tersebut, tetapi membalutnya dengan pujian
kepadaku.
“Duh, kak Dita eksis banget,”
celetuknya beberapa hari yang lalu.
Belakangan, aku sering
bertanya-tanya. Mengapa Adit selalu sendirian? Mengapa jarang ada yang
menyapanya ketika aku berjalan dengan dirinya? Beberapa temanku pun menggeleng
ketika aku menanyakan apakah mereka kenal dengan Adit. Siapa sebenarnya Adit
ini?
Tempo hari, aku bertemu dengan
Rinda, anak ilmu komunikasi yang berarti sejurusan dengan Adit. Ia menemuiku
untuk meminta anak dance tampil dalam
acara jurusannya.
“Eh, lo sekarang deket sama Adit,
Ta?” tetiba Rinda menanyakan hal itu seusai membicarakan perihal acara
jurusannya.
“Haha iya. Lo kenal? O iya, lo
sejurusan ya?”
“Iya. Beberapa matkul ada yang
sekelas juga sama dia,” jelasnya.
“Gue merasa baru liat Adit ada di
kampus ini semenjak kenal dan deket sama dia aja. Dulu mah gak pernah,” ucapku spontan.
“Makanya, Dit. Mainnya jangan
sama anak yang eksis mulu. Hahaha!” candanya.
“Seriuuuus…”
“Hehe canda, Neng! Adit baru kok
jadi penyendiri kayak sekarang. Ya setahunan lebih lah. Dulu dia periang. Ya
emang gak mejeng di kampus kayak lo, tapi di luar aktif banget. Sering jalan
juga sama temen-temen sejurusan…”
“Kok bisa jadi kayak sekarang?”
potongku penasaran.
“Setahun lalu bokapnya meninggal,
Dit. Semenjak itulah hidupnya jadi terpuruk. Mungkin kaget kali ya karena
selama ini apa-apa di-supply bokap,
terus tiba-tiba bokapnya gak ada. Pas bokapnya meninggal, doi abis berantem
hebat sama bokapnya. Katanya, sih. Cuma alasan berantemnya itu aja yang gak gue
tau. Hehehe.”
“Oh…” aku tak mampu berkata-kata,
memutar otak, mengaitkan cerita Rinda dengan fakta yang ada.
“Ya mungkin Adit menyesal kali
ya. Saat bokapnya pergi, dia bukan dalam keadaan baik-baik aja sama orang yang
ternyata paling berharga di hidupnya. Doi sempat jadi orang yang tempramental
juga. Makanya sebagian anak-anak jadi males sama Adit. Ya gitu lah. Kompleks
kalau nyeritain Adit,” jelas Rinda panjang lebar.
“Oh gitu toh,” aku masih tetap
tak bisa berkata-kata. Dalam bayanganku, kehidupan Adit begitu bahagia karena
tak pernah sedikitpun ia mengeluhkan tentang keluarganya seperti yang kerap aku
ceritakan kepadanya.
“Gue balik duluan ya, Ta. Ada
janji sama temen, nih. Contact gue
aja kalau misalnya anggota lo ada pertanyaan tentang acara ComFair, ya. Bye, Dita!”
Sepeninggalan Rinda, aku masih
tetap terdiam memikirkan Adit. Penjelasan Rinda menunjukkan bahwa Adit tidak
dalam keadaan baik-baik saja. Aneh, ada orang yang selama setahun lebih bisa
bertahan dengan kesendiriannya seperti itu. Aku rasa, aku perlu tau lebih jauh
tentang Adit.
“Hai, cewek! Sendirian aja. Nungguin
siapa?” caranya melafalkan huruf ‘r’ menyadarkanku sekaligus membuatku tau
siapa yang datang.
“Halo! Iya, nih. Nungguin orang
cadel dateng.”
“Cadel-cadel juga suka kan?
Bweee…!” tebakannya tepat sasaran, namun aku memilih mengalihkannya.
“Aku ambil tas dulu ya ke dalam,
habis itu kita makan.”
***
Sebulan sudah aku menjalin
hubungan resmi dengan Adit. Malam itu, saat kami makan di resto bebek goreng
favoriteku, aku menerima Adit dengan penuh keragu-raguan. Fakta yang disebutkan
Rinda sore itu membuatku sedikit tak yakin dengan Adit. Menjalani hubungan
dengan orang yang menutupi diri, bahkan dari orang terdekatnya sendiri. Akan
tetapi, belaian halus Adit di ujung rambut meluluhkan hatiku. Menghapuskan
sedikit keragu-raguanku kepadanya. Belum lagi tatapan dan khas cadelnya yang
membuatku betah berlama-lama dengannya.
Sebulan sudah pula aku menjalani
hubungan dengan Adit tanpa pertengkaran sedikit pun. Hanya gelak tawa yang
menghiasi hari-hariku dengannya. Sedikit ngambek-ngambek manja, semenit-dua
menit pertengkaran sebagai bumbu penyedap yang mempererat hubunganku dengan Adit.
Sampai pada akhirnya aku mengetahui banyak kebohongan pada diri Adit.
