Tuesday, May 28, 2013

Let Me Find My Own Happiness...

BRRAAKK…!!!
“Duh, sorry-sorry. Gue buru-buru. Maaf banget ya. Mana banyak banget lagi buku lo,” amarahku mereda seketika ia mengucapkan kata sorry dan buru-buru. Ketidakmampuannya melafalkan huruf ‘r’ dengan baik membuatku terpana. Ya. Lelaki cadel, terutama pada pelafalan huruf ‘r’ yang memiliki ciri khas tersendiri, selalu menarik perhatianku. Tanpa kusadari, aku memerhatikannya lekat-lekat. “Hoi!!” aku pun tersadar dan segera membenahi diri tak penting untuk menutupi kebodohanku yang memerhatikannya dengan sangat saksama.
“Eh, iya. Gak apa-apa kok,” aku sedikit terbata-bata dan segera meraih buku-bukuku yang ada di tangannya.
“Gak usah. Tunjukkin aja kelas lo di mana. Biar gue anterin,” ah cadelnya muncul kembali. Seketika aku pun lupa kelasku berada di mana. My bad.
“Katanya lo buru-buru?”
“Ya anggap aja sebagai permintaan maaf gue. Yuk buruan. Ini udah mau jam 2 loh. Lo kelas jam 2 kan pasti?” terkanya tepat sasaran.
“Hehe iya. Kelas gue di gedung J,” sementara aku memberitahukan letak gedungnya saja dahulu dan segera mengecek jadwal yang telah kusimpan di dalam memopad Blackberry­-ku.
“Eh, btw nama lo siapa?” tanyanya di dalam perjalanan dari parkiran menuju gedung J.
“Dimitria. Tapi panggil Dita aja ya. Lo siapa? Semester berapa? Kok udah mau 3 tahun gue kuliah, gue baru liat lo ada di kampus ini ya?”
“Gue Adit. Haha. Gue jarang di kampus kayak lo, Ta.”
“Hahaha.” keadaan pun hening kembali. Keheningan itu menyadarkanku pada sesuatu.
Gue jarang di kampus kayak lo, Ta.
Berarti Adit merhatiin gue dong? Hihihi. Tanpa disadari pipiku bersemu merah dan bibirku terangkat sedikit, tersenyum.
“Yeee! Aneh lu ketawa-tawa sendiri,” tegurannya membuatku makin tersipu karena ternyata ia menyadarinya.
“Hahaha. Tetiba keinget kejadian tadi pagi aja, Dit. Ada hal lucu,” kilahku.
“Kelas lo di lantai berapa nih?”
“Lantai 3, Dit. Sampai sini aja deh ya. Kasian elo. Kan buru-buru,” saat itu kami berhenti sejenak di lobby gedung J memperdebatkan apakah Adit akan mengantarkanku sampai kelasku yang terletak di lantai 3 atau tidak. Sebenarnya, tidak dari hati pula aku meminta Adit untuk hanya mengantarkanku sampai lobby. Entah mengapa, selain kecadelannya, matanya yang dibalut kacamata full-frame berwarna hitam juga menjadi sebab ketertarikanku kepada Adit. Dan aku masih ingin terus menikmatinya.
“Gak apa-apa, Ta. Santai aja,” ia tersenyum.
Ah! Senyumnya juga!
***
Semenjak hari itu, Adit selalu mengisi waktu-waktu kosongku di kampus. Tidak jarang ia menungguku selesai latihan dance, lalu setelahnya makan malam bersama. Kesibukanku di kampus terasa lebih ringan setelah ada Adit. Aku menjalaninya tanpa beban karena aku tau setelah kegiatan-kegiatanku yang begitu melelahkan, aku akan bertemu dengannya, menghabiskan waktu dengan lelucon-leluconnya yang sukses menghadirkan lesung di kedua pipiku.
***
Aku cukup dikenal di kampus. Sapa dan disapa adalah biasa jika aku berkeliaran di parkiran, gedung kuliah, ataupun kantin. Aku juga mahasiswi yang cukup akrab dengan para dosen. Berbeda dengan Adit. Tak jarang ia mengeluhkan hal tersebut, tetapi membalutnya dengan pujian kepadaku.
“Duh, kak Dita eksis banget,” celetuknya beberapa hari yang lalu.
Belakangan, aku sering bertanya-tanya. Mengapa Adit selalu sendirian? Mengapa jarang ada yang menyapanya ketika aku berjalan dengan dirinya? Beberapa temanku pun menggeleng ketika aku menanyakan apakah mereka kenal dengan Adit. Siapa sebenarnya Adit ini?
Tempo hari, aku bertemu dengan Rinda, anak ilmu komunikasi yang berarti sejurusan dengan Adit. Ia menemuiku untuk meminta anak dance tampil dalam acara jurusannya.
