Hai, insan yang tak pernah tak
kurindukan.
Tak perlu kuawali dengan bertanya
tentang kabar. Aku tau kau baik-baik saja di sampingnya. Perlukah kuberi tau
tentang kabarku? Hm...aku selalu merasa tak baik jika tak bersama kau, meski
sebenarnya aku baik-baik saja, tetapi selalu ada yang kurang. Kehadiranmu gula
bagi kopi hitam yang buatku terjaga, roti bagi susuku di pagi hari, garpu bagi
pisau saat aku makan steak kesukaan
kita, kau pelengkap bagi diriku...sayang.
Mungkin ini lebih penting bagi
kau--kabar tentang Arya. Arya sudah semakin besar. Mungkin kau lupa, tiga hari yang lalu Arya berulang tahun yang ke-4. Wajahnya datar,
tetapi kuyakin dalam hatinya bergejolak riang. Mengapa kau tak datang ke ulang
tahun Arya? Aku mengirimimu undangan ulang tahunnya, bukan? Aku tau Bi Uci
pasti menyampaikannya kepadamu. Kurasa dibalik wajah datar Arya, ia menyimpan
harap akan kedatanganmu. Aku, Arya, akan masih menerimamu di rumah. Tangan kami
terbuka untuk kau. Bagiku, yang lalu adanya di masa lalu. The past stays in the past…kecuali jika kau mau kembali menjadi
masa kini-ku. Haha. Aku hanya bergurau.
Mengapa kau terus bersikap
dingin? Seolah tak kenal. Selalu menghindar. Kuakui kau memang salah pada hari
itu. Namun, Arya telah memaafkanmu. Percayalah! Mungkinkah ini caramu untuk
melupakan? Atau karena kau teramat merasa bersalah? Aku memang takkan pernah
lupa akan hari itu, tiga setengah tahun yang lalu...
“Tolong jaga Arya sebentar. Ibu mau ke rooftop angkat baju, sepertinya akan
hujan.”
Aku pun masih ingat kata demi
kata yang terlontar dari bibir Ibu saat itu. Kita pun menjaga Arya dengan tawa.
Seperti mempersiapkan atas angan-angan kita berdua. Menimang Arya penuh kasih
sayang, aku seperti yakin kau lelaki yang tepat untuk malaikat-malaikat kecilku
kelak.
“Arya lucu banget sih kayak kakaknya. Uuu...”
Godaanmu itu menggodaku. Aku
tersipu, tetapi tak lama. Seketika semua berubah 180 derajat. Kepanikan
menyelimuti. Aku berteriak memanggil Ibu. Ibu berlari dari atas rooftop melewati anak tangga. Langkah
kaki yang beradu dengan tangga kayu itu menampakkan ketergesa-gesaan,
kekhawatiran, dan kecemasan Ibu atas sang anak. Sementara kau terus memeluk
Arya, mengguncangkan tubuhnya supaya ia terbangun, serta mengusap darah yang ada di dahi Arya.
BRAK!!!
Aku kembali ke saat di mana Arya
kau lepaskan dengan bodohnya. Ia hanya anak bayi lima bulan yang tak mengerti
caranya buang air kecil, Sayang. Maafkan aku
dan Ibu karena membiasakan Arya memakai diapers
dan lupa memakaikannya pagi itu. Untuk pertama kali aku melihat kau menangis,
aku tau tetes itu gambaran sesalmu. Untuk pertama kali pula aku melihat Ibu menamparmu. Hatiku hancur lebur. Kacau. Balau. Galau…
Ibu tak mengusirmu, tetapi
mengacuhkanmu. Saat kau mengantarkan kami ke rumah sakit, saat kau meminta
maaf, saat kau ingin bertanggung jawab atas semua biaya perawatan dan
pengobatan Arya. Ibu seperti tak akan memaafkanmu seumur hidup. Namun,
percayalah. Kau masih punya aku dan Arya, yang memaafkanmu meski kau sakiti aku
dan Arya--dengan cara berbeda.
Ini surat ke-3 yang aku
kirim--dan (selalu) berharap kau akan membalasnya. Selalu selepas ulang tahun Arya. Aku hanya
ingin memastikan alasanmu tak hadir dan meyakinkanmu bahwa aku dan Arya sudah
memaafkanmu. Ibu? Mungkin sudah, pelan-pelan... Ibu hanya sangat terpuruk
mendapati Arya menjadi seperti sekarang, tak berdaya. Arya di rumah seperti
pengganti Ayah. Kau pasti tau kehadiran lelaki dibutuhkan di rumah dan ibu berharap pada Arya, tetapi kau merusaknya. Ibu
hanya belum sembuh dari sakit yang kau buat. Suatu saat pasti sembuh. Percaya
padaku.
Kau pergi tinggalkan aku dengan alasan kesalahan fatalmu.
Padahal berlari dari masalah bukan berarti akan dimaafkan. Tetaplah
disampingku, bantu aku sembuhkan sakitku, bantu Arya bangkit dari keterpurukan,
bantu Ibu menerima kenyataan…
Aku telah mengejarmu, tetapi kau
terus berlari, bahkan telah menemukan pengganti untuk terus mengejar mimpi yang sebelumnya kau rajut bersamaku. Aku
telah berteriak untukmu, tetapi kau tak juga menoleh. Aku seperti sudah
kehabisan suara. Ini terakhir kali aku berteriak untukmu. Waktumu masih ada,
sedikit lagi...sebelum aku tak menghiraukan teriakanmu, tak
menoleh padamu.
Dariku yang selalu memaafkanmu
dan (masih) mengharapkan kehadiranmu...
Wowww.. Salam kenal.. bagus-bagus isi blognya.. jadi pengen dibaca smeuanya.. :)
ReplyDeleteWah terima kasih ya. Semoga suka. ;)
ReplyDelete