Aku pernah membaca headline di suatu majalah yang
menyebutkan, 9 dari 10 Wanita Mengaku
bahwa Firasatnya Tak Pernah Salah. Barusan Adit sengaja meninggalkan HP-nya
dan berlari menuju ruang Sinematografi. Entah mengapa, rasanya ingin sekali aku
membuka chat history BBM milik Adit dengan
sahabat wanitanya, Caca.
Aku bukan pencemburu, pun selalu
menyimpan curiga pada pasanganku. Ada satu hal yang selalu kutanamkan pada
pikiranku yang diberikan oleh kakakku, kak Loli.
“Cemburu tuh sama yang di atas
kamu aja1, Ta,” ucapnya lugas.
“Kalau kamu cemburu, berarti kamu
mengakui bahwa orang yang kamu cemburui itu ada di atas kamu. Kenapa? Kamu
cemburu, kamu merasa posisimu terancam, berarti kamu merasa gak lebih baik
daripada yang kamu cemburui. Kan gitu,” kak Prita pun menjelaskan panjang
lebar.
Maksudku membuka history
chat Adit dengan Caca bukan karena aku cemburu. Lebih kepada aku ingin
mengetahui apa yang selama ini Adit keluhkan pada Caca tentangku dan apa yang
tidak Adit beri tahu padaku yang mungkin sebenarnya harus aku tau. Satu hal
kuat, Tuhan seperti mengajakku untuk menunjukkan sesuatu, yang aku tak tau,
yang mungkin Adit sembunyikan.
18 Jan
…
Caca Irani
Jangan mau dimainin
sama Dita.
Adit Pratama P
Iya tenang aja Ca.
Gue yang mainin peran di sini.
Caca Irani
Haha buktiin aja
lah.
Adit Pratama P
Iya, liat aja nanti
Ca. Dita pasti masuk dalam genggaman gue. Gue bakal bikin dia tau artinya
digantungin.
Caca Irani
Dit, temenin makan
di kantin Psiko, yuk!
Adit Pratama P
Lo di mana sekarang?
Kalau udah sampe kabarin aja.
…
Aku menutup aplikasi BBM di Blackberry Adit, menyimpannya di
sampingku, dan terdiam cukup lama. Tanggal 18 adalah tepat dua minggu aku resmi
berpacaran dengan Adit. Apakah di awal aku menggantung perasaan Adit? Apakah
tujuan Adit menjadikanku pacar hanya untuk membalas dendam yang tersimpan di
hatinya? Tanggal 18 yang kuingat adalah Adit meminta izin kepadaku karena tidak
bisa mengantarku pulang dengan alasan ada rapat Sinematografi di jam yang sama
dengan saat ia dihubungi oleh Caca untuk minta ditemani makan di kantin
fakultas psikologi. Apa pernah aku melarangnya berteman dengan Caca atau teman
wanita yang lainnya? Sampai ia harus berbohong kepadaku seperti itu?
“Hei! Bengong aja! Balik, yuk.
Udah mau hujan,” ia telah kembali dari ruang Sinematografi. Sementara aku masih
tetap terdiam, speechless atas apa
yang aku temukan barusan. Aku pun berdiri dari tempat dudukku, memberikan
HP-nya tanpa sedikitpun menatap matanya, dan berjalan tanpa mengiyakan ajakannya.
“Kamu kenapa, Ta?” Adit menyadari
perbedaanku.
“Kenapa apanya?” tanyaku
pura-pura tidak tahu.
“Ya aneh aja. Aku ada salah?”
tanyanya agak panik.
“Ngerasa salah?” aku balik
bertanya.
“Ta, jangan gini dong. Kamu
kenapa? Abis liat-liat hpku jadi aneh gitu. Kamu kenapa?” kali ini kepanikannya
naik setingkat dari sebelumnya. Keadaan hening cukup lama sampai akhirnya aku
mengeluarkan suaraku.
“Kamu bohongin aku berapa kali, Dit?”
wajah Adit berubah drastis. Bibirnya perlahan berubah pucat dan bulir keringat
di ujung kepalanya pun menetes.
“Dita…,” ia berusaha meraih
tanganku yang jalannya dua langkah lebih cepat dibanding dengannya.
“Hm?”
“Maaf…” ucapnya lirih.
“Aku gak minta kamu minta maaf
loh, Dit. Aku nanya, kamu bohongin aku berapa kali?”
“Iya, banyak,” akunya.
“Ya sebutin apa aja.”
“Pas aku bilang aku udah lupain
Sandra, sejujurnya aku masih kagum sama Sandra.”
DHEG!!! Dadaku serasa dihantam batu
besar. Justru kebohongan yang gak aku ketahui yang dia akui.
“Terus?”
“Pas kamu larang aku buat
ngerokok dan aku bilang aku gak beli rokok hari itu, aku tetep kekeuh ngerokok.”
“Teruuuus?”
“Dita….” ia berusaha memanggilku
dengan rengekan khasnya yang biasa ia gunakan sebagai senjata jika aku sedang
ngambek dengannya. Namun, aku berjanji, saat itu tak akan luluh.
“Ya?” jawabku singkat, sangat
singkat.