“Eh, lo sekarang deket sama Adit, Ta?” tetiba Rinda menanyakan hal itu seusai membicarakan perihal acara jurusannya.
“Haha iya. Lo kenal? O iya, lo sejurusan ya?”
“Iya. Beberapa matkul ada yang sekelas juga sama dia,” jelasnya.
“Gue merasa baru liat Adit ada di kampus ini semenjak kenal dan deket sama dia aja. Dulu mah gak pernah,” ucapku spontan.
“Makanya, Dit. Mainnya jangan sama anak yang eksis mulu. Hahaha!” candanya.
“Seriuuuus…”
“Hehe canda, Neng! Adit baru kok jadi penyendiri kayak sekarang. Ya setahunan lebih lah. Dulu dia periang. Ya emang gak mejeng di kampus kayak lo, tapi di luar aktif banget. Sering jalan juga sama temen-temen sejurusan…”
“Kok bisa jadi kayak sekarang?” potongku penasaran.
“Setahun lalu bokapnya meninggal, Dit. Semenjak itulah hidupnya jadi terpuruk. Mungkin kaget kali ya karena selama ini apa-apa di-supply­ bokap, terus tiba-tiba bokapnya gak ada. Pas bokapnya meninggal, doi abis berantem hebat sama bokapnya. Katanya, sih. Cuma alasan berantemnya itu aja yang gak gue tau. Hehehe.”
“Oh…” aku tak mampu berkata-kata, memutar otak, mengaitkan cerita Rinda dengan fakta yang ada.
“Ya mungkin Adit menyesal kali ya. Saat bokapnya pergi, dia bukan dalam keadaan baik-baik aja sama orang yang ternyata paling berharga di hidupnya. Doi sempat jadi orang yang tempramental juga. Makanya sebagian anak-anak jadi males sama Adit. Ya gitu lah. Kompleks kalau nyeritain Adit,” jelas Rinda panjang lebar.
“Oh gitu toh,” aku masih tetap tak bisa berkata-kata. Dalam bayanganku, kehidupan Adit begitu bahagia karena tak pernah sedikitpun ia mengeluhkan tentang keluarganya seperti yang kerap aku ceritakan kepadanya.
“Gue balik duluan ya, Ta. Ada janji sama temen, nih. Contact gue aja kalau misalnya anggota lo ada pertanyaan tentang acara ComFair, ya. Bye, Dita!”
Sepeninggalan Rinda, aku masih tetap terdiam memikirkan Adit. Penjelasan Rinda menunjukkan bahwa Adit tidak dalam keadaan baik-baik saja. Aneh, ada orang yang selama setahun lebih bisa bertahan dengan kesendiriannya seperti itu. Aku rasa, aku perlu tau lebih jauh tentang Adit.
“Hai, cewek! Sendirian aja. Nungguin siapa?” caranya melafalkan huruf ‘r’ menyadarkanku sekaligus membuatku tau siapa yang datang.
“Halo! Iya, nih. Nungguin orang cadel dateng.”
“Cadel-cadel juga suka kan? Bweee…!” tebakannya tepat sasaran, namun aku memilih mengalihkannya.
“Aku ambil tas dulu ya ke dalam, habis itu kita makan.”
***
Sebulan sudah aku menjalin hubungan resmi dengan Adit. Malam itu, saat kami makan di resto bebek goreng favoriteku, aku menerima Adit dengan penuh keragu-raguan. Fakta yang disebutkan Rinda sore itu membuatku sedikit tak yakin dengan Adit. Menjalani hubungan dengan orang yang menutupi diri, bahkan dari orang terdekatnya sendiri. Akan tetapi, belaian halus Adit di ujung rambut meluluhkan hatiku. Menghapuskan sedikit keragu-raguanku kepadanya. Belum lagi tatapan dan khas cadelnya yang membuatku betah berlama-lama dengannya.
Sebulan sudah pula aku menjalani hubungan dengan Adit tanpa pertengkaran sedikit pun. Hanya gelak tawa yang menghiasi hari-hariku dengannya. Sedikit ngambek-ngambek manja, semenit-dua menit pertengkaran sebagai bumbu penyedap yang mempererat hubunganku dengan Adit. Sampai pada akhirnya aku mengetahui banyak kebohongan pada diri Adit.
Aku pernah membaca headline di suatu majalah yang menyebutkan, 9 dari 10 Wanita Mengaku bahwa Firasatnya Tak Pernah Salah. Barusan Adit sengaja meninggalkan HP-nya dan berlari menuju ruang Sinematografi. Entah mengapa, rasanya ingin sekali aku membuka chat history BBM milik Adit dengan sahabat wanitanya, Caca.
Aku bukan pencemburu, pun selalu menyimpan curiga pada pasanganku. Ada satu hal yang selalu kutanamkan pada pikiranku yang diberikan oleh kakakku, kak Loli.
“Cemburu tuh sama yang di atas kamu aja1, Ta,” ucapnya lugas.
“Kalau kamu cemburu, berarti kamu mengakui bahwa orang yang kamu cemburui itu ada di atas kamu. Kenapa? Kamu cemburu, kamu merasa posisimu terancam, berarti kamu merasa gak lebih baik daripada yang kamu cemburui. Kan gitu,” kak Prita pun menjelaskan panjang lebar.
Maksudku membuka history chat Adit dengan Caca bukan karena aku cemburu. Lebih kepada aku ingin mengetahui apa yang selama ini Adit keluhkan pada Caca tentangku dan apa yang tidak Adit beri tahu padaku yang mungkin sebenarnya harus aku tau. Satu hal kuat, Tuhan seperti mengajakku untuk menunjukkan sesuatu, yang aku tak tau, yang mungkin Adit sembunyikan.
18 Jan
Caca Irani
Jangan mau dimainin sama Dita.
Adit Pratama P
Iya tenang aja Ca. Gue yang mainin peran di sini.
Caca Irani
Haha buktiin aja lah.
Adit Pratama P
Iya, liat aja nanti Ca. Dita pasti masuk dalam genggaman gue. Gue bakal bikin dia tau artinya digantungin.
Caca Irani
Dit, temenin makan di kantin Psiko, yuk!
Adit Pratama P
Lo di mana sekarang? Kalau udah sampe kabarin aja.
Aku menutup aplikasi BBM di Blackberry Adit, menyimpannya di sampingku, dan terdiam cukup lama. Tanggal 18 adalah tepat dua minggu aku resmi berpacaran dengan Adit. Apakah di awal aku menggantung perasaan Adit? Apakah tujuan Adit menjadikanku pacar hanya untuk membalas dendam yang tersimpan di hatinya? Tanggal 18 yang kuingat adalah Adit meminta izin kepadaku karena tidak bisa mengantarku pulang dengan alasan ada rapat Sinematografi di jam yang sama dengan saat ia dihubungi oleh Caca untuk minta ditemani makan di kantin fakultas psikologi. Apa pernah aku melarangnya berteman dengan Caca atau teman wanita yang lainnya? Sampai ia harus berbohong kepadaku seperti itu?
“Hei! Bengong aja! Balik, yuk. Udah mau hujan,” ia telah kembali dari ruang Sinematografi. Sementara aku masih tetap terdiam, speechless atas apa yang aku temukan barusan. Aku pun berdiri dari tempat dudukku, memberikan HP-nya tanpa sedikitpun menatap matanya, dan berjalan tanpa mengiyakan ajakannya.
“Kamu kenapa, Ta?” Adit menyadari perbedaanku.
“Kenapa apanya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Ya aneh aja. Aku ada salah?” tanyanya agak panik.
“Ngerasa salah?” aku balik bertanya.
“Ta, jangan gini dong. Kamu kenapa? Abis liat-liat hpku jadi aneh gitu. Kamu kenapa?” kali ini kepanikannya naik setingkat dari sebelumnya. Keadaan hening cukup lama sampai akhirnya aku mengeluarkan suaraku.
“Kamu bohongin aku berapa kali, Dit?” wajah Adit berubah drastis. Bibirnya perlahan berubah pucat dan bulir keringat di ujung kepalanya pun menetes.
“Dita…,” ia berusaha meraih tanganku yang jalannya dua langkah lebih cepat dibanding dengannya.
“Hm?”
“Maaf…” ucapnya lirih.
“Aku gak minta kamu minta maaf loh, Dit. Aku nanya, kamu bohongin aku berapa kali?”
“Iya, banyak,” akunya.
“Ya sebutin apa aja.”
“Pas aku bilang aku udah lupain Sandra, sejujurnya aku masih kagum sama Sandra.”
DHEG!!! Dadaku serasa dihantam batu besar. Justru kebohongan yang gak aku ketahui yang dia akui.
“Terus?”
“Pas kamu larang aku buat ngerokok dan aku bilang aku gak beli rokok hari itu, aku tetep kekeuh ngerokok.”
“Teruuuus?”
“Dita….” ia berusaha memanggilku dengan rengekan khasnya yang biasa ia gunakan sebagai senjata jika aku sedang ngambek dengannya. Namun, aku berjanji, saat itu tak akan luluh.
“Ya?” jawabku singkat, sangat singkat.
“Maafin aku.”
“Kamu mau nyakitin aku, Dit? Mau mainin aku? Mau ngebuat aku masuk dalam genggaman kamu lantas kamu tinggalin aku?” aku menembakinya dengan fakta yang aku tau. Kali ini aku menatap matanya. Ada penyesalan di matanya, namun aku sama sekali tak iba dengannya.