“Maafin aku.”
“Kamu mau nyakitin aku, Dit? Mau
mainin aku? Mau ngebuat aku masuk dalam genggaman kamu lantas kamu tinggalin
aku?” aku menembakinya dengan fakta yang aku tau. Kali ini aku menatap matanya.
Ada penyesalan di matanya, namun aku sama sekali tak iba dengannya.
“Dita, ini gak seperti yang kamu
lihat,” ia berusaha membela dirinya.
“Saat kamu bilang kamu ada rapat
Sinematografi tuh rapat sama siapa sebenarnya? Sama Caca? Apa pernah Dit aku
larang kamu main sama Caca? Atau sama teman-teman cewek kamu yang lain? Maaf
ya, Dit. Aku bukan seperti kamu yang larang aku main dengan teman-teman cowokku
yang bahkan lebih dulu selalu ada dibanding kamu,” aku meluapkan sebagian
emosiku kepadanya. Aku memang sudah merasa tidak nyaman dengan sikap Adit yang
membatasi pergaulanku dengan teman-teman cowokku sejak seminggu aku bersamanya.
Meski teman-temanku tak pernah mengusik hubunganku atau bertindak tidak sopan
kepadaku. Entah apa yang membuatnya selalu berpikiran negatif tentangku dan
teman-teman cowokku.
“Dita, maafin aku…” aku tak
menggubrisnya dan meninggalkannya jauh di belakang.
***
Sejak hari di mana aku mengetahui
bahwa Adit penuh kebohongan, Blackberry-ku
tak henti memunculkan notifikasi yang semuanya berasal dari satu orang yang
sama, Adit. Ia terus menelponiku, mengirimkan puluhan SMS dengan bunyi yang
hampir sama, dan juga ratusan PING!!! agar aku membalas BBM-nya. Pola SMS dan
BBM-nya sama. Berisi bahwa ia sangat mencintaiku, tak ingin kehilangan, ia
menyesal, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat setipe. Muak dengan segala cara
yang ia lakukan, akupun mengirimkan BBM kepadanya dua hari setelah kejadian
tersebut.
“Ketemu di tempat biasa, kita
selesaikan semuanya.”
***
“Kamu bukan sayang aku, Dit,”
ucapku lugas sambil mengalihkan pandanganku dari tatapan matanya yang begitu
membunuh. Aku tidak pernah tidak luluh jika ia memohon dengan tatapan puppy-eyes-nya itu. Ya, kali ini tidak
akan. Oleh karena itu, aku menghindarinya.
“Emang bukan. Aku sayang kamu
banget. Aku cinta. Aku cinta kamu banget, Ta,” ia menarik tanganku, memegangnya
erat-erat, dan mencium punggung tanganku.
“Kamu bukan sayang aku, bukan
sayang aku banget, bukan cinta aku, dan bukan cinta aku banget. Kamu hanya
berambisi untuk memiliki aku, Dit. Apa yang kamu lakukan selama ini buat aku,
semata-mata hanya untuk mendapatkan aku seutuhnya. Sia-sia, Dit. Sungguh. Kasih
sayang dan cinta yang berlandaskan ambisi berlebihan gak akan pernah baik.
Buatmu, pun buatku. Sadar gak bahwa kamu gak akan pernah bisa memiliki aku
seutuhnya? Begitu pun aku. Bahkan jika kelak kita menikah kamu harus tetap
membagiku dengan orang tuaku, saudaraku, temanku, hobiku, dan lainnya. Ambisi
kamu ngekang aku, Dit. Nyakitin aku. Kamu sadar? Sadar gak bahwa itu bukan
cinta? Aku tau cinta bukan melulu tentang kebahagiaan. Sakit dan sedih layak
masuk ke dalamnya, tapi bukan dengan cara seperti ini, Dit…” tak sedikit pun
aku memberi kesempatan untuknya menyelak dan mengelak.
“Dimitria…,” khas Adit. Memanggil
nama awalku penuh. Aku menguatkan diri untuk tidak luluh kepada suara cadel
mungilnya itu.
“I deserve better, Adit. I
love myself more than...” kali ini aku menatap matanya. “…you! Aku tidak mau menyakiti diriku
lebih jauh dengan tetap membiarkan ambisimu tetap ada di antara kita.”
“Dita, please…”
“So, please, Adit. Let me find my own happiness...” dan akhirnya kalimat itu
terlontar dengan bibir gemetar. Aku pun bergegas meraih handle bag-ku di atas meja, menuju mobil, dan bersiap menekan pedal
gas serta melaju dengan kecepatan tinggi. Sementara Adit mengejarku dan
mengetuk-ngetuk jendela mobil.
“Ta, aku sayang kamu! Kasih
kesempatan buat aku, Ta!” aku mengacuhkannya dan tetap pada pendirianku.
Bagiku, orang yang tulus mencintai takkan pernah meminta kesempatan
berkali-kali karena ia (bahkan) tidak pernah akan menyia-nyiakannya.
“DITAAA!! AKU SAYANG KAMU
DITAAAAA…!!! ARGHHH!!!”
1 dari tweet @tlvi
No comments:
Post a Comment