“Dita, ini gak seperti yang kamu lihat,” ia berusaha membela dirinya.
“Saat kamu bilang kamu ada rapat Sinematografi tuh rapat sama siapa sebenarnya? Sama Caca? Apa pernah Dit aku larang kamu main sama Caca? Atau sama teman-teman cewek kamu yang lain? Maaf ya, Dit. Aku bukan seperti kamu yang larang aku main dengan teman-teman cowokku yang bahkan lebih dulu selalu ada dibanding kamu,” aku meluapkan sebagian emosiku kepadanya. Aku memang sudah merasa tidak nyaman dengan sikap Adit yang membatasi pergaulanku dengan teman-teman cowokku sejak seminggu aku bersamanya. Meski teman-temanku tak pernah mengusik hubunganku atau bertindak tidak sopan kepadaku. Entah apa yang membuatnya selalu berpikiran negatif tentangku dan teman-teman cowokku.
“Dita, maafin aku…” aku tak menggubrisnya dan meninggalkannya jauh di belakang.
***
Sejak hari di mana aku mengetahui bahwa Adit penuh kebohongan, Blackberry-ku tak henti memunculkan notifikasi yang semuanya berasal dari satu orang yang sama, Adit. Ia terus menelponiku, mengirimkan puluhan SMS dengan bunyi yang hampir sama, dan juga ratusan PING!!! agar aku membalas BBM-nya. Pola SMS dan BBM-nya sama. Berisi bahwa ia sangat mencintaiku, tak ingin kehilangan, ia menyesal, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat setipe. Muak dengan segala cara yang ia lakukan, akupun mengirimkan BBM kepadanya dua hari setelah kejadian tersebut.
“Ketemu di tempat biasa, kita selesaikan semuanya.”
***
“Kamu bukan sayang aku, Dit,” ucapku lugas sambil mengalihkan pandanganku dari tatapan matanya yang begitu membunuh. Aku tidak pernah tidak luluh jika ia memohon dengan tatapan puppy-eyes-nya itu. Ya, kali ini tidak akan. Oleh karena itu, aku menghindarinya.
“Emang bukan. Aku sayang kamu banget. Aku cinta. Aku cinta kamu banget, Ta,” ia menarik tanganku, memegangnya erat-erat, dan mencium punggung tanganku.
“Kamu bukan sayang aku, bukan sayang aku banget, bukan cinta aku, dan bukan cinta aku banget. Kamu hanya berambisi untuk memiliki aku, Dit. Apa yang kamu lakukan selama ini buat aku, semata-mata hanya untuk mendapatkan aku seutuhnya. Sia-sia, Dit. Sungguh. Kasih sayang dan cinta yang berlandaskan ambisi berlebihan gak akan pernah baik. Buatmu, pun buatku. Sadar gak bahwa kamu gak akan pernah bisa memiliki aku seutuhnya? Begitu pun aku. Bahkan jika kelak kita menikah kamu harus tetap membagiku dengan orang tuaku, saudaraku, temanku, hobiku, dan lainnya. Ambisi kamu ngekang aku, Dit. Nyakitin aku. Kamu sadar? Sadar gak bahwa itu bukan cinta? Aku tau cinta bukan melulu tentang kebahagiaan. Sakit dan sedih layak masuk ke dalamnya, tapi bukan dengan cara seperti ini, Dit…” tak sedikit pun aku memberi kesempatan untuknya menyelak dan mengelak.
“Dimitria…,” khas Adit. Memanggil nama awalku penuh. Aku menguatkan diri untuk tidak luluh kepada suara cadel mungilnya itu.
I deserve better, Adit. I love myself more than...” kali ini aku menatap matanya. “…you! Aku tidak mau menyakiti diriku lebih jauh dengan tetap membiarkan ambisimu tetap ada di antara kita.”
“Dita, please…”
“So, please, Adit. Let me find my own happiness...” dan akhirnya kalimat itu terlontar dengan bibir gemetar. Aku pun bergegas meraih handle bag-ku di atas meja, menuju mobil, dan bersiap menekan pedal gas serta melaju dengan kecepatan tinggi. Sementara Adit mengejarku dan mengetuk-ngetuk jendela mobil.
“Ta, aku sayang kamu! Kasih kesempatan buat aku, Ta!” aku mengacuhkannya dan tetap pada pendirianku. Bagiku, orang yang tulus mencintai takkan pernah meminta kesempatan berkali-kali karena ia (bahkan) tidak pernah akan menyia-nyiakannya.
“DITAAA!! AKU SAYANG KAMU DITAAAAA…!!! ARGHHH!!!”



1 dari tweet @tlvi

No comments:

Post a Comment